Hapus Presidential Threshold Jika Khawatir Pembelahan, Bukan Dengan Presiden 3 Periode

Hapus Presidential Threshold Jika Khawatir Pembelahan, Bukan Dengan Presiden 3 Periode

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Wacana amandemen terbatas UUD 1945 bergulir semakin deras menyusul isu penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode melalui amandemen kelima di MPR.

Pemimpin Redaksi Kantor Berita Politik RMOL, Ruslan Tambak menyampaikan pandangan bahwa wacana presiden tiga periode hanya perbincangan di kalangan elit, bukan dorongan dari bawah.

Terlebih, Presiden Joko Widodo sendiri sudah berulang kali mengelak dan tidak terima dengan wacana itu, lantaran dia dianggap ambisius ingin melanggengkan kekuasaan.

"Wacana ini sudah muncul tiga kali, tiga kali juga Bapak Jokowi sudah menolak. Dan menurut saya, isu amandemen ini isu elite ya, terutama usulan tiga periode," ujar Ruslan Tambak dalam acara Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk 'Membedah Wacana Atas Amandemen Terbatas UUD 1945' secara virtual, Rabu (24/3).

Menurut Ruslan, jika memang amandemen UUD 1945 dirasa perlu dalam konteks ketatanegaraan dan kebaikan untuk bangsa ke depan, maka harus melibatkan semua anak bangsa, dan dilakukan kajian mendalam.

"Harus isu yang lahir dari bawah. Ya ini harus menjadi kebutuhan mendasar di masyarakat. Makanya kalau isu ini lahir dari bawah ya harus disambut. Jadi (amandemen) ini untuk siapa?" cetusnya.

Selain itu, Ruslan menyoroti wacana menghidupkan kembali Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) yang dulu disebut Garis Garis Besar haluan Negara (GBHN).

Menurutnya, perlu diskursus panjang untuk menghidupkan kembali PPHN. Atau kalau bisa cukup ditampung dalam sebuah undang-undang.
 
"Kalau pun ini misalnya harus dihidupkan GBHN/PPHN, menurut saya oke, tidak apa-apa, tapi kan masih ada ruang lain, tidak harus lewat amandemen," tuturnya.

Selanjutnya, Ruslan juga menyoroti jika alasan presiden 3 periode hanya sekadar untuk mengatasi pembelahan akibat polarisasi, maka solusinya bisa dengan mengurangi atau menghapus ambang batas pencapresan atau presidential threshold.

"Menurut saya, yang bisa mengatasi itu angka presidential threshold dikurangkan atau bisa dihapus. Kalau tetap 20 persen atau dinaikkan, ya akan ada dua paslon lagi, maksimal tigalah, pasti akan ada pembelahan lagi," tuturnya.

Selain itu, Ruslan mengusulkan agar demokrasi di Indonesia lebih sehat, sebaiknya masa jabatan presiden dibatasi dua periode, seperti sekarang. Dan kalau bisa, dua periode itu jangan berturut-turut.

"Soal petahana. Saya malah berpandangan kalau demokrasi kita ingin lebih sehat ya boleh dua periode, tapi jangan berurutan. Kita lihat saja fakta di lapangan bahwa di kabupaten/kota, provinsi, bahkan presiden, ya petahana itu biasanya mayoritas menang. Banyak yang terpilih karena abuse of power," ucapnya.

Ruslan Tambak bersama Department of Politics and International Relations CSIS, Arya Fernandez hadir sebagai penanggap dalam diskusi Forum Diskusi Denpasar 12 tersebut.

Adapun narasumber diskusi yang dibuka oleh Wakil Ke MPR Rerie Lestari Moerdijat itu, Guru Besar FISIP Universitas Indonesia Prof. Valina Singka, pakar hukum tata negara Universitas Pasundan Atang Irawan, dan Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari, serta closing remarks wartawan senior Saur Hutabarat. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita