Mungkinkah Pemakzulan Jokowi di Tengah Pandemi, Ini Kata Ahli

Mungkinkah Pemakzulan Jokowi di Tengah Pandemi, Ini Kata Ahli

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Ahli Tata Negara dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD), Prof. Susi Harijanti, menilai sulit memberhentikan Presiden Joko Widodo dalam situasi pandemi coronavirus disease 2019. Ini karena syarat dan prosedur pemberhentian yang sangat ketat.

Prof Susi menjelaskan, terdapat perbedaan pengaturan dan prosedur pemberhentian atau pemakzulan presiden sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen pemberhentian diatur oleh Pasal 8 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Namun Pasal 8 tersebut tidak mengatur secara rinci alasan dan prosedur pemberhentian,” kata Prof Susi, Ahad malam (31/5).

Penjelasan UUD 1945 bagian Sistem Pemerintahan Negara menyatakan ‘Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ketentuan pemberhentian dielaborasi dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 jo Ketetapan MPR No III/MPR/1978.

“Dalam Ketetapan tersebut, jika DPR menganggap presiden sungguh melanggar haluan negara, ia menyampaikan memorandum sebanyak 2 kali. Apabila presiden tidak mengindahkannya, DPR meminta MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertangungjawaban presiden,” ucap Prof Susi.

Namun, kata dia, ketentuan pemberhentian presiden berubah setelah terjadi amandemen. Ketentuan alasan pemberhentian diatur dalam Pasal 7A yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Ketentuan prosedur pemberhentian diatur dalam Pasal 7B. Dalam ayat 1 diatur pelibatan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa preside tisak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

“Dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan mengenai pemberhentian presiden sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945,” ucap dia.

Prof Susi menegaskan, tidak mudah memberhentikan presiden menurut ketentuan UUD 1945. Hal ini beralasan karena Indonesia menganut sistem presidensil yang secara teori, sistm itu menghendaki terjadinya kestabilan penyelenggaraan negara.

“Dengan demikian apabila terdapat pertanyaan, apakah presiden dapat diberhentikan dalam situasi pandemi, maka jawabnnya sulit dilakukan pemberhentian mengingat syarat dan prosedur pemberhentian yang sangat ketat,” ucap Prof Susi.

Dia mengatakan, pemberhentian presiden saat ini dapat dilakukan apabila pres dianggap melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran terhadap haluan negara atau kebijakan tidak dapat lagi digunakan sebagai alasan atau dasar pemberhentian. “Hal ini disebabkan Pres bukan lg mandataris MPR. Prosedur atau mekanisme pemberhentian diatur lebih rinci dalam Pasal 7B ayat 1-7,” tutur Prof Susi. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita