Politik Dinasti Politik

Politik Dinasti Politik

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh:Adhie M Massardi
Banyak yang menyepelekan dinasti politik karena mengira itu bagian dari tradisi kekuasaan. Padahal dinasti politik adalah sumber dari segala sumber bencana (sosial, politik, hukum, dan ekonomi) nasional. Karena itu harus segera diakhiri.

DINASTI politik adalah ibu yang melahirkan sistem politik dinasti: terpusatnya kekuasaan pada sanak-keluarga penguasa. Sesungguhnya ini adalah sumber bencana bagi negara-bangsa. Menjadi mata air air mata bangsa karena dampaknya memang benar-benar menyengsarakan rakyat.

Terlebih dalam demokrasi modern yang bangunan utamanya, yang menjadi sokogurunya, adalah partai politik yang menguasai dan menggunakan fasilitas publik secara optimal untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruh politiknya.

Kita paham, dalam demokrasi modern partai politik adalah sumber daya, atau sekurang-kurangnya yang menentukan hampir semua komponen bangunan ketata-negaraan lembaga-lembaga negara seperti:

1. Legislatif: MPR, DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
2. Eksekutif: Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota
3. Yudikatif: Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, bahkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
4. Eksaminatif: BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)

Padahal kita merasakan, mendengar, dan melihat sendiri, dan ini diperkuat dengan hasil riset akademis Nagara Institute pimpinan Akbar Faisal, betapa seluruh (9) partai politik di Indonesia, yang memiliki anggota legislatif di DPR-RI 100% terpapar “Virus Dinasti Politik” (VDP), dengan kadar ketercemaran yang, tentu saja, berbeda.

Tapi sekecil apapun kadar ketercemarannya, VDP adalah jenis virus politik yang daya rusaknya terhadap antibodi (sistem kekebalan dan integritas) kekuasaan/pemerintahan sangatlah dahsyat. Pada akhirnya merusak seluruh organ tubuh kekuasaan/pemerintahan.

Akibatnya tugas dan manfaat pemerintahan (penyelenggara negara) bagi rakyat (Indonesia) sebagaimana diamanatkan konstitusi nyaris tak berfungsi.

Bagaimana mungkin ada saling kontrol di antara lembaga negara (legislatif, eksekutif, yudikatif, dan eksaminatif) sebagaimana dimaksudkan dalam sistem kekuasaan demokratis jika sumber daya semua lembaga negara itu berasal dari partai politik yang dikuasai kekuatan dinasti politik, yang dibiayai para taipan dan kaum pedagang?

Secara sederhana, modus operasional virus dinasti politik dalam partai politik bisa dijelaskan begini:

Partai politik menyeleksi calon anggota legislatif (di pusat maupun daerah) berdasarkan hubungan kekerabatan atau kekuatan modal finansial kandidat.

Setelah terpilih, para anggota DPR ini, bersama eksekutif (pimpinan Presiden yang juga diproses elite partai politik) menyeleksi dan tentukan personalia lembaga negara lain seperti MA, MK, KPK, BPK, dll. Bahkan Jaksa Agung dan Kapolri juga ditentukan oleh mereka.

Dengan ilustrasi sederhana ini, tak sulit bagi kita membayangkan apa akibatnya kekuasaan pemerintahan yang dirancang seperti ini bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

1. Tak ada transparasi, akuntabilitas, dan kompetensi dalam sistem pemerintahan, terutama terkait pembuatan anggaran (APBN dan APBD) dan undang-undang turunannya.
2. Tidak ada kontrol (check and balances) antarlembaga negara.
3. Terjadinya anomali dalam sistem hukum dan matinya demokrasi.
4. Korupsi merajalela.
5. Kesenjangan ekonomi akan kian menganga karena pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan oleh dinasti politik (elite partai) dan kelompok taipan serta pemilik modal yang bersama elite partai politik membangun oligarki kekuasaan.

Sesungguhya akibat secara sangat serius politik nasional kita terpapar Virus Dinasti Politik inilah yang melahirkan perilaku gaduh para penyelenggara negara dewasa ini, serta dipertahankannya politik threshold (pembatasan sistematis anggota parlemen dan kandidat presiden dan pimpinan daerah) agar kekuasaan politik tetap berada dalam genggaman mereka.

Dengan demikian, mereka bisa tetap leluasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) demi mengakumulasikan modal finansial, yang selanjutnya menjadi instrumen penting untuk mengakumulasikan kekuatan politik melalui cara-cara money politic. Jadilah lingkaran setan, atau tepatnya: Setan Melingkar!

Peristiwa safari politik para elite partai yang dipertontonkan kepada pubik dalam pekan-pekan ini dan pekan-pekan ke depan mencerminkan ketakpedulian mereka terhadap persoalan yang menimpa masyarakat sekarang ini: daya beli merosot tajam, perekonomian tak tumbuh, pandemi Covid-19 menghantui semua kegiatan kehidupan, pendidikan anak-anak bangsa berantakan. Sementara kohesi sosial masyarakat terkoyak-koyak, sebab hukum tak lagi jelas bentuknya.

Melihat polah-tingkah mereka (dinasti di partai politik) yang sibuk mereka-reka kandidat presiden yang akan datang, mengingatkan kita pada bait-bait puisi WS Rendra "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta":

Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk surga
dan tidak untuk bumi

Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
bagi rakyatnya

Tapi dalam bait selanjutnya, pujangga besar Indonesia zaman modern ini memberikan pesan konstruktif: Saudari-saudariku, membubarkan kalian tidak semudah membubarkan partai politik.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita