Indonesia Selamat Kalau Jokowi Mundur

Indonesia Selamat Kalau Jokowi Mundur

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh : Smith Alhadar 

Pada 2 Juni, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia tidak akan tumbuh pada tahun ini (zero growth) pada 2020. Bahkan, dalam skenario terburuk, ekonomi Indonesia tumbuh minus 3,5 persen. Ini akan berdampak pada meluasnya pengangguran dan merosotnya daya beli masyarakat. Pada gilirannya akan menciptakan masalah sosial dan politik.

Sementara itu, pengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, wabah covid-19 menjadi ancaman serius bagi Indonesia dari sisi pertahanan dan keamanan. Karena itu, Indonesia harus mempersispkan diri dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dan potensi merapuhnya pertahanan nasional.

"Sangat bisa (mengancam) kalau kita tidak siap. Efek berkepanjangan dapat berdampak masif terhadap ketahanan ekonomi, khususnya pangan dan teknologi (Beritasatu.com, 23 Maret 2020).

Ia mengingatkan, jika diperlukan, Indonesia dapat menerapkan protokol khusus. Misalnya, mengisolasi wilayah dan menerapkan darurat militer kebencanaan di seluruh wilayah yang penyebaran coronannya sulit ditekan. Semua dilakukan untuk mengsntisipasi meluasnya covid-19.

Strategi lain, membangun RS militer, ekstraksi pesakitan ke RS atau fasilitas darurat. Isolasi wilayah, termasuk selekasi warga yang keluar masuk, jam malam dan pembatasan mobilisasi, operasi medik dan pengamanan, dan operasi hunting and secure (bagi yang kabur, demo, atau mengacau). Semua ini disampaikan Connie kepada Kepala Staf AD Jenderal Andika Perkasa.

Ketika Connie menyarankan itu, Indonesia belum separah sekarang. Itu dapat dilihat dari belum ditetapkannya status darurat kebencanaan nasional. Bagaimanapun, kendati masalah sosial dan ekonomi kian memburuk, gagasan Connie tidak laku. Jangankan darurat militer, darurat sipil pun ditolak masyarakat sipil. Memang kalau darurat militer atau pun darurat sipil diberlakukan, maka bukan saja ekonomi semakin memburuk, tapi juga demokrasi.

Duduk soalnya ada pada kepemimpinan nasional. Kalau saja rezim menanggulangi covid-19 secara profesional, cepat, konsisten, dan kredibel, sejak awal, kita tak akan menghadapi situasi seburuk ini. Memburuknya kondisi sosial dan ekonomi lebih karena kengganan rezim Jokowi untuk menerapkan lockdown terutama di awal serangan covid. Jumlah rapid test yang dilakukan rezim juga sangat rendah. Bahkan, yang terendah di antara negara anggota ASEAN. Dus, kasus positif covid-19 yang diumumkan rezim setiap hari tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. 

Hal ini disebabkan rezim tak ingin kehilangan kepercayaan komunitas internasional kalau kenyataannya jumlah kasus positif corona di negeri ini sangat tinggi. Ini paradigma berpikir yang keliru. Justru dengan menghadapi kenyataan apa adanya, kepercayaan internasional kepada kita terjaga dan bisa berdampak positif pada ekonomi.

Sementara di tengah penularan covid-19 masih tinggi, Indonesia memberlakukan new normal. Agaknya rezim didikte pemodal. Memang covid-19 telah memukul dunia usaha tanpa belas kasihan. Dan dikabarkan, kalau PSBB masih diberlakukan, pada Juni ini satu demi satu perusahaan akan kolaps. Dengan demikian, penerimaan rezim dari pajak menurun, pengangguran melejit, dan daya beli masyarakat anjlok. Ini dapat berdampak buruk pada masalah sosial, yang dapat berujung pada turbulensi politik.

Atas dasar inilah rezim memberlakukan new normal dengan tujuan memutar roda ekonomi sekaligus menanggulangi corona. Namun, ini kebijakan yang berbahaya. Bila negara-negara yang telah memberlakukan new normal, seperti Korea Selatan, yang terpaksa harus membatalkannya karena serangan gelombang kedua covid-19 -- padahal negara itu sebelumnya telah berhasil meminimalkan kasus corona -- dampak gelombang kedua covid-19 bagi Indonesia akan lebih dahsyat.

Pasalnya, masyarakat tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan. Orang masih berkerumun di mana-mana tanpa masker. Di kendaraan umum juga orang masih berdesak-desakan. Rezim mestinya tahu masalah ini, tapi menutup mata, karena lebih fokus pada upaya menghidupkan ekonomi. Namun, secara paradoks, kenyataan ini justru akan memperpanjang masa penanganan covid-19 yang menciptakan ekonomi berbiaya tinggi.

Sementara itu, publik semakin tidak percaya pada rezim. Bahkan dunia usaha pun memunggungi rezim. Mereka menentang PP No 25/2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera ini memungkinkan rezim mendapat dana lumayan untuk mengisi pundi-pundinya yang menipis. Karena potongan gaji 3% oleh rezim atau BUMN/non-BUMN atau pekerja mandiri berarti rezim bisa mendapat dana dari ASN sekitar Rp 12 triliun. Ditambah dana dari peserta BPJS Tenaga Kerja, berarti dalam setahun rezim mendapatkan sekitar Rp 125 triliun. Bukan saja dunia usaha yang keberatan karena harus ikut menanggung 0,5% dari 3%, tapi juga tenaga kerja yang sedang dibelit ekonomi akibat wabah corona.

Kalau dipaksa rezim, dunia usaha akan semakin terpukul dan daya beli masyarakat makin terpuruk. Nampaknya, rezim telah kehilangan sumber daya dan gagasan untuk menangani krisis covid-19. Tak ada harapan Indonesia akan membaik ke depan karena sejak awal rezim ini sudah memperlihatkan inkompetensinya mengurus negara. Dengan kata lain, rezim Jokowi tak dapat diandalkan untuk mengelola negara. Kalau dipaksakan justru akan membahayakan negeri ini. 

Memang pandemi covid-19 melanda dunia. Tetapi Indonesia termasuk salah satu yang paling parah karena sejak awal rezim bermain-main dengan wabah berbahaya ini. Ketika permainan tak dapat dilanjutkan, rezim mengeluarkan sejumlah beleid yang tidak ada satu pun yang efektif. Bahkan ada yang kontroversial dan membahayakan negara. Sebut saja UU Covid-19 (Perppu No 1 Tahun 2020). Karena itu, jalan terhormat dan mendesak adalah Jokowi mengundurkan diri. Selain akan memberi kesempatan kepada mereka yang kompeten untuk menanggulangi krisis, juga mengembalikan kepercayaan rakyat kepada negara. Saat ini legitimasi rezim Jokowi telah anjlok secara drastis. Padahal, untuk menangani masalah besar yang kita hadapi saat ini diperlukan rezim yang dipercaya rakyat. Tak usah memaksakan diri untuk hal yang sia-sia. Kasihan rakyat! (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita