Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung Belum Rampung, Biaya Bengkak hingga Rp23 Triliun

Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung Belum Rampung, Biaya Bengkak hingga Rp23 Triliun

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Biaya pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak akibat munculnya berbagai kebutuhan yang tidak diprediksi di awal proyek, salah satunya biaya pembebasan lahan.

Selain itu, faktor lainnya adalah perubahan harga pada saat pengerjaan proyek. Sumber dekat yang dikutip Tempo mengatakan dalam evaluasi atas seluruh aspek proyek tersebut ditemukan pembengkakan biaya alias cost overrun yang mencapai 23 persen dari nilai awal yang besarnya mencapai 23 persen dari nilai awal yang besarnya US$6,071 miliar.

"Hitungan ini masih bergerak karena harus dikonfirmasi lagi," katanya kepada Senin (22/3/2021).

Cost overrun muncul karena ada beberapa perhitungan dalam beberapa perhitungan dalam studi kelayakan yang tidak akurat.

Studi kelayakan dari proyek strategis nasional itu disebut belum mencantumkan penjadwalan akuisisi lahan, sehingga penyelesaiannya sulit diprediksi. Padahal, pembebasan lahan kerap di Indonesia kerap terhambat isu sosial yang bisa berimbas kepada durasi pengerjaan proyek.

"Tidak bisa hanya memberi duit, lalu lahan langsung dilepas," kata dia. Seiring dengan waktu proyek yang molor akibat sempat terhambatnya pembebasan lahan, harga-harga barang terus naik.

Meski tidak merinci besarannya, sumber Tempo tersebut menuturkan beban proyek membesar karena penentuan trase yang kurang matang, sehingga bersinggungan dengan berbagai fasilitas umum dan sosial yang harus direlokasi. "Ini faktor langsung. Belum termasuk faktor tidak langsung seperti penangguhan selama masa pandemi, meski pengaruhnya kecil sekali."

Meskipun 75 persen pendanaan proyek dibiayai dengan pinjaman China Development Bank, biaya tambahan yang muncul selama pengerjaan harus ditanggung KCIC. "Pembengkakan biaya kereta cepat tak bisa ditalangi pinjaman. Harus murni dari ekuitas KCIC, makanya berat," ujarnya.

Saat ini, pemerintah Indonesia melalui konsorsium badan usaha pelat merah bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia memegang 60 persen saham di perusahaan patungan Indonesia dan China itu.

Empat badan usaha milik negara itu adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar 38 persen, PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) masing-masing 25 persen, serta PT Jasa Marga (Persero) Tbk 12 persen. Adapun 40 persen saham KCIC dipegang konsorsium asal Cina, Beijing Yawan HSR Co Ltd.

Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia Aditya Dwi Laksana pernah mengungkapkan bahwa biaya investasi kereta kencang Jakarta – Bandung akan terus naik karena karena banyaknya masalah yang merundung proyek tersebut. Banjir yang melanda beberapa lokasi di sepanjang jalur proyek, kata dia, membuat perusahaan harus menata ulang sistem drainase.

Pembengkakan biaya pun disebabkan insiden kerja yang berakibat pada penundaan proyek. Aditya mencontohkan terbakarnya pipa distribusi bahan bakar PT Pertamina (Persero) di Kota Cimahi, Jawa Barat, pada Oktober 2019, karena beradu dengan pengerjaan jalur kereta tersebut.

Biaya proyek juga melambung karena pembatasan mobilitas pekerja di masa pandemi Covid-19. "Dengan asumsi fixed cost, pekerja tetap dibayar sesuai jadwal, meski pekerjaan berhenti. Pasti jadi biaya baru," kata dia.

Adapun, terkait dengan pemberitaan ini, PT KCIC masih menyiapkan jawaban. Sementara itu, juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi belum ingin berkomentar mengenai langkah penyelesaian proyek tersebut dari sisi pembiayaan.

Dia hanya mengatakan lembaganya terus mendorong komunikasi internal mengenai eksekusi proyek dan skema kolaborasi yang lebih baik dengan delegasi China. "Kami memastikan project monitoring dilaksanakan dengan konsisten."

Juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati hanya bisa memastikan kementeriannya selalu mendorong Kereta Cepat Indonesia China memangkas kendala proyek. "Seperti soal tanah, bisa dikoordinasikan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang," ujarnya. []

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA