Tipuan Konstitusionalisme

Tipuan Konstitusionalisme

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh Margarito Kamis

Begitu gerak-gerik Bung Karno, Bung Hatta, Sutardjo, dan lainnya yang terbakar rindu di tahun 1930-an untuk Indonesia yang merdeka, teridentifikasi membahayakan eksistensi kolonialis, maka kolonialis segera menyodorkan pembatasan. Rapat diintai, dimata-matai dan bila tetap keras kepala maka pasal harzai artikelen dalam KUHP memburu, membawa mereka, misalnya Bung Karno ke pengadilan.Kolonialis tidak hanya takut pada senjata, tetapi juga takut pada 
pikiran. Pada zaman itu berpikir tak pernah tak jadi hal bebas hambatan. 

Kolonialis punya banyak cara mengekang kebebasan berpikir. Berpikir bagi kolonialis yang imprialistik itu hanya bisa sejauh berada pada garis politik yang didefenisikan dan ditentukan sendiri oleh kolonialis. Dalam Fikiran Rakyat, sebuah Majalah Politik Populer dengan Bung Karno sebagai Pimpinan redaksi edisi nomor 2 tangal 8 Juli 1932 pada halaman 9 memuat satu artikel menarik. Artikel itu berisi keterangan “agar supaya rakyat Indonesia tinggal tetap bersemangat kodok, maka mereka itu dikasih injeksi bahwa bangsa kulit putih itu seribu kali lebih pandai daripada bangsa Indonesia sendiri. 

Pada bagian lanjutan artikel itu ditulis “kepada rakyat diterangkan bahwa kedatangan bangsa kulit putih disini itu untuk menyebarluaskan kesopanan dan pengetahuan. Lihatlah mesin-mesin, pabrik-pabrik apakah itu bukan bikinan bangsa kulit putih? Kata orang kulit putih, kita bikin rumah sakit bagi kaum buruh rakyat Indonesia. Anak-anak bangsa Indonesia kita didik supaya pintar, supaya mereka bisa bekerja menjadi klerk, opzetter, insinyur di kantor-kantor dan di onderneming-onderneming. Jika tidak ada kita tentulah rakyat Indonesia itu akan tingal bodoh. 

Esensinya

Kolonialis cukup jelas, memandang orang Indonesia yang kala itu disebut pribumi dengan makna bodoh, tak terpelajar, jorok, bereperaban rendah. Orang-orang bodoh ini harus dididik, diajari, dan karena itu pula pribumi menemukan kenyataan sebagai warga kelas rendahan, kelas tiga dalam struktur sosial dan hukum. Cara berpikir itu dilegalisasikan dalam pasal 131 Indische Staatregeling, setara UUD saat ini.

Hubungan tipikal feodalistik –tuan hamba- dan imprialistik –bebas dan terjajah- yang dalam semua sudutnya bersifat diksriminatif dan merendahkan martabat manusia itu, jelas menjengkelkan. Menjengkelkan karena hal berbicara, terutama politik yang merupakan hal termurah yang paling mungkin dilakukan setiap orang dalam menimbang nasibnya, juga dibatasi. 

Bisa dibayangkan Bapak H. Hasan di Garut yang tidak mau menjual berasnya kepada Kolonialis harus menemukan dirinya dituduh melawan pemerintah. Daulat rakyat macam apa yang bisa disodori untuk membenarkan represi tipikal imprialistik ini? Daulat rakyat macam apa yang bisa disodorkan untuk membenarkan pemenjaraan Bung Hatta misalnya di Belanda dengan tuduhan mengada-ada? 

Relasi tuan-hamba, patron klien tipikal feodalisme Eropa, sebuah tatanan yang mengakui hak hanya menjadi milik kelompok pertama dan kedua, tidak untuk orang kebanyakan “hamba dan lainnya diluar kelompok pertama” itulah perangsang paling jelas dalam melambungkan gagasan daulat rakyat. Gagasan ini kelak ditransformasi dengan cara mempertalikannya dengan hukum. Wujudnya bukan kemauan penguasa sebagai dasar kehidupan bermasyarakat diselengarakan, melainkan kemauan semua orang, dan kemauan semua orang itu terkristalisasi dalam hukum. 

Hukum jenis ini disepakati sebagai hukum tertinggi, konstitusi. Hukum jenis ini ditahbiskan sebagai atribut sosial politik paling hebat, karena yang utama dan terpenting diatur didalamnya adalah hak setiap orang untuk hidup. Hak untuk hidup harus diakui sebagian bisa diciptakan oleh pembentuk UU, tetapi sebagian tidak. Hak yang tidak diciptakan itu karena dalam sifatnya hak itu sedari awal telah ada sebagai penanda kemanusiaannya. 

Hak ini melekat pada setiap orang sebagai mahluk mulia ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hak ini sedari mula dimaksudkan sebagai bekal untuk hidup, bertebaran dimuka bumi dengan misi memuliakan-Nya. Daulat rakyat dan daulat hukum yang menghasilkan konstitusionalisme karena itu dalam sifat dan esensi filosofisnya muncul dan eksis sebagai sebuah gagasan oposisi, dalam makna menghentikan relasi tuan-hamba bertipikal feodlistik yang, kelak ditransformasi dinegeri-negeri jajahan secara imprialistik. 

Konstitusionalisme tidak pernah sama dan sebangun dengan hukum yang di dalamnya skema organisasi negara didefenisikan, berikut pengakuan atas hak bagi setiap orang sebagai orang merdeka. Tidak. 

Konstitusionalisme dalam esensi filosofis memanggil siapapun pada kesempatan pertama - memuliakan harkat dan martabat manusia, memastikan mereka sebagai orang merdeka dalam arti seutuhnya sebagai manusia - ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala. Hal terakhir tak bisa dikurangi dengan alasan apapun, termasuk keamanan nasional yang dalam pemerintahan G.Bush yunior memuncaki kehidupan politik Amerika. Itu bukan karena keamanan nasional tak penting, tetapi pendefenisian dan penetapannya terlalu sering menyediakan celah. 

Menguap

Semangat itu didengungkan dengan sangat terang oleh Bung Hatta ketika PPKI menyiapkan draft UUD 1945. Takut terjadi kesewenang-wenangan pemerintah kelak setelah merdeka, Bung Hatta gigih memperjuangkan agar UUD yang sedang dirancang memiliki ketentuan yang menjamin warga negara memiliki hak menyatakan pendapat. Bung Hatta berhasil dengan gagasannya itu. Lahirlah pasal 27 UUD 1945 sebelum diubah.Tidak itu saja dan ini mengagumkan pendidikan dijamin, orang-orang fakir dan miskin masuk dalam skema konstitusionalisme khas orang tua yang arif bijaksana ini. Bahkan kekayaan alam Indonesia harus didedikasikan untuk kesejahteraan warga negara Indonesia. Semua impian konstitusionalisme hebat itu dengan mudah ditemukan dalam UUD 1945 sejak awal dibentuk. 

Satu hal harus dikemukakan pada kesempatan ini konstitusionalisme dari asalnya tidak pernah bicara uang, modal dalam bentuk apapun, kecuali memungkin semua orang dengan cara yang sah bisa menguasai semberdaya ekonomi dan politik. Membiarkan orang bebas sebebasnya dalam apapun urusannya sendiri. Di Indonesia kebebasan, dapat dikatakan tanpa batas didemonstrasikan secara sangat fenomenal pada periode demokrasi parlementer, demokrasi yang Bung Karno sifatkan sebagai demokrasi impor. 

Berdansa disepanjang garis kebebasan bicara dan berserikat, ditunjuk dengan sangat meyakinkan oleh Daniel S. Lev Indonesianis kawakan dibidang politik hukum ini, dengan akibat yang tidak bisa dibilang sederhana. 

Demokrasi cukup maju, tetapi tidak banyak yang bisa dicapai dibidang pembangunan, dibidang kesejahteraan rakyat. Pada saat yang sama pemodal besar, yang selalu lebih cerdik mengenal keunggulan tersembunyi sekaligus  mematikan dalam konstitusionalisme merambah dengan semangat eksploitasi khas imprialisme atas sumberdaya ekonomi. 

Hentikan demokrasi ugal-ugalan itu, dan datanglah demokrasi terpimpin, yang tentu dengan kalkulasi politik untuk kehebatan Indonesia kebebasan bicara dibatasi lagi. Demokrasi terpimpin segera beraksi dengan menyodorkan, memakai hukum meletakan jalur kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat. Rapat politik harus memiliki izin dan kebebasan bicara politik ditentukan derajatnya. 

Berada di luar track itu, penjara. Tidak itu saja, demokrasi terpimpin segera unggul dengan kemampuannya “mengarang tuduhan makar” untuk disematkan, misalnya kepada Buya Hamka, Ulama besar nan hebat ini. Hebat betul keunggulan demokrasi terpimpin dalam urusan ini, karena seperti ditulis reformasi tetap menyediakan pasal 87 dan 107 KUHP dan juga UU ITE. Kini hukum-hukum ini sedang berada dimusim produktif.

Sejumlah orang kini terpenjara dengan hukum-hukum ini. Tidak banyak diksi yang tersedia untuk berkelit dari terjangan hukum-hukum konstitusionalisme reformasi ini. 

Selalu seperti itu semua gerak turun konstitusionalisme, ditandai dengan institusi-institusi pengawasan yang riang gembira dengan eksistensi innstitusionalnya, membebek politik acak kadul yang selalu menanjak, dan membiarkan fungsi pengawasannya beterbangan dibawa angin politik korup. Menariknya sebusuk itu sekalipun, demokrasi selalu berbicara  konsitusionalisme dengan nada optimistik. Begtulah tipuan konstitusionalisme. 
***
Jakarta, 6 Juni 2019.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita