RUU HIP, Pancasila, Dan BPIP

RUU HIP, Pancasila, Dan BPIP

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh:Syamsuddin Radjab
 BEBERAPA hari terakhir ini muncul polemik terkait RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang tengah dibahas oleh parlemen dan telah ditetapkan sebagai hak inisiatif DPR dalam sidang paripurna pada 12 Mei 2020.
Penyusunannya sendiri sudah dimulai sejak pertengahan Februari dan panitia kerja (Panja) telah mengundang ahli untuk memberikan pandangan dan masukan terkait RUU HIP.

Penetapan RUU HIP oleh DPR langsung mendapat respons dari beberapa fraksi seperti PKS, PAN dan PPP yang menyayangkan tidak masuknya TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran dan pelarangan PKI di Indonesia dan larangan menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme sebagai rujukan dalam konsideran.

Terakhir muncul pesan berantai (message blasting) dan menjadi viral terkait sejarah kekejaman dan pengkhianatan PKI dipelbagai platform media sosial disusul saling sindir antara Moh. Mahfud, MD dengan Fadli Zon di twitter terkait RUU HIP.

Fadli menyinggung soal urgensi RUU HIP sementara Mahfud menilai bahwa RUU HIP justeru usul DPR dan didukung Partai Gerindra dimana Fadli bernaung.

Catatan RUU HIP

Membaca RUU HIP, saya memberikan beberapa catatan diantaranya yakni, Pertama, asal RUU HIP. Sulit membedakan bangunan struktur kerangka pikir yang dibuat kedeputian bidang pengkajian dan materi BPIP tentang Kedudukan Hukum dan Materi Pokok Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila (GBHIP) yang dibuat sejak tahun 2019 dengan sistematika penormaan dan bahasa yang disusun dalam RUU HIP yang mengandung unsur kesamaan atau sangat mirip.

BPIP sendiri sudah mendesain kerangka RUU PHIP (Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila) yang kemudian didorong ke DPR melalui Badan Legislasi lalu dibuatkan naskah akademiknya 2020.

Jadi ini soal pemakaian pintu saja, apa pintunya melalui DPR atau BPIP (pemerintah). Hemat saya mestinya tetap melalui BPIP dan tidak perlu memakai pintu orang lain yang justeru memunculkan dugaan yang tidak perlu.

Kedua, Pancasila sebagai dasar negara. Dalam konsideran menimbang huruf a dinyatakan bahwa "Pancasila sebagai Dasar Negara, dasar filosofi negara, ideologi negara dan cita hukum negara merupakan suatu haluan..".

Frasa ini mengandung bias pengertian yang memberi makna mempersamakan haluan dengan dasar negara yang sebenarnya berbeda. Pancasila tidak memerlukan haluan karena dasar dan ideologi negara, haluannya sendiri pada proses pengelolaan penyelengaraan negara yang diambil dari sila Pancasila sebagai dasar negara.

Karenanya, RUU ini lebih tepat dengan judul RUU HPN (Haluan Penyelenggaraan Negara). Dan kian dipersempit dengan frasa lanjutannya "..melalui Pemerintah Negara Indonesia..", padahal soal Pancasila bukan semata-mata aspek pemerintah namun semua penyelenggaraan negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) serta lembaga-lembaga lainnya yang dibentuk oleh UUD, UU, dan peraturan dibawahnya.

Ketiga, rujukan konsideran mengingat. Pada konsideran mengingat yang biasa merujuk pada landasan yuridis yang lebih tinggi secara khierarki sebenarnya cukup dengan Pasal 20 dan Pasal 21 UUDN RI 1945 terkait dengan kekuasaan dan hak DPR mengusulkan RUU. Pencantuman beberapa TAP MPR justeru mempersempit cakupan RUU HIP hanya pada muatan norma yang diatur dalam TAP MPR tersebut.

Hal ini juga untuk menghindari debat berkepanjangan soal TAP MPR No. XXV Tahun 1966 tersebut. Jika pembentuk RUU HIP konsisten dengan judul UU-nya maka wajar TAP MPR dimaksud dimasukkan karena mengatur soal ideologi.

Jika judul RUU diubah sebagaimana saran diatas menjadi RUU HPN dengan sendirinya TAP MPR yang melarang ajaran ideologi komunisme/marxisme-leninsme akan dikesampingkan.

Keempat, Substansi RUU HIP. RUU HIP terdiri dari 9 BAB dan 60 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum (1 Pasal), haluan ideologi Pancasila (17 Pasal), HIP sebagai pedoman pembangunan nasional (15 Pasal), HIP sebagai pedoman sistem nasonal Ilmu Pengetahuan dan Tekonologi (3 Pasal), HIP sebagai sistem nasional kependudukan dan keluarga (3 Pasal), pembinaan haluan ideologi Pancasila (15 Pasal), partisipasi masyarakat (1 Pasal), pendanaan (1 Pasal), ketentuan peralihan (1 Pasal), dan ketentuan penutup (3 Pasal).

Beberapa perhatian penting: Pertama, Pasal 1 ayat (1) soal Pancasila sebagai dasar negara belum ada landasan hukumnya dan harusnya dimuat dalam UUDN RI 1945 dimasa mendatang dan bukan dalam UU. Alinea ke-4 dalam Mukaddimah UUDN RI 1945 yang memuat sila dalam Pancasila lebih bermakna sebagai dasar nilai intrinsik yang terus menjiwai dalam pencapaian tujuan bernegara dan bukan merupakan penentuan norma dasar negara Indonesia.

Kedua, Dalam Pasal 5 dan Pasal 10 RUU HIP, nampaknya perumus DPR kesulitan membedakan antara tujuan dan visi sehingga rumusan normanya disamakan, padahal bangunan visi  untuk mencapai tujuan dan rumusan visi Indonesia hingga 2045 telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi yakni pembangunan SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

Ketiga, Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) terkait sendi pokok Pancasila dan ciri pokok Pancasila memuat keadilan sosial dan keadilan (tanpa sosial) lalu keadilan apa yang dimaksudkan?. Ini berbeda dengan rumusan BPIP yang memuat keadilan substansial. Dibutuhkan penjelasan Pasal terkait dengan hal tersebut.

Keempat, pada bagian kelima yang mengatur demokrasi Pancasila dari Pasal 13 hingga Pasal 18 hanya mengartikulasi pada demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, padahal sejatinya seluruh kegiatan penyelenggaraan negara dan pemerintahan termasuk soal sosial budaya.

Yang menguatirkan dalam demokrasi ekonomi tidak mencantunkam sama sekali sokoguru perekonomian Indonesia yakni koperasi sebagai cermin gotong royong dan karakter dasar bangsa Indoensia. Kebijakan ekonomi kita pasca reformasi kian bercorak liberalis-kapitalis dan jauh dari pikiran-pikiran konsep ekonomi para founding fathers Indonesia.

Kelima, Ketentuan Pasal 34-Pasal 36, Pasal 37-Pasal 39 dan Pasal 57 sesungguhnya membatasi ideologi Pancasila dalam artikulasi dasar negara hanya pada aspek ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspek kependudukan dan keluarga semata.

Jika melihat komposisi proporsionalitas pengaturan norma dalam RUU HIP dan dikaitkan dengan tugas dan fungsi  BPIP dan konstruksi pemikiran GBHIP diberi judul RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila).

Rumusan GBHIP oleh BPIP 2019 terdapat beberapa perbaikan konsep sehingga perlu direkonstruksi sesuai dengan akar historis original pemikiran para pendiri bangsa juga soal dasar yuridis GBHIP yang tidak sesuai dengan khierarki perundang-undangan, argumen alasan sosiologis belum dipertajam, nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup khususnya nilai internasionalisme yang dipersamakan dengan kemanusiaan, pokok-pokok pikiran Pancasila dan sumber modal pembangunan yang memasukkan TNI/Polri yang tidak relevan.

Pancasila dan BPIP

Pancasila dan BPIP ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Pembentukan BPIP sejak 2018 melalui Perpres No. 7 Tahun 2018 yang sebelumnya bernama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) diberikan tugas dan fungsi sebagai “"pengawal ideologi Pancasila" dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan khususnya bagi pejabat negara dan pimpinan jabatan publik lainnya yang memiliki otoritas merumuskan kebijakan negara dan pemerintahan.

Tepat hari ini, 1 Juni 2020 diperingati sebagai hari jadi kelahiran Pancasila yang ke-75 sesuai Kepres No. 24 Tahun 2016 bertepatan dengan pidato Soekarno terkait dengan dasar negara pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI (naskah akademik RUU HIP hanya menuliskan BPUPK tanpa huruf i).

Sidang BPUPKI sendiri berlangsung sejak 29 Mei hingga 1 Juni 1945, beberapa tokoh founding fathers juga menyampaikan ide dan gagasan pemikirannya terkait rancangan dasar negara Indonesia seperti Muhammad Yamin (29 Mei 1945), Mr. Soepomo (31 Mei 1945), dan Soekarno sendiri (1 Juni 1945) serta sumbangan pemikiran lainnya dari P.F. Dahlan dan Moh. Hatta.

Secara gagasan, rumusan dasar negara yang dipakai saat ini tidak ada yang sama persis termasuk pemikiran versi Soekarno yang disampaikan dalam pidatonya tersebut. Namun patut dicatat bahwa Soeakrno yang pertama kali memberi nama kata "Pancasila" dalam pidatonya dengan urutan sila yaitu: 1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; dan 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Rumusan dasar negara disusun oleh tim Sembilan yang diketua Soekarno yang dibentuk sejak 1 Juni 1945 dan dilaporkan hasilnya pada 22 Juni 1945 yang kemudian dikenal dengan istilah "Piagam Jakarta". Rumusan hasil piagam Jakarta dibawa lagi masuk dalam sidang BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 10-16 Juli 1945.

Sementara penghilangan 7 kata dalam sila pertama Piagam Jakarta dan beberapa perubahan kata lainnya yang telah diputuskan terjadi setelah proklamasi yakni saat sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang merupakan hasil lobi dan kebijaksaan kelompok Islamis-Nasionalis menjaga keutuhan NKRI.

Pengungkapan historisitas objektif seperti ini perlu diungkapkan dalam naskah akademik RUU HIP ini atau pun dalam desiminasi aspek sejarah perumusan dasar negara dan hukum dasar negara agar tidak terkesan mengesampingkan atau bahkan mengabaikan sumbangsih terbesar umat Islam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. BPIP bertugas wajib menyampaikan sejarah objektif tersebut kepada generasi bangsa dan terutama dalam penulisan yang sebenarnya.

Agar BPIP dalam tujuan dan berfungsi bekerja secara maksimal dan upaya preventif mencegah pembentukan peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan ideologi Pancasila sebaiknya menjadi bagian dalam setiap proses pembentukan UU dan peraturan lainnya karena saya mendorong BPIP tidak lagi dibentuk berdasarkan Perpres tetapi dengan UU dan kelembagaannya menjadi Dewan Nasional atau Dewan Negara Pembinaan Ideologi Pancasila dan Perundang-undangan.

Perundang-undagan disini bukan dimaksud mengambil tugas dan fungsi DPR sebagai pembentuk UU namun sebagai Pengawal yang memberikan assesmen terhadap kelembagaan negara/pemerintah dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan serta diberikan hak judicial review dan bersifat independen bebas dari segala pengaruh kekuasaan dan berkedudukan sebagai lembaga negara.

Konsekuensinya tentu perlu perubahan UU lain terkait dengan tugas, fungsi, kewenangan dan kedudukan lembaga nantinya. Selamat hari jadi Pancasila ke-75, salam Pancasila! 

(Pengajar politik hukum Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta, dan UIN Alauddin Makassar.)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita