Sebab Virus Tak Bisa Dituduh Kadrun.

Sebab Virus Tak Bisa Dituduh Kadrun.

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



OLEH: RACHLAND NASHIDIK
  INILAH awalnya: BEM UI menyebut Jokowi "King of Lip Service". Kontan, pendengung  Jokowi ramai-ramai menuduhnya binaan Cikeas. 

Padahal dalihnya cuma satu unggahan di media sosial yang isinya menyebut bertemu Ibu Ani Yudhoyono di Istana Negara.

Leon Alvinda Putra, kini Ketua BEM UI, mengunggah pengalamannya itu ke media sosial saat dia pelajar kelas dua SMP. Pada tahun 2103 itu dia memenangi kompetisi karya tulis dan diberi penghargaan di Istana Negara.

Orang yang pertamakali menuding Leon binaan Partai Demokrat adalah seorang Komisaris BUMN. Seorang pendengung di kubu Jokowi yang dulu pernah berjualan jam tangan imitasi. Netizen gemuruh: kok bisa orang macam itu diangkat jadi Komisaris BUMN?

Saya menggugat pertanyaan Netizen tersebut. Kenapa heran sales jam tangan imitasi pada masa ini bisa jadi Komisaris BUMN, bila tukang mebel bisa dipilih jadi Presiden? Bukankah demokrasi tidak menyoal Anda datang dari mana, apa latar sosial atau profesi Anda?

Ciri dari demokrasi yang berfungsi adalah siapa saja berhak jadi Presiden. Maling dan pemuka agama, sales jam imitasi atau tukang mebel, di mata demokrasi punya hak politik yang setara.

Mana profesi yang lebih penting atau mulia bukan urusan demokrasi. Ini empirisme yang mungkin tak merdu di telinga. Tapi pertanyaan penting dalam demokrasi memang bukan siapa anda, melainkan: apa tujuan anda? Sebenarnya Anda mau berbuat apa bagi kepentingan publik?

Jadi kenapa heran? Kenapa menuduh saya menghina?

Pengalaman Amerika

Saya tidak memandang rendah profesi tukang mebel. Semua profesi baik dan pasti membutuhkan keahlian tersendiri yang orang lain belum tentu mampu. Tapi apakah tukang mebel yang sukses menjadi kaya raya bakal berhasil bila mencoba menjadi, misalnya, pedagang sayur? Bisa dicoba. Bakal berhasil? Belum tentu.

Kalau menjadi Presiden? Ini pekerjaan yang jauh lebih berat dari pedagang sayur. Bakal gagal? Belum tentu. Yang penting, bila terpilih, buktikan saja Anda memang mampu -- setidaknya mewujudkan janji-janji kampanye Anda.

Tentang hal itu, sejarah politik Amerika Serikat punya beberapa contoh. Steve Jobb sukses luar biasa sebagai "tukang komputer". Hingga wafat, ia tak pernah berpindah profesi jadi Senator atau mencalonkan diri jadi Presiden AS. Tapi sepanjang sejarah planet bumi ini, ia akan terus dikenang dengan hormat sebagai "tukang komputer" yang sangat sukses. Buah karyanya dicari dan dimiliki dengan bangga oleh mungkin sekurangnya setengah penduduk dunia.

Jimmy Carter: Di masa lalunya ia pernah meneruskan profesi Ayahnya sebagai petani kacang. Tapi karirnya lebih sukses dalam bidang politik: menjadi Senator, Gubernur, lalu dipilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-39. Meski pada pemilu selanjutnya Carter gagal mendiami kembali Gedung Putih, tapi ia kemudian mendapat Nobel Peace Prize untuk pengabdiannya yang berhasil dalam bidang demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Sebaliknya dengan Trump. "Tukang properti" ini sama-sama dipilih satu periode, namun ia meninggalkan Gedung Putih dengan noda pada demokrasi Amerika Serikat. Di masanya, rakyat AS dibelah: kulit putih atau berwarna, "penduduk asli" atau "imigran", bukan muslim atau muslim, tak bermasker atau bermasker.

Donald Trump sibuk dengan "making America great again" dan memandang ringan bahaya pandemi Covid-19. Akibatnya, jumlah warga AS yang terpapar melonjak hingga pernah menjadi yang tertinggi di dunia. Hanya setelah Joe Biden berhasil mengambil alih Gedung Putih, barulah AS mampu mengumumkan kemenangan melawan pandemi. Tapi itu setelah rakyatnya menolak mentah-mentah keinginan Trump mendapat perpanjangan masa jabatan. Rakyat AS menggunakan pemilu untuk mengusir Trump dari Gedung Putih.

Begitulah hubungan profesi dan demokrasi punya riwayat berbeda-beda. Namun dalam setiap riwayatnya, kompetensi adalah jembatan yang menentukan.

Politik "Orang Baik"

Bagaimana dengan Joko Widodo di Indonesia? Jokowi adalah "orang biasa", bukan elit politik atau elit militer. Lulus dari Fakultas Kehutanan UGM, ia menjadi "tukang mebel" yang sukses, tapi lalu banting setir jadi politisi.

Dua kali dipilih jadi Walikota Solo, periode kedua tak ia selesaikan. Pada 2012 ia mengikuti pemilihan Gubernur DKI yang ia menangi. Baru dua tahun menjalankan mandat sebagai Gubernur DKI, pada 2014 ia lompat mengikuti pemilihan Presiden.

Lawannya adalah Prabowo Subianto, elit militer sekaligus elit politik. Masa lalu Prabowo dikepung oleh sangkaan publik bahwa dia terlibat atau bertanggungjawab dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, penculikan aktivis, kejahatan rasial, hingga upaya kudeta pada mertuanya, Jenderal Soeharto, mantan diktator Orba.

Dibanding Prabowo, Jokowi bukan saja "orang biasa". Ia juga "orang baik". Setidaknya begitulah lukisan juru kampanyenya yang agresif pada Pemilu 2014. Ia tak punya "historical baggage" sebagai pelanggar HAM. Sebaliknya, semasa masih Walikota, ia disebut-sebut berhasil memindahkan pedagang pasar ke tempat baru tanpa paksaan, "cuma dengan dialog".

Dan Jokowi sangat menghayati perannya sebagai Gubernur DKI. Hari ini ia berfoto memasuki gorong-gorong. Besok berpose menjadi tukang tambal ban. Lain hari jongkok di rel kereta api sambil kelihatan berpikir keras.

Di foto lain, Jokowi tampak tak bersepatu menaiki bahu tembok beton. Saat itu Jakarta dilanda banjir. Ia berkemeja putih dengan lengan digulung. Ujung celananya naik setinggi lutut.

Entah kenapa ia tak melangkah menaiki anak tangga di sebelahnya saja, yang sebenarnya tak direndam banjir. Orang cuma tahu, gubernur Jakarta ini kemudian menyatakan: lebih mudah menangani banjir di Jakarta bila ia menjadi Presiden.

Begitulah, profil Jokowi ditampilkan jauh berbeda dari Prabowo Subianto. Pendek kata, karena Jokowi adalah "orang biasa" -- maka "Jokowi adalah kita". Karena Jokowi adalah "orang baik" -- maka "orang baik (harus) memilih orang baik". Begitulah bunyi kampanye itu.

Pada pemilu 2014, "orang baik" ini dipilih rakyat jadi Presiden RI ke-7.

Presidential Threshold

Pada pemilu 2019, Jokowi kembali bertanding dengan Prabowo dan ia menang lagi. Bumbu utama dalam resep kemenangannya adalah Presidential Treshold 20%.

Treshold ini ditetapkan pertama kali pada Pemilu 2009 oleh prakarsa PDIP dan Golkar, diikuti oleh partai-partai lain di DPR. Analis menduga, tujuan sebenarnya adalah menutup pintu kesempatan bagi SBY untuk kembali mencalonkan diri.

SBY dipilih jadi Presiden RI ke enam pada Pemilu 2004. Padahal partai Demokrat, partai baru pada pemilu kala itu, cuma meraih 7% suara.

Bila Presidential treshold pada Pemilu 2009 meroket jadi 20%, kemungkinannya Demokrat gagal memenuhi syarat. Dus, SBY tak bisa kembali mencalonkan diri untuk periode kedua. Begitu mungkin rencananya.

Tapi sejarah punya kehendak berbeda. Demokrat justru menjadi pemenang pemilu 2009. Popularitas SBY membuat Demokrat meraih hampir 22% kursi DPR. SBY berhak kembali mencalonkan diri. Ia dipilih lagi menjadi Presiden RI dengan landslide victory.

Kalau begitu, apa masalahnya dengan Jokowi? Bukankah treshold 20% ini digunakan dalam semua Pemilu sejak 2009?

Masalahnya: pemilu Indonesia sampai 2014 dilaksanakan terpisah dalam dua tingkat. Pemilihan anggota legislatif lebih dulu. Baru meningkat ke pemilihan presiden. Dicari dulu partai mana saja yang memenuhi syarat untuk mengusung calon Presiden. Baru kemudian pemilihan Presiden dilaksanakan.

Itu berbeda dengan pemilu 2019. Mahkamah Konstitusi dalam kurun waktu ini sudah menetapkan bahwa pemilihan anggota legislatif harus dilaksanakan serentak dengan pemilihan presiden.

Dalam keadaan baru ini, Presidential Treshold dalam pemilu 2019 sebenarnya mustahil diteruskan. Bagaimana caranya mendapatkan partai yang berhak mengusung calon presiden, bila pemilihan anggota legislatif dilaksanakan pada waktu yang sama dengan pemilihan presiden?

Tapi presiden Jokowi dan partai anggota koalisinya punya akal untuk memanipulasi kemustahilan itu. Gunakan ulang saja hasil pemilu 2014!

Dengan begitu, PDIP sudah pasti memenuhi syarat untuk mengusung calon presiden. Perolehan Banteng moncong putih ini di pemilu 2014 adalah 18%. Tinggal cari satu lagi saja partai untuk diajak berkoalisi, maka presidential treshold 20% bukan masalah.

Tak pelak, Presidential Treshold yang dipaksakan ini memaksa partai-partai menengah dan kecil berkerumun di sekitar PDIP atau Partai Gerindra. Dua partai dengan perolehan kursi DPR terbanyak dalam Pemilu 2014. Hampir tak ada kemungkinan bagi koalisi lain yang mencukupi di luar dengan PDIP dan Gerindra. Pada kenyataannya, begitulah cara Jokowi kembali menghadapi Prabowo dalam pemilu 2019.

Dua kali pemilu, dua calon presiden saja, tetap Jokowi melawan Prabowo. Seolah Indonesia, bangsa yang besar ini, kekurangan stok pemimpin.

Politik Penyingkiran

Tapi dalam pemilu 2019, Jokowi bukan lagi "orang biasa". Ia adalah Presiden yang sudah berkuasa selama 5 tahun: ia kini sudah memiliki "historical baggage".

Di antaranya: Indonesia yang sebelumnya dijuluki "a vibrant and healthy democracy", di bawah kekuasaannya kini dinilai mengalami "democratic regression". Begitu kalangan akademisi menyebut. Sebagian dari mereka menilai Indonesia di bawah Jokowi menerapkan "illiberal democracy", yaitu demokrasi yang ditandai hanya oleh adanya pemilu, namun minus perlindungan hak-hak sipil.

Masalah lain: Hampir seluruh janjinya di masa kampanye pemilihan presiden 2014 belum dipenuhi. Menyediakan listrik 35 ribu MW dalam 5 tahun, misalnya. Kini, 7 tahun berlalu sejak kebijakan itu dicanangkan, pembangkit listrik yang beroperasi baru sekitar 20%.

Hutang luar negeri terus meroket sejak periode pertama Jokowi. Dalam kurang lebih enam tahun, Jokowi membuat utang baru sekitar Rp 4000 Triliun. Padahal sebelumnya ia mencibir utang luar negeri dan menyatakan akan menyetopnya.

Hal-hal itu sebenarnya sudah cukup untuk menyoal kompetensinya sebagai pemimpin. Namun suara suara kritis yang mulai muncul saat itu masih sangat lirih.

Pada pemilu 2019, Jokowi kembali memenangi pemilu sebagai "orang baik": ia menjadi antitesa dari Prabowo yang memanfaatkan kengerian politik identitas.

Namun setelah ia memenangi pemilu, bahkan setelah menarik Prabowo ke dalam kabinetnya, ketegangan dan keterbelahan politik tidak ia akhiri. "Kadrun", "Taliban", "Islam radikal", katagori politik yang dulu mengantarkan kemenangannya dalam pemilu, terus membelah masyarakat hingga kini, hampir seperti suatu histeria.

Ketika Jokowi dikritik melemahkan KPK dan membahayakan pemberantasan korupsi, kawanan pendengung Jokowi menuduh KPK diisi dan dikendalikan oleh "Taliban". Namun seorang penyidik yang disingkirkan dari KPK membantah telak tudingan itu. "Saya Saliban", katanya. Saya kristen".

Penyidik lain juga membantah: "Bila tuduhan Taliban itu benar, mana bisa saya bekerja di KPK?" Ia beragama Budha dan dilahirkan dari keluarga Tionghoa.

Ketika enam warga sipil ditembak mati oleh polisi, Jokowi hampir seperti mengamini. Kata Jokowi, "Masyarakat tidak boleh bertindak semena-mena dan melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan masyarakat, apalagi bila perbuatannya sampai membahayakan bangsa dan negara".

Jokowi juga mengingatkan bahwa "aparat dilindungi oleh hukum" dan mengimbau agar mereka "tak gentar sedikitpun dalam menegakkan keadilan".

Padahal ini adalah kasus extra-judicial killing. Padahal ini adalah kasus death on custody. Namun soal genting ini seolah dengan sengaja diabaikan. "Kadrun": begitu kata kawanan pendengung Jokowi tentang enam anak muda anggota FPI tersebut.

Dalam kasus lain, Jokowi mengeluarkan Perppu untuk mengubah dan mengganti UU Ormas. Dengan itu, kekuasaan eksekutif bisa membatalkan hak atas kebebasan berserikat, hak konstitusional semua warga negara, hanya dengan selembar surat keputusan menteri. Tak perlu lagi pengadilan. Ini mengulang langgam otoritarianisme Orde Baru. Padahal adalah gerakan reformasi yang mengembalikan kewenangan itu ke tangan hakim. Tapi lagi-lagi, hal genting ini diacuhkan karena organisasi yang dibubarkan adalah HTI. "Organisasi Islam radikal".

Bagaimanapun, politik tangan besi Jokowi pada FPI dan HTI mungkin saja berhasil menguatkan profil politik yang dikehendakinya di mata penduduk minoritas, yakni sebagai pembela Pancasila, NKRI dan kemajemukan.

Namun pada kasus KPK, jelas sekali semua itu sebenarnya mantra dalam politics of exclusion. Cara untuk menyingkirkan para penyidik yang jujur dan berani, setelah Undang-undang KPK direvisi untuk membuatnya kehilangan independensi. Ini, pembaca yang budiman, sama sekali tidak berhubungan dengan perlindungan kemajemukan.

"Taliban", "Kadrun", "Islam radikal", kelihatannya  akan terus bergema sepanjang kekuasaan Jokowi. Mantra politik ini berguna untuk menyingkirkan lawan-lawan politik -- atau untuk melindungi Jokowi dari sorotan kritis terhadap kompetensinya?

Pandemi

Pandemi yang dua tahun lalu datang mengepung Indonesia adalah malapetaka yang sama sekali tidak terduga. Virus Covid-19 terus bermutasi, makin cepat menyebar, merampas makin banyak nyawa, dan secara efektif mendakwa kompetensi Jokowi beserta pemerintahannya. Kali ini, kawanan pendengung Jokowi mati gaya. Sebab virus tak bisa dituduh "Kadrun", "Taliban" atau "Islam radikal".

Jokowi mestinya sadar bahwa penanganan pandemi harus menjadi prioritas. Pertama dan terutama untuk menyelamatkan nyawa warga negara. Namun ketika pandemi baru tiba, Jokowi justru cenderung lebih berusaha menyelamatkan ekonomi. Seperti Trump di AS, Jokowi pun awalnya mengentengkan serangan Virus Covid-19 ini.

Alih alih menerapkan karantina wilayah, Jokowi membuat kebijakan PSBB, PSBB transisi, PSBB ketat, Pembatasan Sosial Berskala Mikro atau Kecil (PSBM/PSBK), Pembatasan Sosial Kampung Siaga (PSKS) dan kini PPKM Darurat. Itu semua adalah kebijakan ompong yang mewakili kebimbangan Jokowi untuk mendahulukan keselamatan warga negara dari ekonomi.

Apakah itu karena negara tak punya uang? Apakah muasal penolakan Jokowi pada karantina wilayah (lockdown) adalah karena menurut perintah Undang-Undang ia harus menaruh nasi ke piring rakyatnya selama dikunci di rumah?

Belum tentu, sebab Jokowi dalam APBN 2021 justru menambah anggaran pembangunan infrastruktur menjadi Rp 417, 8 triliun -- naik sekitar 48% dari Rp 281,1 triliun di tahun 2020. Sementara anggaran bagi kesehatan dan sosial justru diturunkan secara drastis.

Pembangunan infrastruktur: inikah penyebab Jokowi bimbang mendahulukan keselamatan rakyatnya? Atau mungkin ia berpikir, prioritas menangani pandemi akan merontokkan ekonomi, lalu meruntuhkan pemerintahannya?

Apapun, sekarang keadaan sudah kasip. Semua orang marah, frustrasi dan putus asa. Serangan virus ini tak pilih bulu.

Makin ke sini, makin jelas bahwa "orang baik" ini inkompeten. Bukti di depan mata. Fasilitas kesehatan kolaps. Tenaga kesehatan ratusan tewas, selebihnya sangat kelelahan.

Makin banyak warga mati karena tak mendapat pertolongan. Rumah sakit dimana mana penuh. Fasilitas dan layanan ICU sangat terbatas. Tabung oksigen langka.

Orang mati di jalan atau di kendaraan saat mencari Rumah Sakit. Atau di rumah saat keluarganya berada dalam antrian panjang untuk membeli tabung oksigen yang terbatas. Dan jumlahnya akan terus bertambah.

Ini bukan takdir Tuhan. Ini kegagalan manajemen. Ini kekeliruan kebijakan.

Mungkin jumlah warga terpapar bisa dibatasi oleh kebijakan PPKM darurat. Tapi faskes yang terlanjur kolaps sudah pasti akan membuat jumlah warga yang tewas terus meningkat dalam beberapa pekan ke depan.

Dan seruan yang dulu lirih itu, bahwa Jokowi tidak mampu, mungkin akan jadi pekik teriak di jalanan.

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA