Haji Agus Salim, Diplomat asal Sumbar yang Turut Merumuskan UUD 45

Haji Agus Salim, Diplomat asal Sumbar yang Turut Merumuskan UUD 45

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Ucapan Ketua DPR Puan Maharani soal 'semoga Sumbar (Sumatera Barat) jadi pendukung negara Pancasila' memicu kegaduhan. Puan dituding hendak mendiskreditkan Sumbar meskipun tak bermaksud demikian. Sumbar tercatat sebagai Provinsi yang telah melahirkan banyak tokoh nasional, salah satunya ialah Haji Agus Salim.

Sebagaimana yang ditulis oleh Faisal Basri dan Haris Munandar dalam buku 'Untuk Republik: Kisah-kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa' Haji Agus Salim lahir dengan nama asli Musyudul Haq (bermakna "pembela kebenaran") di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat 8 Oktober 1884.

Salim mulai menimba ilmu di sekolah khusus anak-anak Eropa, Europeesche Lagere School(ELS), sekolah dasar paling bergengsi di era kolonial.

Salim senang dan cepat sekali menguasai satu bahasa. Pelajaran-pelajaran lain dikuasainya dengan mudah karena logika berpikirnya sangat tajam. Begitu lulus pada 1897, ia melanjutkan studinya ke Hogere Burger School(HBS) di Batavia. Lulus dari HBS dengan nilai tertinggi saat berumur 19 tahun, Agus Salim mengajukan beasiswa untuk belajar kedokteran di Belanda, sempat tapi ditolak.

RA Kartini yang telah memperoleh persetujuan beasiswa sebesar 4.800 gulden tapi batal berangkat karena hendak menikah, berusaha melobi pemerintah agar dana itu dapat digunakan Salim. Ditolak lagi, Kartini terus membelanya dengan mengajukan permohonan ulang hingga akhirnya disetujui. Hanya saja, Salim terlanjur tak mau, dan ia memutuskan untuk bekerja saja. Pekerjaan pertamanya yakni sebagai penerjemah dan asisten notaris di sebuah perusahaan pertambangan di Indragiri. Selanjutnya pada 1906, ia terbang ke Jeddah untuk menjadi penerjemah dan petugas urusan haji di Konsulat Belanda.

Salim kemudian sempat ditugaskan pemerintah kolonial untuk menjadi agen mata-mata guna mengawasi Sarekat Islam (SI) yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Saat itu, SI dicurigai Belanda sebagai organisasi radikal yang membahayakan. Namun, alih-alih menjadi mata-mata, Salim justru membelot dan bergabung dengan SI.

Kiprah politik Salim berlanjut di Jong Islamieten Bond (JIB). Selain bergerak di jalur politik, Agus Salim juga seorang jurnalis. Ia antara lain sempat berkiprah bersama Harian Neratja, Hindia Baroe, dan mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Haji Agus Salim bergabung ke jajaran Bapak Bangsa ketika terpilih sebagai salah seorang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia bahkan termasuk dalam Panitia Sembilan, tim kecil perumus Pembukaan UUD RI.

Secara terpisah, karena cita bahasanya yang halus, Salim bersama Prof Pangeran Aria Husein Djajadiningrat dan Soepomo juga diminta menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945.

Setelah Indonesia merdeka, karena kompetensinya, Agus Salim sempat dipercaya menjabat menteri dalam beberapa kabinet. Di Kabinet Sjahrir I dan II, Agus Salim adalah menteri muda luar negeri. Sementara itu, di Kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan Kabinet Hatta (1948-1949), ia menjabat menteri luar negeri.

Pada tahun 1947, ia menjadi penasehat tim perundingan Linggarjati; di tahun yang sama ia bersama Sutan Sjahrir menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia di New Delhi. Misi diplomatik ini sukses. Sjahrir dan Salim mengikat janji dengan Pandit Jawaharlal Nehru (Bapak India) dan Muhammad Ali Jinnah (Bapak Pakistan) untuk saling mendukung kemerdekaan masing-masing.

Saat itu, manuver diplomasi RI ditanggapi Belanda dengan Agresi Militer I. Belanda menuduh dengan melakukan manuver diplomasi itu, RI sudah menyalahi Perjanjian Linggarjati. RI membalas dengan menggencarkan misi diplomatik.

Selanjutnya Haji Agus Salim selaku menteri luar negeri memimpin delegasi Indonesia ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Berkait kepiawaiannya berbahasa Arab dan adab Islamnya yang mengesankan, Indonesia berhasil memperoleh pengakuan formal dan dukungan moral kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947).

Ini adalah prestasi besar, karena merupakan pengakuan de jure pertama dari masyarakat internasional bagi eksistensi Republik Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Pengakuan ini terasa kian berharga kalau diingat saat itu Indonesia terikat dengan Perjanjian Linggarjati yang hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayahnya. Pengakuan Mesir berlaku untuk wilayah Indonesia yang meliputi semua bekas Hindia Belanda. Mesir tidak berubah sikap sekalipun diprotes habis-habisan oleh Belanda.

Selanjutnya Agus Salim kembali mendampingi Sutan Sjahrir, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, Amerika Serikat. Kelanjutan Linggarjati macet karena Belanda menolak berunding sebagai protes terhadap manuver diplomatik RI. Misi ke PBB sukses karena PBB atas dukungan Amerika Serikat membentuk Komisi Jasa Baik yang bisa memaksa Belanda duduk kembali di meja perundingan.

Dalam Perjanjian Renville, Agus Salim kembali diutus untuk berunding dengan Belanda, mendampingi Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Mohammad Roem, Ir. Djuanda, dr. Jo Leimena dan Mr Johannes Latuharhary. Dalam perundingan tersebut sejak awal Salim sudah merasa perundingan itu tidak ada gunanya, karena ia menduga Belanda sudah memutuskan untuk menempuh jalur militer guna merebut kembali jajahannya.

Belanda mengabaikan peringatan itu, dan ternyata Salim terbukti benar. Burma, India, Pakistan yang baru merdeka, dan banyak negara lain sontak memprotes Agresi Militer II, sekaligus menyusul Mesir, Lebanon dan Suriah dalam memberikan pengakuan de jure penuh kepada Republik Indonesia.

Ketika usianya semakin tua, Salim kemudian memutuskan pensiun dengan jabatan terakhir sebagai penasihat Kementerian Luar Negeri. Dia sempat pergi ke Amerika Serikat bersama istrinya untuk menikmati masa tua.

Sepulangnya ke tanah air, di masa pensiun Salim sempat membuat sejumlah tulisan, sampai ia jatuh sakit. Pada 4 November 1954 Haji Agus Salim wafat dalam kesederhanaan, tenang dan damai. Haji Agus Salim adalah pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan Negara pada pria asal Sumbar itu pada tahun 1961.

Sumbar menjadi ramai diperbincangkan usai PDIP mengumumkan cagub-cawagub Sumbar untuk Pilkada 2020. Di sela pengumuman, terselip harapan Puan untuk Sumbar.

"Rekomendasi diberikan kepada Insinyur Mulyadi dan Drs H Ali Mukhni. Merdeka!" kata Puan, Rabu (2/9).

"Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila," imbuhnya.

PDIP pun membela Puan dengan menyatakan bahwa pernyataan tersebut tak bermaksud mendiskreditkan masyarakat Sumbar.

Yang dimaksudkan Mbak Puan dan sebagaimana seluruh kader partai mengingatkan bagaimana Pancasila dibumikan tidak hanya di Sumatera Barat, tetapi di Jawa Timur, di seluruh wilayah Republik Indonesia, Pancasila harus dibumikan," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Kendati demikian, pernyataan Puan ini tetap menuai protes dan berbuntut panjang. Mulyadi-Ali Mukhni mengembalikan suara dukungan itu. Pasangan yang saat ini masing-masing menjabat anggota DPR RI dan Bupati Padang Pariaman, mengaku kecewa atas pernyataan yang dilontarkan putri Megawati Soekarnoputri tersebut.

"Ya kami sudah sepakati bersama Pak Mulyadi, kita kembalikan SK dukungan dari PDIP. Jadi Mulyadi-Ali Mukhni hanya diusung oleh Demokrat dan PAN. (Dukungan) PDIP kami kembalikan lagi," kata Ali Mukhni dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (5/9/2020).

Ali Mukhni mengaku langkah tersebut diambil akibat banyaknya desakan dari masyarakat Sumatera Barat, baik yang di kampung maupun di perantauan, yang merasa kecewa atas pernyataan Puan.[]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita