Dosen UGM Korban Buzzer Caboel: Saya Dibekap, Diremas Payudara, Dicium Paksa

Dosen UGM Korban Buzzer Caboel: Saya Dibekap, Diremas Payudara, Dicium Paksa

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Salah satu korban buzzer caboel Bambang Arianto kembali bersuara. Dosen UGM ini mengaku pernah dilecehkan dan ia kecewa karena pelaku masih belum kena sanksi.

“Pelaku menyerang secara random. Orang yang tidak saya kenal dan dia tidak kenal saya,” kata Fani, bukan nama sebenarnya, seorang dosen perempuan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM).

Ia menceritakan penyerangan seksual yang dialaminya 16 tahun lalu kepada reporter Tirto, Selasa (4/8/2020). Saat itu ia masih menjadi asisten dosen di Sosiologi. Siang saat jam kerja pada bulan Maret 2004, ia berangkat ke gedung pusat universitas untuk menyerahkan draf dokumen akreditasi jurusan.

Saat ia sampai di gedung pusat UGM, tepatnya di lantai 2, seorang pria yang belakangan diketahui bernama Bambang Arianto, mahasiswa D3 Ekonomi UGM, tiba-tiba menyerangnya dari belakang dan melakukan kekerasan seksual secara fisik.

“[Saya] dibekap, diremas payudara, dan dicium paksa. Tapi refleks saya melawan cukup bagus karena banyak kasus justru korban malah freeze. Setelah berhasil lepas saya dorong, saya teriak dan satpam datang.”

Penyerangan itu membuatnya syok. Fani kemudian melaporkan Bambang ke polisi. Ia mendapatkan dukungan teknis dari Rifka Annisa, sebuah organisasi non-profit yang mengadvokasi isu kekerasan terhadap perempuan.

Bambang sempat diperiksa polisi. Namun, laporan Fani dianggap lemah karena tidak ada saksi yang melihat langsung kejadian, sedangkan kamera pengawas atau CCTV belum ada di tempat itu. Kesaksian korban saja dianggap tak cukup, sementara satpam yang menolong dinilai bukan sebagai saksi karena tak melihat kejadian. Akibatnya, proses hukum sulit dilanjutkan.

Meski penanganan kasusnya tak ada kemajuan hingga bertahun-tahun, Fani tidak mencabut laporannya. Belakangan, ia tahu kasusnya sudah kedaluwarsa.

Laporan ke polisi itu sejatinya juga diketahui oleh pimpinan universitas kala itu. Namun, kata dia, tidak pernah ada tindak lanjut mengenai sanksi yang diberikan kepada mahasiswa pelaku pelecehan dan kekerasan seksual.

“Sampai 16 tahun berlalu saya belajar berdamai dengan trauma dan ketakutan saya atas penyerangan yang menimpa saya,” ujar Fani.

Kini ia mendapati fakta bahwa pelaku kembali berulah. Puluhan perempuan mengaku menjadi korban pelecehan seksual Bambang.

Ia tak pernah diadili atas perbuatannya melakukan penyerangan dan kekerasan seksual. Bahkan tanpa ia tahu, sang pelaku setelahnya masih dapat menyelesaikan studi S2 Fisipol UGM. “Artinya saat itu tidak ada upaya serius untuk memberi sanksi akademik pada pelaku sampai dia pada akhirnya bisa sampai pada titik ini.”

Hal itu juga sudah diungkapkan Fani pada 2018 lalu saat kasus kekerasan seksual terhadap Agni mencuat di UGM. Ia juga sempat mengungkapkan kekecewaannya sebagai penyintas yang tak mendapatkan keadilan sebagaimana Agni saat itu.

Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM Iva Ariani kepada Tirto, Selasa (4/8/2020), membenarkan adanya peristiwa 16 tahun lalu itu. Pihaknya telah melakukan penelusuran termasuk meminta keterangan korban.

“Menurut korban memang dia [Bambang Arianto] pelakunya waktu itu [2004],” kata Iva.

Meski kasus tersebut telah dibawa ke ranah hukum, tetapi ia tidak mengetahui secara pasti hasilnya. Yang jelas, kata dia, usai kasus itu, Bambang beberapa tahun kemudian memang kembali tercatat sebagai mahasiswa S2 di UGM.

UGM, kata dia, mengecam segala bentuk tindakan pelecehan dan kekerasan seksual, termasuk apa yang diduga dilakukan oleh Bambang Arianto. Namun, memang hingga sejauh ini belum ada pembahasan mengenai saksi yang akan diberikan.

Melalui bidang hukum dan organisasi dan unit layanan terpadu, UGM, kata dia, telah melakukan kajian dan pemantauan terhadap korban. “Kami sedang mendata sejumlah korban agar kita tahu kebutuhan korban yang membutuhkan dukungan,” ujar Iva. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita