Kerinduan akan Pemimpin Pro-Umat Semakin Tak Terbendung

Kerinduan akan Pemimpin Pro-Umat Semakin Tak Terbendung

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Zulhidayat Siregar
Alumni 212

AKSI reuni 212 dua pekan lalu menyimpan banyak kenangan dan juga sebuah pertanyaan sampai saat ini.

Kenangan bagaimana umat Islam pada malam hari berduyun-duyun mendatangi kawasan Monas agar bisa mengikuti qiyamul lail, pembuka dari semua rangkaian kegiatan yang telah disiapkan panitia. Sementara umat Islam dari berbagai daerah sudah tiba sejak sore atau sehari sebelumnya.

Saya sendiri bersama beberapa teman berangkat dari kawasan Gunung Sindur, Bogor, puku 03.00 WIB dini hari. Beruntung masih terkejar salat subuh berjamaah. Namun karena umat sudah penuh sesak, kami hanya bisa melaksanakan salat wajib dua rakaat tersebut di bundaran Indosat.

Jumlah umat Islam yang mengikuti aksi reuni 212 benar-benar di luar perkiraan banyak orang. Sampai-sampai koran Rakyat Merdeka menurunkan headline dengan judul 212 Makin Lama Makin Besar, Kenapa Ya? RM memperkirakan jumlah massa yang hadir mencapai 8 juta orang. Melebihi aksi dua tahun  lalu. Karena massa yang terus berdatangan tidak berhenti bahkan sampai siang hari. 

Semua yang hadir menyimpan sejuta kenangan. Misalnya bagaimana kekhusu'an dalam berdoa, kebersamaan antara sesama, saling mengingatkan kalau ada yang menginjak rumput dan buang sampah sembarangan, hingga yel-yel dan orasi dari para tokoh yang membangkitkan semangat persatuan. 

Kita juga menyaksikan bagaimana ramahnya para relawan, mulai dari menyajikan makanan hingga relawan kebersihan. Setiap orang ingin ikut berpartisipasi bahkan termasuk tokoh-tokoh, tak peduli apapun perannya apakah harus di atas panggung atau tidak, seperti tokoh muda nasional Dahnil Anzar Simanjuntak turut yang ikut menjadi pemungut sampah.

Tapi aksi ini juga memunculkan satu pertanyaan, kekuatan apa yang mendorong umat Islam melangkahkan kaki dari berbagai penjuru menuju Monas? Padahal sebelumnya, berbagai upaya telah dilakukan banyak kalangan untuk menggembosi aksi reuni 212  tersebut. Termasuk sejumlah ulama dan pimpinan ormas yang melarang warganya untuk ikut. Dengan bermacam-macam alasan dimunculkan. Misalnya acara tersebut tidak ada gunannya, rawan disusupi aksi radikal, bahkan ada yang menyebutkan kegiatan tersebut tidak sesuai dengan anjuran agama.

Namun hal itu tidak menyurutkan langkah umat. Malah Pondok Pesantren Darussalam, Wanaraja, Garut memohon maaf tidak bisa menerima kedatangan Ketua Umum MUI yang juga cawapres, KH Maruf Amin pada hari itu mengingat mereka juga mengikuti reuni 212. Tingginya antusiasme umat membuat aksi reuni 212 pecah, membludak. Mereka tidak peduli dengan berbagai cara yang bermaksud untuk merintangi.

Penolakan terhadap kegiatan aksi reuni 212 termasuk dilakukan oleh tokoh-tokoh agama tersebut terutama saat aksi 2 tahun lalu sebenarnya bukan hal yang mengagetkan. Karena sejak dulu selalu ada saja ulama yang pro pemerintah dan ikut berhadap-hadapan dengan umat. Bahkan sejak zaman penjajahan Belanda.

Kita ingat dulu bagaimana upaya pihak Belanda menghalangi, menghambat, bahkan ingin menghancurkan Sarekat Islam. SI merupakan organisasi pertama yang menyuarakan kemerdekaan. Apalagi jumlah anggotanya pernah mencapai dua juta orang lintas etnis, daerah, dan kelas sosial. Sehingga keberadaan SI sangat mengkhawatirkan Belanda. 

Karena berbagai upaya telah gagal, Belanda juga menggunakan sebuah pamflet yang ditulis Sayid Othman bin Jahja al-Alawi, seorang sekutu pemerintah kolonial, untuk menjauhkan masyarakat  dari Sarekat Islam. Pamflet yang ditulis dalam bahasa Arab dan berjudul “Menghentikan Rakyat Biasa Dari Bergabung Dengan Sarekat Islam”  menuduh Sarekat Islam sebagai tidak Islam sama sekali. Dan para pemimpinnya, terutama Tjokroaminoto tidaklah hidup sesuai dengan norma-norma Islam. Pamflet ini disebarkan pemerintah kepada guru-guru  agama di Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia (Noer, 1990).

Namun langkah pemerintah tersebut lagi-lagi berujung kegagalan. Terutama karena propaganda ulama pro Pemerintah Belanda tersebut mendapat perlawanan dari ulama lainnya. Misalnya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Muhammad Muchtar bin Attarid dari Jawa. Keduanya bahkan menganjurkan umat Islam bergabung dengan SI. 

Menariknya, terkait aksi 212 yang disulut karena adanya kasus penistaan agama juga terjadi sebelumnya. Pada tahun 1918 atau  persis 1 abad yang lalu, organisasi-organisasi Islam dihadapkan pada kasus penodaan agama. Koran Djawi Hisworo menebitkan tulisan Joyodikoro yang menggambarkan Nabi dalam keadaan mabuk sewaktu menerima wahyu. SI membentuk Comite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad untuk membela Nabi dalam penghinaan tersebut. Di banyak tempat juga diselenggarakan rapat-rapat umum agar penulis dan redakturnya, Martodarsono diadili (Kuntowijoyo, 1995).

Aksi Reuni 212 ini sendiri juga tidak terbendung karena umat merasa pemerintah kerap mempertontonkan ketidakadilan. Apalagi mereka selalu distigmakan sebagai kelompok intoleran, radikal, pemecah belah dan lain sebagainya. 

Propaganda yang kerap dibesar-besarkan terutama paska Al Maidah 51 mencuat. Karena itu, umat ingin menunjukkan lagi bahwa mereka cinta damai. Terbukti dengan aksi yang lebih besar dari dua tahun lalu sekalipun, tetap berjalan dengan tertib, tanpa kericuhan.

Namun harus diakui bahwa umat Islam merasakan adanya ketidakadilan tersebut karena faktor politik. Karena itulah umat ini semakin sadar pentingnya politik agar dikuasai oleh orang-orang yang mempunyai komitmen dan keberpihakan. Apalagi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memberikan pesan yang tegas kepada umat yang hadir.

"Karena itu saudara-saudara sekalian, jangan pernah anggap enteng proses politik. Karena disitulah tanda tangan nanti akan menentukan arah kebijakan," kata Anies setelah menyampaikan kesuksesannya menghentikan reklamasi, menutup tempat maksiat, dan melaksanakan program rumah DP 0 persen.

Pesan Anies ini semakin menyadarkan umat Islam agar melek politik. Umat pun akan ikut berikhtiar dan berdoa agar lahir pemimpin nasional yang memiliki kedekatan dan keberpihakan kepada umat dan rakyat Indonesia pada umumnya. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita