Analisis Khairul Fahmi soal Anggaran Belanja Alutsista Rp 1,760 Triliun

Analisis Khairul Fahmi soal Anggaran Belanja Alutsista Rp 1,760 Triliun

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Rencana belanja alat utama sistem pertahanan (Alutsista) oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) senilai Rp 1,760 triliun mendapat perhatian pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.

Isu itu muncul setelah beredarnya draf Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kemenhan dan TNI.

Dalam draf itu terdapat jumlah biaya rencana kebutuhan (renbut) yang mencapai angka USD 124,9 miliar atau sekitar Rp1,760 triliun.

"Kalau menghitung 25 tahun, itu sebenarnya kecil," kata Khairul dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (31/5).

Meski tergolong kecil untuk kebutuhan 25 tahun ke depan, Khairul mengingatkan pemerintah lebih cermat dalam mencari sumber pendanaannya.

Terlebih lagi bila menggunakan pinjaman luar negeri, suku bunganya harus serendah mungkin dan tenornya sepanjang mungkin.

"Artinya, suku bunga di bawah 2 persen atau bahkan 2 persen, dengan dengan tenor panjang 12 tahun, kalau memungkinkan sampai 30 tahun," ucap Khairul.

Dia menilai rencana belanja jangka panjang seperti yang tengah disusun oleh Kemenhan memang dibutuhkan. Sebab, selama ini ada inkonsistensi belanja alutsista.

Sementara, dalam Ranperpres yang diwacanakan, pemerintah berupaya menjaga konsistensi belanja alutsista secara maksimal dengan pengadaan yang ditarik ke depan.

Persoalan utama selama ini, kata Khairul, adanya perlambatan pengadaan alutsista berdasarkan data 2015-2019, padahal Indonesia memiliki Minimum Essential Force (MEF) sejak 2007.

Khairul lantas menyinggung sejumlah rencana belanja yang nyatanya juga mangkrak sampai hari ini. Sebagai contoh, katanya, wacana pembelian Sukhoi SU-35.

Selain itu, soal penambahan kapal selam baru. Dia mempertanyakan apakah Indonesia melanjutkan kerja sama dengan Korea Selatan atau membuka kesempatan bagi negara-negara lain.

"Sehingga target yang mestinya dicapai pada akhir renstra II pada 2019 itu tidak tercapai," ucap Khairul.

Dia menjelaskan dari yang tidak tercapai itu, terlihat ada kesenjangan realisasi antara TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Misalnya, kata Khairul, matra darat mendekati 80 persen, sedangkan matra udara belum sampai 50 persen.

"Artinya, tidak berimbang. Ini yang kemudian dibenahi melalui masterplan yang sedang disusun melalui rancangan perpres ini, menyiapkan rancangan kebutuhan, roadmap, business plan-nya," ujar Khairul.

Namun demikian, dia berharap Ranperpres itu bisa memuat lampiran berupa rencana kebutuhan alutsista yang visioner dan menjawab tantangan masa depan.

"Ya, memang kesannya jadi abstrak karena yang kita gunakan sebagai acuan, kan, potensi-potensi ancaman. Tetapi, ya, kalau kita bicara keamanan, bicara pertahanan, selalu kemungkinan terburuk yang paling diantisipasi," katanya.

Menyoal munculnya rumor tentang mafia alutsista, Khairul berpendapat yang perlu ditekankan adalah bagaimana mengatur peran pihak ketiga dalam belanja alutsista. Tujuannya untuk menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Selain itu, Khairul menilai pemerintah juga perlu menyusun indikator industri pertahanan dengan terlebih dahulu melihat kondisi alutsista yang ada, serta kesenjangan kebutuhan yang harus dipenuhi.

"Terus bagaimana skenario industri pertahanan dalam negeri menjawab kebutuhan masa depan, bagaimana jika industri dalam negeri belum memenuhi, belanja impor yang paling menguntungkan itu seperti apa," pungkas Khairul. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita