Palestina Frustrasi Setelah Ditinggal Arab Lewat Kesepakatan Ibrahim

Palestina Frustrasi Setelah Ditinggal Arab Lewat Kesepakatan Ibrahim

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Serangan Israel ke Palestina kali ini disebut-sebut sebagai agresi yang sangat keras dengan skala yang lebih masif. Begitu juga perlawanan dari rakyat Palestina jauh lebih gigih dari sebelum-sebelumnya. 

Duta Besar RI untuk Lebanon Hajriyanto Y Tohari membandingkan durasi konflik Israel dan Palestina kali ini melebihi perang Arab-Israel pada 1967, yang hanya memakan waktu enam hari.

"Jadi agresi yang sekarang berlangsung ini sudah melewati dua minggu. Itu luar biasa. Karena perang Arab-Israel yang diikuti Mesir, Jordan, Suriah, Lebanon, dan negara Arab lainnya hanya bertahan 6 hari," kata Hajriyanto dalam program Blak-blakan detikcom, Jumat (21/5/2021).

Panjangnya durasi peperangan antara Israel dan Palestina kali ini, imbuh Hajriyanto, disebabkan beberapa faktor. Dia antara lain menduga karena perasaan frustrasi, kekecewaan, kejengkelan, kegeraman, yang dialami oleh bangsa Palestina yang sudah menumpuk sejak 2017. Saat itu, Presiden AS Donald Trump menyatakan dukungan untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Padahal, di hampir semua keputusan badan internasional, belum ada yang mengabsahkan sama sekali. Keputusan Liga Bangsa-Bangsa sebagai cikal bakal PBB menyatakan Yerusalem ditetapkan sebagai kota internasional. Karena di situ ada tiga agama besar dunia yang memperlakukan Yerusalem sebagai kota sucinya.

Kemudian pada 1967, setelah perang Arab-Israel, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan deklarasi Nomor 282, yang menyatakan bahwa status Yerusalem agar dirundingkan dalam perundingan antara Israel dan Palestina.

"Dalam perjanjian-perjanjian yang juga dipelopori oleh Amerika, seperti Kesepakatan Oslo, jelas sekali disebutkan bahwa Yerusalem itu posisinya baru akan dirundingkan pada waktunya. Jadi memang belum menjadi milik siapa pun," papar Hajriyanto.

Setelah menyetujui rencana pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, pada Januari 2020 Donald Trump mengajukan proposal Peace to Prosperity. Dalam dokumen setebal 181 halaman itu menekankan pada solusi dua negara.

"Tetapi di situ dijelaskan Yerusalem diberikan kepada Israel dan tidak akan dipecah menjadi Yerusalem Timur dan Yerusalem Barat," kata penulis buku 'Anthropology of the Arabs: Coretan-coretan Etnografis dari Beirut' itu.

Anehnya, dia melanjutkan, beberapa negara Arab justru menyambut positif. Setidak-tidaknya mengatakan 'coba dipelajari dulu'. Setelah proposal itu, pada Agustus 2020 Amerika menginisiasi Abraham Accord atau Kesepakatan Ibrahim.

Lewat Kesepakatan Ibrahim, beberapa negara Arab yang berpengaruh di kawasan Timur Tengah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, yakni Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Ada iming-iming miliaran dolar dari Amerika untuk masing-masing negara tersebut. Berpuluh tahun sebelumnya, Turki, Mesir, dan Yordania telah berdamai dengan Israel.(dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita