Militer Myanmar Minta Demo Antikudeta Diakhiri, Alasannya Cegah COVID-19

Militer Myanmar Minta Demo Antikudeta Diakhiri, Alasannya Cegah COVID-19

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Pemimpin militer Myanmar meminta para pegawai negeri untuk kembali bekerja dan mendesak orang-orang untuk menghentikan pertemuan massal untuk menghindari penyebaran virus Corona. Hal itu diungkapkan saat protes antikudeta berlangsung hingga hari keenam.

Seperti dilansir Reuters, Jumat (12/2/2021) Jenderal Min Aung Hlaing menyampaikan permintaannya untuk pertama kali di depan umum. Ia menyalahkan "orang-orang yang tidak bermoral" atas gerakan pembangkangan sipil yang dilakukan petugas medis, guru, pekerja kereta api dan pegawai pemerintah lainnya.

"Mereka yang sedang jauh dari tugas diminta segera kembali menjalankan tugasnya untuk kepentingan negara dan rakyat tanpa memusatkan perhatian pada emosi," ujarnya.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh layanan informasi militer, dia juga mendesak masyarakat untuk menghindari pertemuan, yang menurutnya akan memicu penyebaran virus corona.

Para pengunjuk rasa berkumpul di seluruh wilayah pada hari Kamis (11/2). Ratusan pekerja berbaris di jalan di ibu kota Naypyitaw, meneriakkan slogan-slogan antimiliter dan membawa spanduk berisi dukungan kepada Aung San Suu Kyi. Ribuan orang juga berdemonstrasi di kota utama Yangon.

"Ini lelucon! Dia pasti benar-benar delusi untuk meminta orang-orang yang memprotesnya untuk kembali dan bekerja," kata salah satu pengguna Twitter, yang diidentifikasi sebagai Nyan Bo Bo, menanggapi pernyataan Min Aung Hlaing.

Ratusan pengunjuk rasa antikudeta Myanmar juga berdemonstrasi di Kedutaan Besar (Kedubes) China di Yangon, Myanmar pada hari Kamis (11/2). Mereka menuduh Beijing mendukung junta militer meskipun klaim itu ditepis Beijing.

Menurut organisasi non-pemerintah Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 220 orang ditangkap sejak militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.

Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap 10 pejabat militer dan mantan pejabat militer yang dianggap bertanggung jawab atas kudeta tersebut, termasuk Min Aung Hlaing. Mereka juga memasukkan tiga perusahaan permata dan giok yang disebut dimiliki atau dikendalikan oleh militer.

"Sanksi ini secara khusus menargetkan mereka yang memainkan peran utama dalam menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis di Myanmar. Sanksi itu tidak ditujukan pada rakyat Burma," kata Departemen Keuangan AS dalam sebuah pernyataan.

Sanksi tersebut mencegah individu yang disebutkan untuk melakukan bisnis di AS. Washington juga mengambil langkah pencegahan agar para jenderal tidak mengakses dana pemerintah Myanmar yang disimpan di AS.

Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan Amerika Serikat "siap untuk mengambil tindakan tambahan jika militer Burma tidak mengubah tindakannya".

Min Aung Hlaing dan jenderal tertinggi lainnya sudah berada di bawah sanksi AS atas pelanggaran terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya.

Anggota parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang mendesak pemulihan pemerintahan sipil. Inggris juga melihat langkah-langkah lebih lanjut yang dapat diterapkan, kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab.

"Komunitas internasional tidak akan menerima kudeta di Myanmar dan kami akan meminta pertanggungjawaban mereka," katanya.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB akan membahas soal Myanmar pada sesi khusus pada hari Jumat (12/2). Rancangan resolusi yang diajukan oleh Inggris dan Uni Eropa itu telah disponsori oleh 22 dari 47 anggota forum. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA