Jokowi Sangat Perlu Ahok untuk Gantikan Ma’ruf Amin

Jokowi Sangat Perlu Ahok untuk Gantikan Ma’ruf Amin

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Asyari Usman*

Menjelang mantan gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama (BTP) alias Ahok bebas dari penjara akhir bulan lalu, kubu Jokowi sibuk membantah kemungkinan Kiyai Ma’rif Amin (KMA) akan dilengserkan untuk digantikan Ahok. Tapi, seberapa besar kemungkinan itu menjadi kenyataan? Dan, akankah Jokowi berani mengambil risiko besar jika dia menyingkirkan KMA?

Sebelum menjawab kedua pertanyaan kunci ini, ada beberapa flash-back penting yang menggambarkan betapa sensisitif dan kuatnya konten dari isu penggantian KMA oleh Ahok jika paslonpres 01 terpilih dalam pilpres 17 April 2019 nanti. Saking sensitif dan kuatnya, Wapres Jusuf Kalla (JK) ikut berkomentar. Sejumlah politisi senior PDIP berusaha mengecilkan isu ini. Dan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf (Ko-Ruf) juga bergegas mengeluarkan pernyataan.

Berikut ini flash-back penting yang dimaksud di atas tadi.

Pertama, Ahok bergabung ke PDIP setelah keluar dari penjara. Dia disambut hangat oleh kalangan Banteng. Diterima bagaikan pahlawan. Tapi, PDIP masih malu-malu kucing menyambut Ahok. Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengatakan Ahok masuk ke PDIP sebagai anggota biasa. Tentu saja komentar Hasto itu hanya basa basi. Sebab, semua jajaran PDIP mulai dari ketua umum sampai kader terbawah meyakini bahwa Ahok bakal muncul menjadi bintang tenar Banteng.

Kedua, JK degan lantang mengatakan bahwa dia menolak Ahok masuk ke dalam TKN Ko-Ruf. Alasan JK, kehadiran Ahok bisa menggerus elektabilitas Jokowi. Benarkah dugaan JK? Kelihatannya tak berdasar. Bahkan sebaliknya, Ahok bisa mengangkat popularitas Ko-Ruf. Karena, ada jutaan orag yang masih sangat setia pada mantan gubernur Jakarta itu.

Soal potensi besar Ahok juga dikatakan oleh pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Jerry Massie. Dia mengatakan, Ahok bisa memberikan keuntungan bagi Jokowi kalau dia bergabung. “Selain memiliki massa yang militan, Ahok pernah menjadi pendamping Jokowi sebagai wakil gubernur DKI Jakarta,” ujar Massie.

JK tak sendirian berpendapat bahwa kehadiran Ahok di kampanye Jokowi bisa merusak suara petahana. Sejumlah senior TKN juga menyatakan kekhawatiran kalau Ahok masuk. Wakil ketua TKN, Abdul Kadir Karding, mengakui kemungkinan Ahok akan menjadi sasaran serang pihak lawan. Sehingga, elektabilitas Jokowi bisa semakin ciut.

Tapi, kembali lagi, apakah kekhawatiran ini punya dasar? Kelihatanya juga tidak. Kegamangan menerima Ahok memang ada, tetapi potensi Ahok tetap sangat besar. Lebih besar dari penolakan JK dan Karding.

Ahok sendiri mangerti bahwa dia sedang ‘disembunyikan’ dulu oleh kubu Jokowi menjelang pilpres 17 April. Dia juga paham bahwa jadwal ‘political comeback’ (kembali berpolitik) untuk dia telah disiapkan oleh kubu Jokowi dan PDIP. Ada isyarat keras bahwa Ahok akan dimunculkan untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Jabatan penting itu diyakini sebagai kursi wakil presiden apabila paslonpres 01 menang pada 17 April 2019.

Diduga kuat, ituah salah satu sebab mengapa Ahok bergabung ke Partai Banteng. Ahok memerlukan kendaraan politik yang memiliki kekuataan besar seperti PDIP.

Sekarang, kita jawab dua pertanyaan penting di bagian awal tulisan ini.

Pertama, seberapa besar kemungkinan Ahok akan menggantikan posisi Kiyai Ma’ruf sebagai wapres jika Jokowi menang? Kemungkinannya seratus persen. Kemungkinan yang bulat. Telak. Sebab, Jokowi memerlukan fugur yang bisa ‘mengendalikan’ kabinet periode kedua.

Diperkirakan, Jokowi tidak akan lagi memakai Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) untuk menangkis kritik bahwa semua urusan ditangani mantan jenderal itu. Lagi pula, LBP sudah akan terlalu tua untuk dilanjutkan. Jadi, menaikkan Ahok ke kursi wapres menggantikan Kiyai Ma’ruf menjadi sangat mendesak –kemungkinan di awal tahun kedua periode kedua.

Itu dari sisi LBP. Dari sisi Ahok malah lebih krusial lagi. Jokowi sadar betul bahwa kepribadian seperti Ahok, yaitu keras dan meledak-ledak, bisa lebih dahsyat lagi ‘sukses’-nya ketimbang LBP. Ahok bahkan tidak sungkan menggunakan kata-kata kotor dan caci-maki dalam ‘membina’ bawahannya. Jokowi akan menjadi sangat terbantu oleh wapres yang bergaya ceplas-ceplos seperti Ahok. Dia akan menjadi wapres ‘semua bisa’.

Selain faktor kemampuan Ahok untuk membuat bahawan kerja keras, ada juga kalkulasi lain. Para ‘invisible stakeholder’ (pesaham gaib) Ahok sangat berkepentingan untuk mendudukkan mantan narapidana penistaan agama itu di kursi ‘co-pilot’ Indonesia. Mereka ini sangat berpengaruh. Tidak bisa dilawan oleh siapa pun. Jokowi sendiri memahami itu. Sehingga, bisa jadi kita akan melihat akselerasi pergantian dari Kiyai Ma’ruf ke Ahok pasca-kemenangan Jokowi.

Lantas, bagaimana dengan akseptabilitas Ahok di kalangan para pendukung Jokowi? Akankah mereka semua bisa menerima penggantian Kiyai Ma’ruf oleh Ahok nantinya?

Tidak diragukukan lagi. Akseptabilitas Ahok tampaknya tak pernah sompel bagi para pendukung Jokowi. Bagi mereka, predikat penista agama atau narapidana yang disandang Ahok, dianggap tidak ada. Simak saja pernyataan-pernyataan dari para petinggi partai-partai koalisi Ko-Ruf. Semua orang masih sangat hormat dan segan pada Ahok. Bagi mereka, Ahok tidak mengalami cacat nama baik.

Misalnya saja, Jusuf Kalla masih bisa berkelakar ketika memberikan komentar di depan para wartawan. Lebih-kurang JK mengatakan, “Tenang-tenanglah Pak Ahok. Ya, jalan-jalan dulu.” Komentar ini tentu mengandung penghormatan yang sangat tinggi dari JK. Begitu juga para politisi lain.

Semua orang di kubu Jokowi sepakat bahwa Ahok tidak boleh ikut kampanye. Tetapi mereka tak bisa menyembunyikan kekaguman pada orang yang sangat disenangi Jokowi itu.

Kedua, apakah Jokowi berani mengganti Kiyai Ma’ruf dengan Ahok? Aksioma umumnya adalah bahwa di dalam politik tak ada yang tak mungkin. Memang Jokowi akan berhadapan dengan para pendukung KMA. Pak Kiyai tampaknya akan melawan. Tapi, apakah bisa melawan kalau mau diganti?
Wallahu a’lam.

Yang jelas, saat ini ada tengarai bahwa Jokowi sangat memerlukan Ahok di periode kedua nanti. Lagi-lagi, kalau menang. Persoalannya ‘kan kemenangan itu semakin semu, kekalahan yang justru makin nyata.

*) Penulis adalah wartawan senior
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita