Tanah Yang Dijanjikan

Tanah Yang Dijanjikan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh:Ben Laksana
MENANGGAPI pikiran Profesor Hendropriyono tentang perselisihan Palestina versus Israel, di mana dia mengatakan bahwa hal tersebut adalah urusan orang Arab dan Israel, perlu didudukkan dalam kerangka berpikir yang baik dan benar. 

Professor intelijen seperti Hendro tentu mengetahui sangat dalam persoalan Timur-Tengah dan Israel-Palestina tersebut.  Bagi intelijen, sebuah provokasi isu bisa jadi dimaksudkan bukan untuk isu itu sendiri. Apalagi kalau isu ini lebih diarahkan untuk kepentingan yang terselubung.

Tulisan ini ingin mendudukkan kembali pentingnya kita melihat dasar pemikiran Bangsa Indonesia melibatkan diri pada isu ini, sekaligus melihat jernih kepentingan politik kita di dalam skala dunia.

Michael Schulson, dalam tulisannya di Washington Post persis  3 tahun lampau dengan judul "Why Jerusalem is so important to Muslims, Christians and Jews", menyebutkan,
"The conversation about Jerusalem is also, inevitably, a conversation about faith — and, specifically, about control of some of the holiest sites to Jews, Muslims and Christians."

Bicara Jerusalem pada akhirnya berbicara tentang keyakinan, khususnya penganut agama-agama keturunan Ibrahim. Jika orang Jawa misalnya bernama Ahmad (Islam) atau orang Batak bernama David (Kristen) maka keterlibatan mereka pada isu Jerusalem dan tentunya konflik Israel-Palestina, bukan lagi bersifat eksternal pada dirinya, melainkan masalah keyakinan mereka.

Kenapa ini menjadi masalah keyakinan? Menurut Schulson di atas, sebagaimana juga diceritakan wartawan BBC, Erica Chernofsky (April 2014, "Mengapa Yerusalem Menjadi Kota Suci?), Kota Tua Jerusalem ini memuat tempat suci bagi ketiga agama Ibrahim.

Bagi umat Islam, di situ terdapat Masjid Al Aqsa, kiblat pertama umat Islam menghadap shalat, tempat Nabi Muhammad SAW memimpin shalat para nabi dan ada batu (Dome of Rock) tempat Rasulullah SAW berpijak menuju ke langit dalam perjalanan Isra' Mi'raj.

Bagi umat Kristen, di situ terdapat Makam Kudus (Sanctum Sepulchrum, atau Church of the Holy Sepulchre), di mana di situ Yesus disalib, di Galgotha, dikuburkan dan dibangkitkan.

Bagi orang-orang Jahudi, di situ terdapat Tembok Barat atau Tembok Ratapan, tempat mereka berdoa, dan tempat seluruh orang-orang  Jahudi di berbagai belahan dunia menghadap kala berdoa. Tembok ini terletak di kaki "Temple Mount" (Haram Al Sharif). Dahulunya tembok ini merupakan bagian dari Rumah Suci, yang di dalamnya ada ruang Maha Kudus, kepada-Nya orang-orang Jahudi berdoa. Lalu, batuannya merupakan batuan penciptaan bumi serta di situ pula Ibrahim dahulu (akan) menyembelih anaknya Ismail. Doktrin Jahudi mengatakan bahwa Rumah Suci itu akan dibangun lagi setelah turunnya Messiah.

Berbagi sebuah ruang untuk kepentingan tiga agama membuat Jerusalem menjadi tempat perebutan kekuasaan di sana. Persoalannya masalah agama, Yahudi, Kristen dan Islam, ini selain mengajarkan agama dalam pengertian kesalehan individual, juga mengajarkan agama dalam dominasi kebenaran pada "Public Domain". Bangsa Jahudi mayoritas mengatakan bahwa Jerusalem Timur, dan kota tua tempat cuci 3 agama itu merupakan bagian dari tanah mereka (Land of Israel), sebagaimana dituliskan dalam kitab suci Torah.

Sebagian penganut Kristen, seperti Evangelical, khususnya pendukung Donald Trump di Amerika, meyakini itu juga. Menurut kaum Evangelical, Donald Trump harus memindahkan kedutaan Amerika ke Jerusalem, sehingga legitimasi Jerusalem sebagai ibukota dan tanah Israel benar-benar terjadi. Keyakinan mereka bahwa dengan dikuasainya tanah itu, maka janji Tuhan untuk turunnya Messiah akan semakin dekat.

Persoalannya tidak semua pihak menyetujui klaim Tanah Israel itu, baik dalam pandangan agama maupun pandangan sekuler.

Rabbi Beck, pemimpin Jahudi Ultra Ortodoks di London, dalam pandangan dan aksinya selalu menentang okupasi Israel di Palestina. Dalam video  berjudul "Rabel Rabbis: Anti Zionist Jews Against Israel", yang diunggah VICE, 4 tahun lalu di YouTube, Rabbi Beck memberikan tafsir bahwa orang-orang Jahudi tetap harus dalam pengasingan sebelum Messiah datang ke bumi. Gerakan Zionis yang menduduki tanah Palestina itu sebuah kejahatan besar.

Gitiz Holzman, dalam "The Promised Land: Where Is It?", di media Israel, Haaretz.com, 29/3/2017, mengutip buku "All the Boundaries of the Land" karangan Nili Wazana, menguraikan bahwa tanah yang dijanjikan yang dimaksud Torah (Bible Hebrew) hanyalah bersifat non geografis meskipun dapat dibayangkan.  Buku berbasis riset itu menjelaskan ketidak jelasan batas yang dimaksud dan kadang kontradiksi dilapangan.

Holtzman mengatakan bahwa Bibel Hebrew mengakui eksistensi bangsa Jahudi dimanapun berdiam diri dan tanah yang dikatakan dijanjikan pada dasarnya didiami juga oleh orang-orang non Israel, seperti Palestina.

Rabbi Josh Weinberg, vice president for Israel and Reform Judaism, menulis "A Prayer for Jerusalem", 10/5/2021, dalam menanggapi situasi terakhir ini di sana. Dia kecewa dengan kelompok-kelompok ekstrim Jahudi yang selalu ingin mengusir orang-orang Arab Palestine.

Dia tulis antara lain, "I view such evictions as a violation of Jewish values; they raise the question: How can we, who have over the centuries been exiled and forcibly removed from our homes, again and again, condone such treatment of others, even if the Supreme Court rules on their validity?"

Setelah ratusan tahun orang-orang Jahudi hidup di pengasingan, mengapa sekarang orang-orang Jahudi tega mengusir orang-orang Arab Palestine? Ini tulisan merespon pengusiran orang-orang Palestina dari pemukiman Sheikh Jarrah, Jerusalem Timur beberapa minggu lalu.

Pandangan Rabbi Weinberg ini penting dicatat. Sebab, catatan ratusan atau ribuan tahun orang-orang Yahudi hidup dipengasingan, berakhir dengan pembantaian sadis di Eropa, pada saat perang dunia ke dua. Antara tahun 1942-1944, lebih dari sejuta Jahudi dibunuh dengan gas, di Kamp Auschwitz, di Polandia.

Polandia, dan hampir semua eropa kecuali Rusia, berada dalam pengaruh kekuasaan Hitler. Sejuta-an Jahudi yang dibantai ini belum termasuk jutaan nyawa lainnya, di kamp-kamp lain.  Anne Frank House dalam "The Netherlands: the greatest number of Jewish victims in Western Europe" menjelaskan bagaimana orang-orang Jahudi di Belanda, Prancis dan Belgia dalam keputusasaan berusaha bersembunyi dari razia-razia yang dilakukan pemerintah dalam kontrol Nazi itu. Lebih dari seratus ribu Jahudi Belanda diberangkatkan ke Kamp Auschwitz untuk di bunuh.

Dalam pembunuhan Jahudi sebanyak 5,5 juta jiwa (History of the Jews during World War II, Wikipedia), dari 29 negara yang terlibat pembantaian Jahudi, hanya satu negara Arab yang ikut disebutkan, yakni Libya.

Pembunuhan terhadap 5,5 juta jiwa Bangsa Jahudi adalah sebuah dendam kesumat bangsa itu. Dan itu tentunya bukan dilakukan Bangsa Arab dan Muslim. Bangsa Arab maupun Muslim Arab memang melakukan perang terhadap Bangsa Jahudi di tanah Palestina, namun bukan pembantaian secara sadis dan genocide terhadap perempuan-perempuan Jahudi dan anak-anak mereka di tempat mereka di pengasingan, khususnya Eropa, pada sepanjang tahun 1942-1944.

Lalu apakah orang-orang Jahudi benar-benar berpikir bahwa urusan mereka adalah urusan Bangsa Arab versus Bangsa Israel?

Washington Post dalam "Pope Pius XII, accused of silence during the Holocaust, knew Jews were being killed, researcher says"( 29/4/20),  menjelaskan posisi Gereja Katolik yang membiarkan pembantaian orang-orang Jahudi saat itu. Laporan ini, yang dilakukan Universitas Munnster, Jerman dengan ketua tim riset Robert Wolf, juga mengungkap peranan Gereja Katolik menyelamatkan pimpinan Nazi keluar dari Jerman, menuju Italia dan lalu Argentina.

(It has long been known that the Catholic Church — possibly with covert U.S. assistance — helped ex-Nazis, like the Holocaust bureaucrat Adolf Eichmann, concentration camp doctor Josef Mengele or Gestapo officer Klaus Barbie, flee to South America. These men were anti-communists, and Rome and Washington considered communism their enemy).

Berita Washington Post ini tentunya sebuah ikhtiar Bangsa Jahudi untuk terus mencari tahu, kenapa mereka dibantai? Bangsa apa yang membantai? Agama apa yang melegitimasi saat terjadi pembantaian? Bukankah Bangsa Eropa yang membunuh Jahudi secara sadis pada masa sebelum perang dunia ke dua? Apalagi tahun 70 Bangsa Romawi yang dipimpin Raja Titus telah membunuh 1 juta Jahudi di Jerusalem.

Ketika Donald Trump dan Kaum masyarakat (Gereja) Evangelical di Amerika mendukung pengakuan Jerusalem Timur untuk menjadi milik Bangsa Israel, dengan merujuk pada ajaran agamanya, maka ini belum tentu menutupi keinginan tahuan keturunan Bangsa Jahudi, generasi demi generasi, atas sikap 40 juta penganut Evangelical di Jerman ketika Hitler membunuh 5,5 juta orang Jahudi. Serta sikap 20 juta masyarakat Katolik di Jerman sana, maupun laporan Washington Post bahwa Paus XII bagimana sebenarnya?

Kembali pada isu yang dilontarkan Profesor Hendropriyono tentang konflik Arab-Israel adalah urusan mereka, tentu kenyataan tidak segampang itu. Soal Negara Israel bukan sekedar soal tafsir Taurat yang memerintahkan Abram (Ibrahim) dan Moses (Musa) untuk pergi ke Tanah Yang di Janjikan.

(Go forth from your native land and from your father’s house to the land that I will show you. I will make of you a great nation, and I will bless you. I will bless those who bless you, and whoever curses you I will curse; and all peoples on earth will be blessed through you.’ Genesis 12:1–3).

Namun, soal ribuan tahun sejarah Bangsa Jahudi pergi dari tanah Kanaan, lalu kembali lagi membonceng Inggris tahun 1917 (lihat Balfour Declaration).

Bagaimana mereka ribuan tahun mempertahankan kehidupan mereka? Lalu bagaimana mereka 100 tahun terakhir hidup di Tanah Yang Dijanjikan?

Memberikan kesan bahwa urusan konflik Palestina dan Jahudi di Jerusalem adalah urusan Bangsa Arab dan Israel semata, akan "misleading" dan menghilangkan sejarah. Pertama, sejarah pembantaian atas Bangsa Jahudi bukan dilakukan oleh orang-orang Arab dan Islam. Sejarah ini tidak boleh digeser atau direkayasa sebaliknya. Kedua, sejarah kegelisahan Jahudi di Eropa, khususnya awal abad ke 20, atau akhir abad ke 19, disebabkan membesarnya anti Semit  di sana, membuat Dewan Zionis Eropa dan Inggris bekerjasama mendesain negara Israel, tanpa sepengetahuan Bangsa Arab.

Ketiga, klaim kebenaran agama Ibrahim menyangkut nasib 2 miliar jiwa orang-orang Kristen, 1,5 juta jiwa orang Muslim di dunia. Agama Jahudi memang hanya untuk bangsa Jahudi saja, namun agama Kristen dan Islam menjangkau seluruh dunia. Berbagai tafsir tentang Tuhan, Nabi-nabi,  Messiah dan lainnya tentu berbeda antara agama Jahudi, Kristen dan Islam. Dengan demikian urusan konflik Palestina dan Israel tidak bersifat lokal di sana.

Keempat, Komunisme Internasional terang-terangan mendukung Palestina, sehingga tercatat Albert Einstein mengundurkan diri dari penasehat di gerakan itu. Sebab, Einstein tidak mendukung Palestina. Mungkin ini pula sebabnya China mendukung Palestina ketimbang Israel.

Kelima, Indonesia sejak awal mendukung Palestina untuk merdeka, sesuai dengan pembagian wilayah yang disepakati PBB. Soekarno lebih ideologis lagi melihat pembelaan terhadap Palestina merupakan kewajiban bangsa kita membela bangsa yang dijajah, sebagaimana perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia bersifat humanisrik atau internasional.

Sebuah bangsa besar hanya muncul jika berpegang pada prinsip keberpihakan. Berpihak pada yang benar dan konsisten pada sejarahnya. Indonesia harus tetap konsisten melihat bahwa tidak ada alasan bagi Bangsa Israel memusuhi bangsa Palestina dan Muslim Palestina. Bangsa Jahudi tidak boleh menjadi bangsa rasis, sebagaimana bangsa Eropa memperlakukan mereka demikian secara biadab.

Dengan alasan konstitusi sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 45, "menghapuskan penjajahan di muka bumi" dan alasan kesamaan agama mayoritas di Indonesia dan Palestina, yakni Islam, pemihakan terhadap Palestina harus terus dilakukan. Jangan pernah mengatakan bahwa Konflik Palestina dan Israel adalah urusan Bangsa Arab dan Jahudi (saja).

(Penulis adalah pemerhati sosial)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita