GELORA.CO - Direktur eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, menilai kebijakan pemerintau pusat yang mengalihkan 4 (empat) pulau dari Aceh ke Sumatera Utara bukan hanya cacat secara administrasi, tetapi juga sarat muatan politis yang berpotensi memicu konflik horizontal di lapangan.
“Empat pulau itu harus dikembalikan ke pemilik yang sah, yaitu Aceh. Masuknya ke wilayah Sumut tanpa alasan yang jelas dan mendesak, bisa dikatakan sebagai pencaplokan,” kata Jerry dalam pernyataannya yang diterima Holopis.com, Sabtu (14/6/2025).
Keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Penetapan tersebut resmi tertuang dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang diteken 25 April lalu oleh Muhammad Tito Karnavian.
Namun, bagi Jerry, keputusan itu terlalu janggal untuk dianggap kebetulan. Ia menyinggung sosok Gubernur Sumut, Muhammad Bobby Afif Nasution yang juga menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai turut diuntungkan secara politik dalam dinamika wilayah ini.
“Dulu sempat heboh soal isu penjualan pulau, sekarang malah main caplok empat pulau milik Aceh dan diberikan ke Bobby. Saya menduga ada keterkaitan dengan Jokowi dan potensi sumber daya alam di sana, mulai dari nikel, batu bara, hingga emas,” ungkap Jerry.
Ia menduga kuat bahwa keberadaan kekayaan alam inilah yang menjadi pemantik utama klaim wilayah oleh Kemendagri. Oleh sebab itu, ia menilai rakyat patut menduga ada misi terselubung di balik pengalihan kawasan tersebut oleh Tito.
“Kalau tak ada apa-apa di pulau itu, tak mungkin tiba-tiba diambil alih. Ini soal kepentingan ekonomi terselubung yang dibungkus kebijakan administratif,” lanjutnya.
Jerry pun menyebut bahwa langkah Mendagri Tito Karnavian bukan hanya mengganggu stabilitas, tetapi juga berpotensi menyulut konflik antaretnis di kawasan perbatasan Aceh dan Sumut.
“Kalau ini terus dibiarkan, bisa terjadi chaos, dan Mendagri harus bertanggung jawab. Ini pelanggaran terhadap wilayah otonom Aceh,” tandasnya.
Ia menekankan bahwa berdasarkan sejarah, garis pantai, hingga peta geografis, keempat pulau tersebut secara turun-temurun berada dalam wilayah Aceh. Pertanyaannya, mengapa baru sekarang status kepemilikannya dipindahkan?
“Jangan sampai pemerintah pusat mempermainkan batas wilayah seenaknya demi kepentingan politik jangka pendek. Ini bukan hanya persoalan administratif, tapi menyangkut harga diri dan kedaulatan daerah,” pungkasnya.
Sumber: holopis