Titik Temu Gus Yahya dan Kiai Said

Titik Temu Gus Yahya dan Kiai Said

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



Oleh: Muhammad Fadllil Kirom*
SAYA lebih memilih membahas titik temu daripada titik tengkar. Belakangan ini ada kecenderungan sebagian aktivis memilih jalan "membenturkan" para kandidat calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berdasarkan latar belakang organisasi kemahasiswaannya.

Pola ini terjadi akibat bias konflik yang terjadi selama orde baru.



Untuk organisasi keagamaan seperti NU yang lahir jauh sebelum organisasi kemahasiswaan seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pendekatan "sentimen" dan "gengsi" antar alumni PMII dan HMI jelas tidak relevan.

Banyak pengamat yang tidak menyadari bahwa basis epistemologis NU itu adalah pesantren. Keilmuan kampus itu hanya menopang dalam mematangkan dinamika NU dengan modernitas atau realitas kekinian.

Sebagai Alumni PMII Unisma Malang tentunya saya berkesempatan untuk mengikuti berbagai pemikiran Yai Said Aqil Siroj. Kebetulan beliau dosen pasca sarjana di kampus Unisma.

Saya mengenal beliau setelah beliau kalah di perhelatan muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo. Lebih dari 10 kali, kami berdiskusi dengan beliau terutama terkait pemikiran Aswaja sebagai manhajul fikr. Keluasan berpikir beliau, betul-betul menggugah semangat kami untuk terus belajar.

Seiring waktu, Saya aktif di PW Ansor Jateng, dan saya mendapatkan informasi bagaimana peran Gus Yahya dalam mendesain Ansor menjadi organisasi yang sangat aktif menyuarakan Islam rahmatanlilalamiin sekaligus penjaga Nengara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika melihat perkembangan kaderisasi Ansor yang begitu massif dan sistematis dalam 5 tahun terakhir, maka  ada peran Gus Yahya di dalamnya.

Kiai Said dan Gus Yahya ini benar-benar dua tokoh panutan anak muda NU. Kedua-duanya adalah kader ideologis Gus Dur yang ditempa di era tahun 80-an dan 90-an.

Sebuah era yang penuh tantangan, karena NU berada dalam posisi terpinggirkan oleh kekuasaan Orde baru. Kami tak pernah meragukan militansi dan loyalitas kedua tokoh diatas.

Selain beliau berdua menjadi kader Gusdur, mungkin tidak banyak yang tahu, kalau keduanya alumni pesantren Al Munawwir Krapyak, Jogja. Sebuah pesantren yang melahirkan banyak kiai di penjuru pulau Jawa hingga pelosok Nusantara bahkan di Asia Tenggara.

Saya terharu ketika mendengar Gus Yahya Sowan Kepada Kiai Said (notabene senior) saat menyampaikan niatnya untuk berjuang meneruskan perjuangan Kiai Said. Sikap ini merupakan akhlak pesantren yang jarang ditemui dalam kultur organisasi kemahasiswaan seperti PMII dan HMI.

NU memang organisasi "beyond than", berdiri tegak tanpa terganggu  kepentingan politik partai tertentu, background organisasi kemahasiswaan hingga alumni pesantren.

NU membawa misi kemaslahatan bagi seluruh alam, maka NU memiliki tradisi tersendiri dalam memilih calon pemimpinnya.

Isyaroh langit hingga pemungutan suara hanyalah asbab/wasilah saja, hakekatnya Allah yang akan memberikan anugerah tipe pemimpin yang paling tepat sesuai zamannya.

Akhirnya saya mengajak Sahabat-sahabat untuk memulai tradisi baru, era disrupsi sosial saat ini harus mengedepankan titik temu atau kolaborasi untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Almarhum Kiai Hasyim Muzadi memberikan contoh regenerasi yang baik kepada Kiai Said setelah beliau memimpin dua periode.

Jika pola ini berjalan, mengingat dalam 10 tahun terakhir ini perkembangan dunia digital sangat luar biasa cepat, figur seperti Gus Yahya yang memiliki jaringan internasional yang bagus bisa menjadi penerima tongkat estafet kepemimpinan PBNU yang tepat.

Melimpahnya pengkaderan di Ansor bisa dijadikan kekuatan sumber daya penggerak organisasi NU baik di lapangan ekonomi, sosial, budaya, hingga politik.

Akhirnya, tulisan ini hanyalah buih yang tak bermakna di lautan karena memang ditulis oleh warga NU biasa yang tak memiliki otoritas keilmuan yang handal. Tapi, penulis sengaja menulis untuk mewarnai berbagai pendapat yang ramai belakangan ini.

Tentu semua warga NU dan masyarakat Indonesia berharap sinar NU yang teduh mampu menjaga kebhinekaan dan solidaritas kemanusiaan baik di tingkat lokal, nasional dan global, Amiin.

Walahumul Fatikhah untuk Muassis NU. Amiin.

(*Penulis adalah Pengurus PW Ansor Jawa Tengah
Tulisan ini sudah diunggah di akun facebook pribadinya pada Senin (11/10)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA