Relawan di DIY Tak Mampu Lagi Tangani Pasien Corona, Serahkan ke Pemerintah

Relawan di DIY Tak Mampu Lagi Tangani Pasien Corona, Serahkan ke Pemerintah

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Gelombang kedua COVID-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menerjang dengan dahsyat, lebih dari gelombang pertama pada Desember hingga Februari 2021. Angka penularan harian meningkat drastis, demikian pula dengan kematian akibat COVID-19. 

Terlebih dengan adanya varian baru virus corona, salah satunya Delta yang berasal dari India, memperparah tingkat penularan. Meski sudah bersiap, nampaknya lembaga kemanusiaan di DIY tidak mampu lagi mengatasinya.

Hal itu disampaikan oleh sebagian besar lembaga kemanusiaan di DIY yang selama ini membantu penanganan pasien corona. Mulai dari Gusdurian, Forum Pengurangan Risiko Bencana, Muhammadiyah Covid-19 Command Center, NU, hingga gerakan SONJO di DIY.

"Meski berbagai program kami lakukan untuk mempersiapkan peningkatan pasien COVID-19, namun gelombang kedua kali ini jauh besar daripada apa yang mampu kami antisipasi," demikian pernyataan bersama relawan kemanusiaan di laman Gusdurian, dikutip kumparan, Rabu (30/6).

Mereka menuturkan, seluruh rumah sakit rujukan di DIY penuh dengan BOR sudah melebihi 80 persen, meski rumah sakit sudah meningkatkan kapasitasnya. Sudah dua minggu terakhir shelter-shelter kabupaten penuh. 

Walaupun terjadi peningkatan jumlah shelter desa, shelter kabupaten, hingga Rumah Sakit Lapangan Khusus COVID-19 di Bantul dan Sleman, kecepatan penyebaran COVID-19 dinilai jauh lebih cepat daripada upaya-upaya tersebut.

Banyak hal telah dilakukan lembaga kemanusiaan di DIY dalam membantu penanganan corona. Saat DIY kekurangan oksigen, mereka berusaha mencari solusi atas masalah itu. 

Bahkan, ketika kemampuan tes PCR di DIY menurun, mereka membuat whatsapp grup untuk koordinasi para pimpinan lab di DIY, dan mencari solusi. 

Lembaga-lembaga kemanusiaan ini menyatakan, data yang ditampilkan pemerintah terkait corona menunjukkan puncak gunung es pertambahan kasus positif, sembuh dan meninggal. Sebab, kondisi di lapangan, disebut lebih parah dari data tersebut.

"Tetapi data riil yang ada di masing-masing daerah menunjukkan jumlah pertambahan yang lebih besar dari yang dilaporkan. Pemerintah seyogyanya melihat data bukan hanya pada tataran resmi tapi pergerakan jam per jam, menit per menit jauh lebih penting," tulis pernyataan itu.

"Data satu mewakili satu nyawa, sehingga data bukan hanya informasi semata tapi nyawa yang harus diperjuangkan. Usaha relawan untuk memberikan informasi alternatif data belum dilihat secara komprehensif dan mendukung kebijakan yang diambil," sambungnya.

Lembaga kemanusiaan pun membeberkan kondisi di lapangan. Karena naiknya angka corona, baik di rumah sakit pun pasien harus melakukan isolasi mandiri. Dalam dua hari terakhir beberapa pasien wafat selama proses diantar oleh para relawan tanpa SK ke IGD di beberapa rumah sakit dan ternyata IGD-IGD tersebut telah penuh. 

Para nakes telah mengalami kelelahan bahkan banyak yang terpapar COVID-19. Puluhan ribu relawan yang tidak ber-SK di tingkat padukuhan, kalurahan hingga kapanewon, juga mengalami kelelahan. 

Tidak jarang mereka harus memulasarakan dan menguburkan beberapa jenazah COVID-19 berturut-turut dimulai tengah malam dan baru selesai saat azan subuh berkumandang. 

Bahkan, mereka sempat terpaksa menghentikan aktivitas para relawan di malam hari karena kapasitas relawan sudah terbatas dan tidak kondusif bagi keselamatan.

"Pada titik inilah, eskalasi masalah terkait COVID-19 tidak memungkinkan kami gerakan kemanusiaan di DIY untuk melangkah lebih jauh lagi," tulis para relawan, yang tertuang dalam pernyataan yang sama.

Serahkan ke Pemerintah

Lembaga-lembaga tersebut mengatakan pada titik ini, mereka tidak memilik dana, sumber daya seperti pemerintah. Mereka juga tidak memilik otoritas merumuskan kebijakan dan mengeksekusinya.

Masalah yang dihadapi sekarang, kata mereka hanya dapat ditangani oleh kebijakan pemerintah yang memiliki otoritas legal, sumberdaya, serta daya jelajah jangkauan yang tinggi.

"Pada kesempatan ini kami gerakan kemanusiaan di DIY menyatakan bahwa 16 bulan kami telah bekerja menanggulangi pandemi dan dampaknya bersama-sama dengan elemen masyarakat yang lain. Sungguh kami ikhlas menjalani panggilan kemanusiaan ini. Namun apa yang kami lakukan memiliki banyak keterbatasan. Program-program yang kami lakukan adalah program-program yang mungkin dilakukan oleh gerakan kemasyarakatan. Sementara masalah yang kita hadapi sekarang, memerlukan affirmative policy, bahkan progressive policy dari pemerintah," tulis relawan.

Mereka mengatakan akan meneruskan program rutin penanggulangan corona. Tetapi, tidak dalam kapasitas untuk menyusun dan mengeksekusi kebijakan dan intervensi serta alokasi sumber daya yang saat ini dibutuhkan masyarakat untuk meminimalisasi pandemi beserta dampaknya. 

Mereka menilai inilah saatnya pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, untuk mengeksekusi langkah-langkah taktis maupun strategis untuk menyelamatkan DIY, dan bahkan Indonesia, dari tragedi kemanusiaan akibat COVID-19.
Kepada masyarakat DIY, kami segenap gerakan kemanusiaan, mohon maaf bahwa kami telah sampai pada batas kapasitas kemampuan kami. Kami tidak mampu melangkah lebih jauh untuk mengambil kebijakan afirmatif dan progresif yang diperlukan masyarakat DIY saat ini.
-Relawan Kemanusiaan DIY

Pada kesempatan itu pula, mereka meminta pada Pemerintah agar secepatnya mengakselerasi respons, menunjukkan sense of crisis serta sense of urgency dalam menangani eskalasi situasi ini, sebelum segala sesuatunya menjadi lebih buruk dan semakin sulit dikelola, menyelamatkan warga dari tragedi kemanusiaan. 

"Kepada para politisi di DPR/DPRD dan di partai politik, kami berharap saat ini untuk menyingkirkan sejenak kepentingan politik pragmatis jangka pendek dan lebih fokus pada penyelamatan kemanusiaan dan nasib bangsa," pungkas mereka. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita