Tanda-tanda Akhir Kedigdayaan Amerika

Tanda-tanda Akhir Kedigdayaan Amerika

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Dr. Muhammad Najib

PERANG Dunia ke-2 berlangsung selama enam tahun (1939-1945), melibatkan banyak negara di dunia yang kemudian membentuk dua aliansi: Sekutu versus Poros. Perang ini memakan korban hilangnya nyawa manusia sekitar 50 sampai 70 juta jiwa.

Aktor utama Sekutu antara lain: Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Inggris. Sedangkan di kelompok Poros: Jerman, Jepang, dan Italia. Sebagai lazimnya pemenang perang, Sekutu kemudian menentukan tata dunia baru, khususnya secara politik dan ekonomi.

Dunia kemudian ditata dengan prinsip multilateralisme, baik dalam tatanan politik, ekonomi, hukum, kesehatan, sosial, maupun budaya, dan lain-lain. Disamping meletakkan banyak orangnya, negara-negara pemenang perang juga menentukan aturan main, yang sekilas seolah-olah fair, akan tetapi jika dicermati secara mendalam terdapat previladge bagi negara-negara yang masuk blok Sekutu.

Hal ini nampak jelas pada lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang memberikan hak veto pada lima negara. Negara-negara lain sebenarnya mengetahui ketidakfairan ini, akan tetapi tidak kuasa untuk menolaknya, dan terpaksa mengikuti karena tiadanya daya untuk melawan.

Sejak saat itu Amerika dan Uni Soviet mendominasi panggung politik global yang kemudian menjadi dua raksasa (super power) yang bersaing berebut pengaruh ekonomi, politik, maupun militer. Amerika menjajakan demokrasi, sedangkan Uni Soviet menawarkan komunisme.

Uni Soviet akhirnya ambruk pada tahun 1991, disebabkan berbagai persoalan internal yang merupakan akibat dari penyakit bawaan dari sistem komunisme yang sentralistik dalam manajemen, otoritarian dalam kepemimpinan, dan menghalalkan penggunaan kekerasan dalam politik kekuasaan.

Sementara demokrasi Amerika yang mengakibatkan liberalisme dalam politik dan kapitalisme dalam ekonomi, mulai menampakkan akibat penyakit bawaan lain seperti keserakahan terhadap materi dalam ekonomi, menghalalkan cara dalam politik, individualisme dalam kehidupan sosial.

Semua ini membuat kemerosotan Amerika dalam menjalankan perannya dalam sistem global yang dibangunnya sendiri. Tanda-tanda tersebut nampak nyata sejak Dilonald Trump tampil sebagai Presiden Amerika yang ke-45 yang mengusung slogan: America First.

Dalam praktiknya, America First ternyata berupa surutnya Amerika dari berbagai peran globalnya. Hal ini terlihat dari keluarnya Amerika dari berbagai organisasi internasional seperti: UNESCO, WHO, Dewan HAM PBB, Pakta Perdagangan Trans Pasifik, Forum Kesepakatan Iklim Paris, dan Kesepakatan Nuklir Iran.

Pada saat bersamaan Amerika membuat Undang-undang Countering America's Adversaries Trough Sanctions Act (CAATSA), yang memberikan hak kepada Gedung Putih untuk menjatuhkan sangsi kepada negara-negara yang dianggap bekerjasama dengan musuh Amerika.

Meskipun sampai saat ini hanya ada tiga negara yang dikategorikan musuh: Rusia, Korea Utara, dan Iran. Akan tetapi, setiap saat Amerika bisa menambahkan mengingat kriteria yang digunakannya tidak jelas, sebagaimana ia juga memasukkan sebuah organisasi kedalam kategori teroris "semau gue" kata orang Betawi atau "sa'karepe dewe" kata orang Jawa, sehingga kemudian layak diberi sanksi.

Ironinya, undang-undang ini justru kini menggerogoti wibawa Gedung Putih sendiri. Akibat terlalu banyak mengumbar sanksi, sejumlah negara kemudian terpaksa melanggarnya. Naasnya, menghadapi pelanggaran ini Amerika tidak mampu bertindak. Hal ini terlihat ketika Iran mengirimkan tanker minyaknya ke Venezuela atau ketika India dan Turki membeli rudal super canggih S-400 dari Rusia.

China sebenarnya merupakan negara yang paling banyak melanggar CAATSA, akan tetapi karena secara ekonomi, politik, maupun militer sangat kuat sehingga membuat Amerika cendrung tutup mata dalam menyikapinya. Negara lain yang kerap melanggar sanksi Amerika adalah Korea Utara yang secara militer cukup kuat.

Indonesia juga mengalami ancaman sanksi yang serupa dari Amerika, akibat rencana membeli pesawat tempur canggih Sukhoi jenis SU-35 dari Rusia. Amerika keberatan karena Gedung Putih ingin Jakarta membeli pesawat tempur buatannya. Karena itu realisasi pembelian SU-35 terus ditunda-tunda.

Apabila fenomena seperti ini terus berlangsung, maka semakin lama akan semakin banyak negara yang akan melanggar berbagai kebijakan yang dibuat Amerika. Lebih dari itu akan semakin banyak pula negara yang berani melawan kebijakan Gedung Putih.

Pada saat bersamaan Presiden Amerika Donald Trump yang mengusung slogan: America First, kini bahkan telah mengabaikan dan tidak peduli lagi dengan opini mayoritas negara dan pendapat masyarakat global, sebagaimana sikapnya mendukung keinginan Israel untuk menganeksasi sekitar sepertiga wilayah Palestina di Tepi Barat, sekedar untuk kepentingan politik elektoral.

Dengan kebijakannya seperti ini, Trump berharap mendapat dukungan komunitas Yahudi di Amerika yang cukup besar, sehingga bisa terpilih kembali untuk kedua kalinya dalam pemihan Presiden Amerika pada November mendatang.

Kalau situasinya sudah seperti ini, maka pada hakikatnya para pemimpin Amerika saat ini telah meninggalkan nilai-nilai yang diagungkannya yang membuat Amerika disegani selama ini. Wallahua'lam. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita