Tiap Malam Masih Terdengar Jeritan di Lokasi Tsunami, Diusulkan Bangun Memorial Park

Tiap Malam Masih Terdengar Jeritan di Lokasi Tsunami, Diusulkan Bangun Memorial Park

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Di sela penyaluran donasi untuk korban bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, Radar Malang (Jawa Pos Group) berkeliling ke sejumlah titik bencana gempa bumi yang disertai tsunami pada September 2018. Salah satunya di Perum Petobo, Jalan Soeharto, Palu Selatan. Seperti apa kondisinya setelah tiga bulan pasca bencana?

Sejauh mata memandang, hanya hamparan bongkahan lumpur kering dan bekas bangunan yang hancur. Area seluas lebih dari 50 hektare itu bak kuburan terbesar. Terlihat banyak rumah tersisa hanya atapnya saja. Dan ternyata, rumah-rumah itu awalnya berada sekitar satu kilometer dari lokasi saat ini.

Ya, rumah itu adalah salah satu dari lebih dari seribu korban lukuifaksi (tanah yang menggulung dan menyedot) di perumnas Petobo, Palu Selatan yg terjadi akhir September lalu. Lebih dari 3 ribu warga ikut tergulung tanah hingga terkubur hidup-hidup bersama rumah dan seluruh bangunannya. 
Di area seluas itu, terlihat tidak ada satu pun rumah yang aman. Semuanya hancur dan terkubur lumpur setinggi tiga meter.

Salah satu saksi mata likuifaksi, Armin, 65 tahun, yang ditemui di lokasi menjelaskan, dia selamat dari gulungan tanah berlumpur saat itu karena cepat melompati tanah yang terbelah. Hanya yang dia sayangkan, Amrin gagal menyelematkan keponakan dan cucunya. Karena saat itu kondisinya semua panik, gelap sehingga dia tidak sempat mencari keluarganya itu.

"Saya lihat sendiri rumah saya bergerak dan berjalan. Tapi saya memilih yg penting saya aman dulu sambil melompati tanah yang sudah pecah. Saya telat sedikit saja melompat, bisa saja jadi korban juga," kenang Armin sembari menunduk.

Armin terlihat cukup berat saat akan melanjutkan cerita kelamnya itu. Apalagi dia masih merasa berdosa karena tidak bisa menyelamatkan anak dan cucunya. Namun dia mengaku tidak boleh bersedih terus. Dia harus bekerja sebagai petani lagi meski kini tinggal di pengungsian di bukit Petobo.  "Harus saya jalani kenyataan ini. Mau gimana lagi," terang dia seperti dikutip Radar Malang (Jawa Pos Group).

Selain di Petobo, lukuifaksi juga menelan lebih dari 2.000 korban jiwa di Perum Balaroa. Sekitar 700 jenazah berhasil dievakuasi. Sisanya terpendam di dalam tanah.

Saksi mata likuifaksi di Perum Balaroa, Asfin, 70, menjelaskan dirinya sangat beruntung tidak jadi korban. Padahal rumahnya sekitar 15 meter saja dari lokasi likuifaksi. Saat itu, dia bersama anak dan cucunya sedang berada di depan rumah karena ada guncangan gempa. Betapa kagetnya ketika banyak orang berteriak minta tolong dari perumahan Balaroa.

"Mereka teriak-teriak tidak karuan saat itu. Ada yang lari ke rumah saya juga minta bantuan, padahal saya sendiri juga panik menjaga keluarga," kenang pria Ketua RW 02 Kelurahan Balaroa, kecamatan Palu Barat ini.

Asfin menjelaskan, saat itu dia memang tidak berani menolong para korban. Yang dia tahu, ada ratusan orang yang menyelamatkan diri di tengah lapangan. Nah, saat banyak orang itulah, tiba-tiba tanah lapang itu terbelah. Sehingga ada ratusan orang masuk dalam lubang menganga itu dan tergulung. Disusul kemudian, rumah rumah ikut tenggelam seperti tersedot ke dalam tanah. "Saya hanya bisa lihat, tapi tidak bisa bantu apa-apa," kata Asfin.

Menurut dia, area perumahan itu dulunya memang semacam kubangan rawa-rawa. Lalu ditimbun tanah selama bertahun-tahun. Setelah terlihat rata, sejak 1990-an, mulai ada rumah hingga berkembang menjadi perumahan. Lokasinya tepat di samping bekas aliran sungai dari kaki gunung. Namun sungainya itu sudah tidak dialiri air lagi.

"Bisa jadi karena bekas rawa itu sehingga di dalam tanah itu seperti area kosong dan berair," ungkap pria asli warga Balaroa tersebut.

Yang membuat warga sekitar tak nyaman saat ini karena hampir tiap malam, warga masih mendengar jeritan-jeritan minta tolong. Terkadang suara anak kecil, suara perempuan. "Barangkali mereka minta kita doakan. Kami warga sini juga sudah menggelar tahlilan 40 hari lalu," tandas dia.

Di lokasi tersebut, saat ini masih ada satu keluarga yang tidak mau pindah. Rumahnya ikut bergeser cukup jauh. Namun masih bisa ditempati.  Saat kejadian, satu keluarga ini selamat karena sedang di luar rumah.

Ke depan, Asfin dan warga Balaroa berharap Pemkot Palu menjadikan tempat tersebut jadi destinasi wisata berupa Memorial Park. Termasuk di Petobo. "Yang jelas area ini tidak bisa dijadikan rumah lagi, harus dijadikan lokasi khusus untuk mengenang tragedi tersebut oleh pemerintah," tandas Asfin. [JP]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita