Liberal Udik, Jangan Ajari Kami soal Toleransi

Liberal Udik, Jangan Ajari Kami soal Toleransi

Gelora News
facebook twitter whatsapp



Penulis: Geisz Chalifah (Aktivis Sosial)

Saya lahir di Jakarta dan besar di Jakarta, bertempat tinggal di Letjen Suprapto No 1, Poncol Senen Jakarta Pusat. Penting bagi saya memberikan alamat tinggal saya itu untuk menunjukkan bahwa daerah saya tinggal itu tetangga saya mayoritasnya Tionghoa.

Rumah-rumah di seputar jalan itu adalah rumah yang di depannya itu menjadi toko untuk usaha. Di sebelah rumah saya adalah toko Banciang, di sebelahnya lagi toko beras Yuntat, di sebelahnya lagi toko alumunium. Di seberang rumah itu, ada Toko Juni, Toko Juli, Toko Murah, ada pula foto studio Wiwi. Semua yang disitu menjadikan tempat tinggal sekaligus tempat usaha.

Semasa kecil sampai remaja saya bertetangga dan bermain bersama mereka para teman-teman Tionghoa yang tinggal di situ. Toko beras Yuntat, anak-anak mereka bernama Alyuk dan Baong. Dua nama itu yang sepantaran dengan saya dan kakak mereka yang jauh lebih dewasa bergaul dgn kakak-kakak saya.

Dulu sekali sebelum ada grosir Cipinang, Toko Beras Yuntat adalah salah satu agen beras terbesar di Jakarta. Toko Juni adalah penjual kaca, anak-anaknya bernama Ace, Afa dan Apin. Toko Juli, anaknya itu bernama Alut. Ada juga pemilik restoran Bak’mi anaknya bernama: Tekming.

Tekming pandai mengebut dengan sepeda, menggenjot sepeda dengan kecepatan lalu menyalip mobil maupun motor di tengah kemacetan. Tak jarang diteriaki pengendara mobil yang kesal karena kenekatannya.

Ada pula Verawati Fajrin atlet nasional bulu tangkis dia tinggal diseberang rumah ibu saya. Bila pagi kami sering bersama – sama menunggu bus kesekolah jurusan terminal lapangan banteng dari lapangan banteng kami berjalan menuju Budi Utomo. Verawati Fajrin bersekolah di SMA 1 Boedoet dan saya di SMP 2 Boedoet.

Semasa kecil kami bermain burung bersama dari masing-masing atap loteng rumah yang bersebelahan.

Menjelang remaja bila malam hari maka di rumah Ace (Toko Juni) kami kumpul bareng. Tak jarang pula mereka berkumpul di rumah saya.

Dengan sepeda motor beramai-ramai tempat yang seringkali kami kunjungi adalah Lokasari atau dikenal pula bernama Prinsen Park.

Bila malam minggu, sepanjang jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk adalah tempat lintasan kami menguji kecepatan motor dan uji nyali di jalan itu.Tempat mangkal paling pavorit adalah tukang roti bakar di Jalan Hayam Wuruk yang letaknya tak berjauhan dari Masjid Kebon Jeruk.

Minggu sore maka tempat mengadu nyali dan kecepatan adalah di depan TVRI Senayan. Kami berlomba bermain Ice Skating digedung yang khusus dibuat untuk olah raga Ice Skates.

Kami tak mengenal istilah toleransi tak mengenal pluralisme, tak mengenal istilah mayoritas minoritas atau apapun yang bersifat mendikotomi hubungan sosial.

Di Jakarta apa yang saya alami dalam pergaulan sehari-hari itu adalah hal yang terbiasa terjadi dengan apa adanya saja dan saya meyakini hampir di semua wilayah Jakarta kondisinya seperti itu.
Perbedaan suku dan agama menjadi hal yang lumrah dalam bertetangga dan tak pernah menjadi masalah.

Sepanjang tahun siapapun Gubernur DKI baik itu Henk Ngantung yang non muslim masyarakat Jakarta tak pernah mempermasalahkan dan kehidupan tetap berlangsung dengan normal.

LALU DATANGLAH AHOK BERSAMA KAUM LIBERAL UDIK

Lalu datanglah Ahok dan teman-temannya, mereka berniat memenangkan Ahok dalam Pilgub 2017.

Bermula dari 2015 kampanye untuk Ahok sudah dimulai, namun narasi-narasi yang dikemukakan selalunya menyudutkan umat Islam, seperti silogisme: Lebih baik kafir tapi tidak koruptor dari pada muslim tapi korupsi. Banyak lagi kalimat-kalimat provokatif yang semakin hari semakin mengeraskan dan memperlebar jarak, membangun segregasi sosial sedemikian rupa.

Para kalangan yang katanya intelektual dan bergabung dalam kelompok liberal udik yang entah lahir dimana, tiba-tiba mengajari kami anak Jakarta tentang toleransi dan pluralisme yang bukan saja teriakan itu terdengar aneh tapi juga norak.

Jauh sebelum mereka naik Kereta Api Senja datang ke Jakarta, kita yang lahir di kota ini, terbiasa bila Imlek tiba mendapat kiriman kue khas Imlek dari rumah tetangga, dan bila Idul Fitri tiba saya terbiasa mengantar kue atau ketupat buatan ibu saya ke rumah-rumah tetangga Tionghoa.

Terbiasa ditunggui ketika sholat Jumat di depan Masjid lalu kembali bermain sehabis bubaran sholat Jum’at, atau bergerombol di depan Gereja Ayam Pasar Baru menunggu teman yang sedang kebaktian di dalamnya.
Mereka yang tak pernah mengenal Bus Merantama, Gamadi, Pelita Mas Jaya tiba-tiba datang membawa ide pluralisme norak sekadar ingin menarik suara sambil menyudutkan orang lain. Yang tentu saja lebih tau dan lebih subtansial dalam mengelola perbedaan yang memang sudah dilakoni setiap hari dan setiap saat. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA