Bisa Jadi Bom Waktu, Pakar Epidemiologi Minta PPKM Mikro Dibatalkan

Bisa Jadi Bom Waktu, Pakar Epidemiologi Minta PPKM Mikro Dibatalkan

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Setelah PPKM Jilid 1 dan 2, hari ini diberlakukan PPKM mikro. Hal ini menjadi sorotan tajam dan terkesan membingungkan. Tak hanya masyarakat, pakar epidemiologi juga kebingungan dengan kebijakan ini.

Pakar Kesehatan Masyarakat dan Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengaku PPKM mikro ini jelas berlawanan dengan prinsip keilmuan. Sebab, testing dinilai menurun. Jika testing semakin kecil, maka seharusnya PPKM harus semakin ke makro.

"Karena kita tidak tahu petanya, mana RT yang aman dan tidak aman, karena testingnya rendah. Yang dianggap rendah bisa saja di sana berisiko tinggi, cuman belum terdeteksi. Berbeda dengan Hong Kong mampu melakukan mikro karena testingnya tinggi, makin tinggi testing tracing, petanya makin jelas itu bisa mampu makin mikro," kata Windhu saat dihubungi detikcom, Selasa (9/2/2021).

Dia menambahkan, PPKM mikro ini dianggap terlalu berani. Pasalnya, testing dan tracing sangat rendah dan menurun.

"Kita testing tracing rendah kok berani-beraninya mikro. Ini bom waktu. Nanti orang-orang yang dianggap aman bisa keluar semaunya. Padahal dia adalah mungkin orang-orang berisiko," jelasnya.

Seharusnya, kata Windhu, PPKM dikembalikan lagi ke tingkat kabupaten/kota tanpa tebang pilih. Semua daerah di Jawa-Bali harus melakukan PPKM tingkat kabupaten/kota.

Kalau menerapkan PPKM, maka dikembalikan lagi dengan cara yang benar, yakni dikembalikan ke kabupaten/kota, tetapi tidak dengan mikro. Sebab PPKM mikro menyebabkan testing rendah. Sementara untuk ketentuan zona, selama ini dinilai tidak dipatuhi daerah terlebih zona merah.

Windhu meminta untuk jangan terus menerus melakukan coba-coba saat pandemi COVID-19. Harus bersungguh-sungguh jika ingin berbasis masyarakat, seperti kampung tangguh. Namun jangan menerapkan PPKM mikro yang membuat zonasi yang justru berbahaya. Sebab, peta zonasi dianggap peta buta.

"Jadi kalau memang mau betul-betul mau di tingkat RT/RW, bukan zonasi seperti ini. Tapi yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat untuk pencegahan, penanganan, sampai sumber dayanya saling membantu karena tidak boleh bergerak," ujarnya.

"Kalau bisa PPKM mikro dengan zonasi ini dibatalkan atau karena sudah terlanjur, dua minggu saja (Diterapkan). Setelah itu kembali ke makro. Dan ketika makro, semua kabupaten/kota di Jawa-Bali dilakukan secara serentak. Zonasi itu harus betul-betul membawa konsekuensi kebijakan dan implementasinya, berdayakan masyarakat bahwa penanganann pandemi gerakan masyarakat," tambahnya.

Dia menegaskan, tracing yang semakin rendah itu seharusnya semakin makro, bukan semakin mikro. Hal itu dinilai keliru secara konseptual dan keilmuan. Sebab tidak memiliki peta, tetapi berani mengambil skala mikro yang justru bisa membahayakan dan menjadi bom waktu.

"Karena RT yang dianggap risiko rendah hijau atau kuning kemudian warganya dibebaskan, longgar. Padahal mungkin di situ adalah zona hijau dan kuning yang palsu, karena testing yang rendah. Artinya ini berbahaya. Kalau mau melakukan mikro lakukan tracing dan testingnya, bukan seperti sekarang. Kita itu tidak pernah mau belajar, maunya sendiri tidak berdasarkan ilmu, tergantung pikirannya dan arahnya ke ekonomi, itu yang keliru," pungkasnya. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA