Soekarno Beroleh Poin Terpenting Pancasila Kala Bertandang ke Limapuluh Kota, Sumbar

Soekarno Beroleh Poin Terpenting Pancasila Kala Bertandang ke Limapuluh Kota, Sumbar

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Sepenggal pernyataan Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Puan Maharani dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri soal Pancasila dan Sumatra Barat, menyinggung banyak orang Sumatra Barat, dan bergulir menjadi bola panas. Di giring ke sana sini.

“Semoga Sumatra Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila,” kata Puan. Pernyataan politik, Rabu (2/9), pada momen mengumumkan pasangan calon yang direkomendasikan maju di Pilkada 2020 Sumatra Barat yakni politikus Demokrat Mulyadi dan Bupati Padang Pariaman, Ali Mukhni, telah meletupkan api kecil yang jika ditakar melukai sanubari orang minang.

Api semakin membesar, tatkala Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri membumbuinya, dengan mengaku bertanya-tanya mengapa PDIP masih sulit memenangkan Pilkada di Sumbar. Meskipun, kata dia, PDIP sudah mulai memiliki kantor DPC dan DPD di Bumi Minangkabau itu. “Saya pikir kenapa ya, rakyat di Sumbar itu sepertinya belum menyukai PDI Perjuangan,” bilang Megawati, sebagaimana dicuplik dari tempo.co.

Meski segala klarifikasi dilakukan oleh petugas partai PDI Perjuangan, namun luka telah meruyak. Sehingga beragam narasi dari pelbagai sudut pandang pun telah banyak bermunculan untuk obat menyembuhkan luka itu.

Baca Juga: Pengamat: Pernyataan Puan Soal Pancasila Bentuk Kekecewaan Kalah di Sumbar

Banyak cara untuk menyembuhkan luka, salah satunya mengkaji kembali ihwal Pancasila itu sendiri; duri yang melukai itu.

Ditarik ke belakang, masa peralihan dari Belanda ke Jepang tahun 1942, datuk Puan, Sukarno alias Bung Karno, berada di Sumatra Barat selama lima bulan. Kisaran waktunya dari Februari 1942 hingga Juli 1942.

Selama itu pula, Bung Karno memanfaatkan waktu bertandang ke sana ke mari, bertemu dengan rakyat dan tokoh yang dipandang punya pengaruh untuk merajut nasionalisme.

Alkisah, Bung Karno berkunjung ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang didirikan Syekh Abbas Abdullah.

Dalam pertemuan singkat itu, Syeikh Abbas memberi wejangan kepada Bung Karno soal bentuk negara yang ideal jika sudah berdiri sendiri.

“Bung Karno berkunjung ke madrasah Darul Funun, dengan tujuan meminta saran kepada Syeikh Abbas Abdullah tentang apa sebaiknya bagi negara Indonesia yang akan didirikan kelak, bila kemerdekaan benar-benar tercapai. Dalam hal ini Syeikh Abbas menyarankan negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tulis Muslim Syam dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, terbitan Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981.

Syekh Abbas, yang dikenal dengan sebutan Buya (Syeikh) Abbas Padang Japang, menambahkan kalau konsep Ketuhanan diabaikan, revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan.

Fachrul Rasyid HF, yang turut menulis dalam buku tersebut, mengatakan tidak banyak orang tahu pembicaraan mereka berdua sebelum Buya Abbas mengungkapkannya tiga hari kemudian. “Di hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid al-Abbasyiah. Syekh Abbas mengatakan kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar dan penyelenggaraan negara,” ujar Fachrul menirukan kembali cerita yang dia dapat dari keluarga Syekh Abbas dan masyarakat setempat.

“Persisnya, Syekh Abbas menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan.”

Darul Funun merupakan madrasah yang cukup berpengaruh berkat kebesaran dua syeikhnya, yakni Syeikh Abbas Padang Japang dan Syekh Mustafa Abdullah.

Baca Juga: Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa: Ulama Bersaudara, Pejuang dari Padang Japang

Kebesaran kedua syekh yang bersaudara ini membuat Sukarno merasa perlu ke Padang Japang, setelah bebas dari pembuangan di Bengkulu. Bukti mesranya hubungan Bung Karno dengan dua ulama tersebut berjejak dalam selembar dokumentasi foto yang diambil Said Son.

Syekh Abbas dan Syekh Mustafa adalah murid ulama Minangkabau terkemuka di Mekah, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Syekh Abbas juga kawan dekat Syekh Abdul Karim Amarullah atau Inyiak Rasul. Bersama Abdullah Ahmad dan beberapa ulama lainnya, Syekh Abbas mendirikan nama madrasah yang sama yakni Madrasah Sumatra Thawalib.

Tahun 1930, Syekh Abbas mengubah Sumatra Thawalib di Padang Japang menjadi DFA karena menolak bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Syekh Abbas sendiri kala itu bukan sekadar ulama melainkan juga panglima jihad Sumatra Tengah. Pasukan jihad ini didirikan DFA sebagai basis perjuangan menghadapi Belanda. Anggotanya adalah Hizbul Wathan dan Laskar Hizbullah.

Sementara sekolah tetap menjadi basis menggapai dan mengisi kemerdekaan.

“Wajar Sukarno menemui Syekh Abbas karena dia bukan saja ulama tapi panglima perang,” tukas Fachrul, wartawan senior di Sumatra Barat, tempo hari.

Bung Karno bertolak dari Padang menuju Jakarta di bulan Juli 1942. Selanjutnya, sebagaimana yang kita ketahui, dia menjadi lakon jelang Indonesia memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945. Bung Karno, lalu Bung Hatta yang berasal dari tanah Minang, menjadi duo yang didaulat sebagai proklamator Indonesia.

Kemerdekaan sudah terasa di depan mata. Segala persiapan pun dilakukan, utamanya mengenai ideologi dasar bagi negara Indonesia.

Pada 1 Juni 1945, Sukarno berpidato di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia mengajukan lima prinsip sebagai dasar negara Indonesia: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.

Kelak pidato bersejarah itu dijadikan patokan sebagai hari lahir Pancasila.

Konsep Ketuhanan yang ditempatkan pada prinsip kelima oleh Bung Karno akhirnya menjadi sila pertama dengan modifikasi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rumusan Panitia Sembilan.

Menurut Charles Simabura, dosen ilmu tata negara Universitas Andalas, dalam sidang pertama BPUPKI pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, semua anggota memberi usul. Hampir semua menawarkan konsep Ketuhanan.

Menurutnya, konsep Ketuhanan yang diusulkan terutama dari golongan agama lebih kongkret lagi yakni Ketuhanan dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.

Dalam konteks ide Ketuhanan yang ditawarkan Bung Karno, datangnya bisa saja pergaulan dengan ulama lain, namun sejarah mencatat, Buya Abbas pernah mengucap untuk Bung Karno.

Pancasila merangkum 5 konsep yang menjadi pilar ideologis bangsa Indonesia. Dari 5 sila, selain Ketuhanan, menurut Ketua DPD PDI Perjuangan Sumbar, Alex Indra Lukman sila ke-4 juga berasal dari alam minangkabau.

“Bung Karno (Sukarno-red) bahkan mengunjungi langsung dan berdialog dengan berbagai tokoh dari tanah Minangkabau, saat perumusan nilai-nilai dasar negara Pancasila ini. Salah satu butir Pancasila yang berasal dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Minangkabau, terangkum dalam Sila ke-4 yang berbicara tentang musyawarah dan mufakat,” ungkap Alex dalam pernyataan tertulis, Kamis (3/9/2020).

Alex berharap, masyarakat Sumatra Barat memahami suasana kebathinan rapat internal partai yang digelar secara terbuka itu.

“Ranah Minang adalah bumi Pancasila. Tidak mungkin memisahkan Pancasila dan Minangkabau beserta tokoh-tokohnya terhadap perjalanan bangsa ini,” tegas Alex.[langgam]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita