Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik PKI, Pura-pura Ajak Berunding lalu Dibunuh

Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik PKI, Pura-pura Ajak Berunding lalu Dibunuh

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - KH Zakaria (84 tahun) adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqien (PSM) Takeran, Magetan, Jawa Timur. Dia merupakan salah satu saksi mata yang tersisa atas peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948. Ia menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kiai dan santri pesantren itu dijemput segerombolan orang bersenjata yang memaksa agar mengakui idelogi komunis.

Dalam wawancara yang dilakukan Republika.co.id, KH Zakaria mengatakan, seusai shalat Jumat pada 17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa orang tokoh PKI. Kepala gerombolan penculik dipimpin aktivis PKI Suhud. Mereka datang didampingi para pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di Takeran.

''Ketika menjemput, kepada Kiai Mursyid Suhud menukil ayat Alquran, innalloha laa yughoyirru bi qoumin hatta yughoyiyiru maa bi anfusihim (sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib satu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri). Setelah berkata seperti itu, Kiai Mursyid pun dibawa pergi dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya,'' kata Zakaria seraya mengaku bahwa peristiwa itu dan siapa saja orangnya hingga sekarang masih diingatnya dengan baik.

Zakaria menceritakan, tak cukup menyerbu pesantren PSM Takeran, pada saat itu banyak pesantren lain yang ada di sekitar Madiun dan Magetan yang juga didatangi gerombolan massa PKI pimpinan Muso itu. Salah satu di antara yang diserbu itu adalah Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren tua yang ada tak jauh dari wilayah Takeran.

''Ketika massa PKI sampai di pesantren Tegalrejo itu, pengasuh pondok KH Imam Mulyo ditangkap dan dilempari beberapa granat sembari diancam agar mau tunduk kepada ideologi dan partai mereka. Syukurnya granat itu tak meledak,'' ujar Zakaria.

Karena granat tak meledak, lanjutnya, maka kini ganti para santri yang tadinya diam saja berbalik melawan mereka. Para gerombolan itu ternyata pengecut karena malah lebih memilih lari karena ketakutan. "Mbah Kiai Pesantren Tegalrejo akhirnya bisa lolos dari penculikan,'' ungkap Zakaria. Dia kemudian menerangkan bila masa yang menyerbu pesantren itu berpakaian hitam, bersenjata, dan berikat kepala merah.

Melihat proses penculikan, di kemudian hari Zakaria menyimpulkan bahwa aksi kejam berupa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI pada bulan September tahun 1948 itu bukanlah aksi biasa yang tanpa tujuan. Setidaknya, mereka benar-benar sudah mempersiapkannya dengan matang, dan itu terbukti. Hanya dalam waktu singkat, para pemberontakan tersebut mampu menguasai wilayah yang cukup luas, yakni meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus.

''Sebelum meledak, di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Muso yang baru pulang dari Moskow. Pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai Mursyid mau diajak berunding karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,'' tegas Zakaria.

Pesantren Takeran merupakan pesantren tua. Didirikan oleh seorang bangsawan atau pangeran dari Keraton Yogyakarta yang merupakan salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Di zaman pergerakan, pesantren yang letaknya di sekitar ladang tebu dan pabrik gula itu menjadi tempat penggodokkan pendirian Partai Masyumi.

Tak jauh dari pesantren itu, di antara lahan perkebunan tebu terdapat lima lubang sumur yang menjadi kuburan pembantaian korban PKI. Di beberapa lubang kini sudah dibangung monumen dan menjadi tempat ziarah para keluarga korban pembantaian.

Dari nama korban yang tertera di dinding lubang pembantaian, tak hanya para kiai dan santri saja yang menjadi korbannya. Para pejabat daerah di seputaran Ngawi dan Madiun, seperti bupati, kepala polisi, residen, pegawai negeri sipil, juga dibunuh dan jasadnya dibenamkan ke dalam sumur yang berada di dekat pabrik gula Rejosari, Kecamatan Kawedanan, Magetan.

Dan ketika dicek di tembok monumen, di sana terpacak 26 nama. Mereka di antaranya bupati Magetan, para anggota kepolisian, patih Magetan, wedana, kepala pengadilan Magetan, kepala penerangan Magetan, lima orang kiai, dan para warga biasa lainnya. Selain itu, masih ada lima sumur lainnya yang juga dipakai sebagai ajang pembantaian. Bila dijumlahkan, seluruh korban pembantaian tercatat ada 114 orang.

Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis KH Imam Shofwan. Dia pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan azan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

Sedangkan, korban yang berasal dari keluarga Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) Takeran di antaranya adalah guru asal Arab Saudi Hadi Addaba' dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari mantan mendiang ketua DPR M Kharis Suhud. Bahkan, pada saat peristiwa terjadi, Kharis Suhud yang saat itu menjadi anggota tentara Siliwiangi adalah orang yang ikut membebaskan wilayah di sekitar pesantren Takeran dari penguasaan gerombolan bersenjata yang merupakan anak buah Musso.

''Beberapa hari, sekitar sepekan, pasukan Mas Kharis datang untuk membebaskan pesantren kami. Saat itu pangkatnya masih letnan,'' kata Zakaria.

Apakah kenangan buruk itu bisa terlupakan? KH Zakaria mengatakan tidak. Bahkan, meski sudah lebih dari 70 tahun berlalu, kenangan akan peristiwa penculikan itu masih diingatnya. Bahkan, laksana gambar hidup, bila diputar untuk diingat kembali, kenangan itu masih sangat jelas. Suasana, ekspresi wajah, dan para pelakunya masih terasa jelas seperti baru saja terjadi.

Berikut ini wawancara lengkap dengan KH Zakaria di rumahnya yang terletak di seberang jalan raya dan sisa rel lori pengangkut tebu. Di kompleks pesantren inilah kemudian lahir sosok Ketua MPR Kharis Suhud dan konglomerat jaringan media Jawa Pos Dahlan Iskan

Apa yang terjadi di Pondok Pesantren Takeran pada 18 September 1948?

Habis shalat Jumat, saya bersama para santri pondok yang sedang duduk-duduk di serambi masjid melihat ada mobil datang ke pesantren. Mobil itu warnanya hitam dan bentuknya kecil. Bersama mereka terlihat beberapa orang membawa stand gun dan ada yang membawa karaben. Di situ saya lihat ikut datang seseorang yang katanya berasal dari Jombang sebagai pemimpin rombongan. Orang itu beberapa waktu kemudian saya tahu namanya Suhud.

Sesampai di pesantren dan bertemu Kiai Imam Mursyid Mutaqin, ia kemudian berkata dengan mengutip ayat Alquran yang artinya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (bangsa) kecuali mereka yang berusaha mengubah nasibnya sendiri. Jadi, katanya rombongan yang datang itu ingin mengubah nasib bangsa Indonesia.

Tapi, sebelum mereka datang, di sekitar pesantren sudah tersebar pamflet yang isinya: Muso, Moskow, Madiun. Pamflet itu tersebar di sepanjang jalan raya yang ada di depan pesantren. Saya yang saat itu duduk di bangku kelas I SMP ikut membaca pamflet itu.

Nah, rombongan yang dipimpin Suhud yang di situ ada pejabat camat Takeran yang menjadi anggota PKI itulah yang menculik Kiai Mursid. Saat itu juga Kiai dibawa pergi.

Jadi, Anda masih ingat peristiwa itu?

Iya betul, bahkan sampai kini mimik wajah, warna pakaian para penculik itu semuanya saya masih ingat. Yang membawa pergi adalah seseorang yang memakai piyama warna krem. Dia pergi bersama Kiai Mursyid yang diapit oleh Suhud dan camat Takeran yang jadi anggota PKI itu.

Setelah Kiai Mursid dibawa pergi, kompleks pesantren ini saat itu kemudian di-stealing (dikepung) oleh para anggota PKI lainnya. Kami dikepung selama sekitar seminggu. Kami ingat betul pengepungan itu membuat persediaan garam di pesantren habis. Kami dikepung sekitar tujuh hari hingga pasukan Siliwangi datang membebaskan kami.

Kemudian bagaimana nasib Kiai Mursyid?

Semenjak dibawa pergi itulah, kami sampai kini tak tahu mengenai keberadaannya. Namun, seorang pemuda yang masih menjadi kerabat dan tinggal tak jauh dari pesantren melaporkan bila beberapa hari sebelum penculikan itu, desa-desa di sekitar Takeran dikepung oleh orang-orang yang berseragam hitam-hitam.

Mereka juga mengepung kantor Kecamatan Takeran. Beberapa rumah haji juga di sekitar Takeran didatangi, didobrak pintunya, dan penghuninya diancam. Mereka juga memukulinya dan memaksa agar tunduk pada PKI. Kata mereka, "Kamu mau tunduk, tidak?" Kalau tidak, terus dipukuli dan baru berhenti setelah menyatakan menerimanya.

Di situlah saya lihat penculikan itu memang disengaja dan sistematis. Para kader PKI terlihat sudah betul-betul siap melaksanakan gerakannya. Mereka bergerak ke mana-mana.

Apakah ada korban lain selain Pak Kiai Mursyid?

Yang diculik langsung di depan santri memang hanya beliau. Tapi, beberapa hari kemudian banyak santri dan pengurus pesantren juga hilang diculik mereka. Yang hilang itu kerabat kami, Moh Suhud (ayah Ketua MPR/DPR Moh Kharis Suhud), seorang guru yang mengajar di Mualimin milik Pesantren Takeran; kakak ibu saya, Imam Faham; ada Ustaz Hadi Addaba' (orang Arab yang menjadi guru bahasa Arab) di Pesantren Takeran; Maijo (kepala MI Takeran).

Ada juga yang ikut hilang, yakni Husen (anggota Hizbullah). Juga ada beberapa keluarga kiai pengikut tarekat yang ikut dibunuh. Nama-nama mereka sudah saya lupa persisnya. Namun, setelah jasadnya diangkat dari sumur, jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Madiun dan Magetan.

Menurut Anda, apa yang membuat pengikut PKI itu begitu membenci para kiai dan santri sehingga mereka tega membunuhnya?

Saat kejadian, saya tak tahu mengapa itu terjadi. Namun, ketika saya mulai besar dan kuliah, saya mulai paham apa dan mengapa peristiwa pembantaian PKI di Madiun terjadi. Apalagi, pesantren kami ini semenjak dahulu adalah basis pergerakan. Leluhur kami adalah seorang pangeran dari Yogyakarta (Pangeran Kertopati) yang ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro. Dan, di pesantren ini pula Masyumi itu digagas. Jadi, lingkungan kami adalah orang yang paham dunia pergerakan.

Nah, setelah lepas dari situasi itu, dan ketika saya mulai kuliah, saya makin paham dengan situasi politik. Mulai tahun 1960-an, agitasi politik dari PKI memang terus menaik tinggi. Dan, sama dengan tahun 1948, agitasi itu juga mulai menargetkan dan menyerang posisi kiai yang katanya jadi bagian tujuh setan desa karena punya tanah luas.

Kalau begitu, peristiwa 1948 terus terbawa-bawa hingga 1965?

Peristiwa penculikan di September 1965, di mana anggota PKI menipu kami dengan mengajak Kiai Mursyid berunding dan kemudian menculik dan membunuhnya, itu berbekas di hati. Ketika semakin besar, saya kemudian mencari jawabannya, misalnya dengan memperlajari sejarah revolusi kaum buruh di Rusia atau revolusi Cina yang dipimpin Mao Zedong.

Di situlah saya tahu Muso itu muridnya Lenin, yang lari ke Moskow setelah memecah Syarikat Islam. Dan dari situ pula saya yakin bila partai komunis itu partai yang bersenjata yang siap merebut kekuasaan kapan saja ketika waktunya tiba.

Di desa-desa sekitar Takeran, semenjak perayaan ulang tahun PKI tahun 1964, terdengar seruan bagi-bagi tanah. Sebutan setan desa muncul di mana-mana. Saat itulah kami yakin peristiwa seperti 1948 akan terjadi lagi. Cuma waktunya belum tahu. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita