Dengar Perkataan Mahfud MD soal UU KPK, Refly Harun Langsung Buka HP: Kok Bisa Beda-beda Ya?

Dengar Perkataan Mahfud MD soal UU KPK, Refly Harun Langsung Buka HP: Kok Bisa Beda-beda Ya?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Dua Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD dan Refly Harun buka suara, soal Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini sudah resmi berlaku.

Dilansir TribunWow.com dalam tayangan Kabar Petang tvOne, Kamis (17/10/2019), Refly Harun tampak langsung membuka HP saat mendengar perkataan Mahfud MD.

Awalnya, Mahfud MD menjelaskan soal nasib KPK kini.



Refly Harun dan Mahfud MD membahas soal UU KPK yang kini berlaku
Refly Harun dan Mahfud MD membahas soal UU KPK yang kini berlaku (YouTube/tvOneNews)


"Menurut saya sampai dengan tanggal 19 Desember, atau lebih cepat dari itu kalau misalnya sebelum itu presiden membentuk dewan pengawas sesuai dengan kewenangannya," kata Mahfud MD.

"Maka KPK seperti yang ada sekarang ini masih bisa terus menjalankan tugasnya," imbuhnya.

"Artinya, sekarang UU berlaku tapi sesuai dengan Pasal 69D 'Sebelum presiden membentuk dewan pengawas sesuai dengan kewenangannya, maka Komisi pemberantasan Korupsi'."

"Di situ disebut 'Komisi Pemberantasan Korupsi' artinya bukan hanya komisionernya, 'Komisi Pemberantasan Korupsi tetap melaksankan tugas berdasarkan undang-undang yang ada sebelumnya'."

"Artinya tidak ada masalah sampai dengan 18 Desember ya, hari terakhir."

"Sehingga 19 Desember, kalau presiden sudah mengeluarkan Kepres tentang Dewan Pengawas bersamaan dengan pelantikan atau pengangakatan komisioner, atau pimpinan yang baru, maka tidak ada masalah KPK melakukan kegiatan seperti selama ini."

"Termasuk melakukan OTT, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya," ungkap Mahfud MD.

Mendengar penjelasan panjang dari Mahfud MD, Refly Harun langsung memeriksa ponselnya.

Ia tampak melihat draf UU KPK yang ada di gawainya itu.

"Saya ini, ini buat Prof Mahfud juga ya, saya ini membaca draf RUU-nya ini, memang yang persoalan terbesar kita ini, kok drafnya bisa beda-beda ya?," tanya Refly Harun sembari tertawa.

"Saya mau baca di sini enggak ada yang 69D," sambungnya.

Sementara Mahfud MD yang berada di ujung sambungan telepon mengiyakan pernyataan Refly Harun.

"Jadi memang kalau kita bicara tentang asas-asas tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (perppu) yang baik ini memang susah," lanjut Refly Harun.

"Harusnya kan RUU kita tahu dari awal solid, lalu kemudian yang diputuskan juga solid gitu ya."

"Ketika saya minta sama tim ini (sambil mengecek HP), draf RUU-nya kok agak berbeda Prof Mahfud yang saya baca?," imbuhnya.

Refly Harun kemudian menyebut kemungkinan punya Mahfud MD yang lebih tepat.

"Tapi oke lah saya mengikuti, saya kira Prof lebih tepat datanya," ujar Refly Harun.

"Tetapi begini, ada juga ketentuan harus mengikuti undang-undang ini."

"Tapi kelazimannya memang kalau belum ada Dewan Pengawas, maka kemudian kan jalan seperti sebelum terbentuknya Dewan Pengawas."

"Tapi setelah adanya Dewan Pengawas, maka ketentuan-ketentuan mengenai izin itu berlaku," sambung Refly Harun.

Oleh karena itu ia mengaku sangat menggaris bawahi seperti soal izin penyadapan.

"Di situ dikatakan untuk melakukan penyadapan kan izin Dewan Pengawas," kata Refly Harun.

"Tapi ternyata tidak hanya izin dewan pengawas, izin penyadapan baru bisa diberikan, itu dalam pasal penjelasannya, setelah gelar perkara di hadapan dewan pengawas."

"Artinya kita tidak bisa berharap lagi kasus-kasus baru yang di-OTT, karena kita tahu OTT dan penyadapan kan satu paket."

"Tidak mungkin kita meng-OTT orang tanpa kita menyadap terlebih dahulu, karena kita tidak tahu konteksnya," ungkap Refly Harun.

Ia juga mengkhawatirkan soal tidak diberikannya izin pada kasus baru oleh Dewan Pengawas.

"Karena belum gelar perkara, padahal kita tahu gelar perkara itu sudah ada 2 alat bukti minimal untuk ditingkatkan jadi tahap penyidikan, kan sudah ada tersangkanya dan lain sebagainya," ujar Refly Harun.

Ia pun menganggap pasal itu sengaja diselipkan oleh pembuat RUU KPK.

"Ini yang menurut saya memang pasal yang sengaja diselipkan, kebetulan di penjelasan, untuk melemahkan proses penindakan oleh KPK," ujar Refly Harun.

Menurut Refly Harun, setelah adanya Dewan Pengawas, maka KPK tidak akan fleksibel lagi dalam melakukan penindakan.

Selain soal izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, Refly Harun juga menyoroti kewenangan lain Dewan Pengawas, termasuk posisi mereka yang ada di bawah presiden.

Sementara itu, Mahfud MD memberikan klarifikasi atas pasal yang disinggung oleh Refly Harun.

"Jadi betul yang dibaca Pak Refly itu berbeda dengan yang saya jelaskan tadi, karena saya juga punya yang kayak punya Pak Refly, yang tidak ada Pasal 69D itu bertanggal 4 September," kata Mahfud MD.

"Yang saya punya bertanggal 16 September tengah malam, sehingga itu sudah ada 69D-nya."

Menanggapi hal itu, Refly Harun dan Mahfud MD sama-sama tertawa.

"Saya selalu baca 4 September itu, wah bahaya ini, kosong, lalu saya cari yang 16 September yang saya dikirimi tengah malam itu, ternyata ada di situ, dan itu ikut disahkan," kata Mahfud MD.

"Jadi clear sekarang bahwa KPK masih bekerja sampai dengan 18 Desember dengan catatan pada saat itu presiden sudah membentuk Dewan Pengawas dengan kewenangannya."

Simak selengkapnya dalam video di bawah ini mulai menit awal:



Sebelumnya, Refly Harun juga pernah soroti tugas dan wewenang Dewan Pengawas KPK, Minggu (15/9/2019).

Dilansir TribunWow.com dari tayangan Kabar Petang tvOne, Refly Harun menyebut hal itu justru bisa menghambat pemberantasan korupsi, seperti harus izin dulu kalau mau menyadap.

Dalam acara tersebut, awalnya Refly Harun menjelaskan bahwa pemberantasan korupsi merupakan amanat reformasi.

"Sudah 21 tahun, ternyata sulitnya minta ampun," ujar Refly Harun.

"5 presiden, relatively menurut saya kurang berhasil dalam pemberantasan korupsi itu."

"Nah salah satu titik poinnya adalah KPK yang salalu 'diganggu' untuk pemberantasan korupsi," ungkapnya.

Menurut Refly Harun, masyarakat menilai seperti ada upaya pelemahan KPK.

"Masyarakat menilai kalau sesungguhnya, kalau kita baca protes dan lain sebagainya, memang seperti ada upaya untuk melemahkan, baik dari dalam maupun dari luar," katanya.

Refly Harun kemudian menyinggung upaya-upaya yang ia maksud.

Termasuk lobi-lobi politik terkait seleksi pimpinan KPK.

"Dari dalam misalnya begini, sudah menjadi rahasia umum, biasanya dalam pemilihan komisioner KPK itu lobi politiknya itu mulai dari pembentukan Pansel sampai kemudian terpilih," ujar Refly Harun.

"Termasuk yang sekarang?," tanya pembawa acara.





Refly Harun memberikan pendapat soal polemik di KPK
Refly Harun memberikan pendapat soal polemik di KPK (YouTube/tvOneNews)


"Ya dan biasanya yang terpilih itu sosok yang paradoksal," jelas Refly Harun.

"Saya bahasanya halus, sosok yang bukan berada dalam ruang imajinasi publik," tambahnya.

Ia kemudian mempertanyakan bagaimana cara memenuhi asas transparansi dan partisipatif.

"Yang sebenarnya, seharusnya pada waktu-waktu yang masuk akal," kata Refly Harun.

"Itu konteksnya, lalu kemudian kalau kita bahas konteks lain, itu soal trust, kepercayaan."

"Kan sebelum ini kan ditandai dengan konteks terdahulu, dahulu juga ada draft-draft RUU itu, yang sebelumnya 12 tahun KPK cuma diberikan waktu."

"Kemudian bisa menyidik Rp 5 miliar ke atas dan sebagainya, ya yang kalau diterapkan, nganggur KPK," sambung Refly Harun.

Sementara itu, terkait teks, Refly Harun menyoroti soal kewenangan Dewan Pengawas KPK.

"Sekarang pertanyaannya, ada poin tentang dewan pengawas, ada poin tentang SP3, ada poin pegawai di-ASN-kan," ujar Refly Harun.

"Saya lihat misalnya dewan pengawas, saya merasa ada sedikit misleading di masyarakat, dan mungkin RUU itu."

"Kita bicara dewan pengawas, tapi sesungguhnya kalau kita bicara materinya itu dewan perizinan."

"Karena tugas dari dewan pengawas itu memberikan izin untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan," tambahnya.

Refly Harun kemudian menyoroti soal teknis penyadapan dan OTT yang dilakukan KPK.

"Kira-kira, kalau mau ada transaksi, ada peristiwa tindak pidana korupsi, suap misalnya," tutur Refly Harun.

"Kalau izin menyadap, catch up enggak? Sudah lari itu buruannya, kira-kira begitu."

"Nah ada soal-soal seperti itu, jadi pengawasan is a must, tapi saya bicara pengawasan bukan pada lembaga, tapi sistem."

"Nah kalau saya bicara sistem pengawasan, tidak ada lembaga di republik ini yang tidak diawasi, hanya barang kali tidak efektif," imbuhnya.

Menurut Refly Harun, pengawasan selama ini sudah diterapkan.

Misalnya oleh masyarakat, DPR, BPK, pengadilan (praperadilan), pengadilan tipikor, dan pengawas internal.

"Jadi ada 6 pengawasan di KPK tersebut, yang menurut saya sebenarnya ini yang harus didaya fungsikan," ungkapnya.


[tn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita