Divestasi Freeport Rampung, Untung atau Buntung?

Divestasi Freeport Rampung, Untung atau Buntung?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI/Freeport) akhirnya rampung juga. Ada yang senang, namun banyak pula cibiran.

Jumat lalu (21/12/2018), Presiden Joko Widodo terlihat sumringah. Rupanya, dia kedatangan tamu istimewa, yakni CEO Freeport McMoran Richard Adkerson. Didampingi sejumlah menteri dan Dirut PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin, presiden tak bisa menyembunyikan rasa bangganya.

"Hari ini momen bersejarah, setelah Freeport beroperasi di Indonesia sejak 1973. Dan, kepemilikan mayoritas ini kita gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," ujar Jokowi saat konferensi di Istana Negara, Jakarta.

Ya, Jokowi pantas bangga dan merasa lega. Proses divestasi Freeport ini, memang selalu alot. Negosiasinya cukup panjang dan pasti melelahkan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut perlu 26 tahun untuk mengembalikan Freeport ke pangkuan ibu pertiwi.

Era Soekarno, misalnya, Freeport memulai kontrak dengan East Borneo Company. Setelahnya, ada revisi kontrak hasil tambang sebesar 60% untuk pemerintah. Freeport pun menjadi kesulitan untuk beroperasi di Papua karena kewajiban 60% itu.

Masa Soeharto, muncul Kontrak Karya (KK) I yang disebut menjadi pintu masuk bagi Freeport untuk mengeduk emas di Papua. Pada 1991, muncul KK II yang mewajibkan fivestasi 51% saham Freeport. Hal itu diteruskan dengan PP 20/1994 yang wajibkan PMA (Pemilik Modal Asing) untuk divestasi 5%. Mereka juga diizinkan beroperasi hingga 30 tahun.

Era Megawati mengeluarkan PP 45/2003 terkait perincian royalti tambang. Dalam beleid ini, jasa teknologi atau konsultasi eksplorasi mineral dimasukkan ke dalam sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Sepuluh tahun pemerintahan SBY, lahir sejumlah PP terkait Freeport. Pertama, PP 23/2010 tentang PMA divestasi saham sebanyak 20%. Kemudian angka dinaikkan melalui PP 24/2012. Beleid ini menyebut, divestasi wajib dilakukan Freeport secara bertahap hingga 51% menjadi milik Indonesia.

Akan tetapi, lewat PP 77/2014, kewajiban divestasi PMA yang melakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan bawah tanah (seperti Freeport) dan penambangan terbuka, hanya menjadi sebesar 30 persen saham.

Kini, era Jokowi, Indonesia resmi menguasai 51% saham PT Freeport Indonesia. Transaksi akuisisi dilakukan Inalum selaku holding BUMN Pertambangan dengan Freeport McMoRan (FCX) dan Rio Tinto. Nilai transaksi mencapai US$3,85 miliar, atau setara Rp55,8 triliun.

Duit Inalum untuk memborong saham Freeport berasal dari penjualan surat utang global di pasar Singapura senilai US$4 miliar.

Dengan kesepakatan ini, apa benar pemerintah Indonesia punya kendali penuh atas cadangan terbukti dan terkira di lapangan Freeport yang kabarnya bernilai Rp2.400 triliun. Terdiri dari 38,6 miliar pound tembaga, 33,8 juta ounce emas, dan 156,2 juta ounce perak.

Namun demikian, divestasi Freeport yang berhasil dirampungkan di era Jokowi ini, justru mendapat kritik keras dari ekonom senior UI, Faisal Basri.

Faisal justru sedih dengan langkah divestasi ini. Alasannya, sejak awal, Freeport mengelola tambang emas di wilayah Indonesia. Kenapa, pemerintah Indonesia harus membeli tambang emas di wilayahnya sendiri. "Ini (tambang emas) Freeport punya Indonesia, nih, dibeli. Kan goblok," kata Faisal di Jakarta, Jumat (21/12/2018).

Kini, urusan divestasi 51% saham Freeport mulai dikait-kaitkan dengan politik. Di mana, keberhasilan mendivestasi 51% saham Freeport ditiupkan seolah-olah sukses pemerintah. Bahkan ada yang mengkaitkannya dengan kedaulatan Indonesia.

"Katanya gara-gara 51 persen Indonesia berdaulat. Kedaulatan itu bukan ditentukan persentase. Indonesia tetap berdaulat terhadap Freeport. Karena apa? Aturan-aturan terkait kita buat, royalti berapa, pajak berapa, itu kedaulatan," tegasnya.

Faisal juga menyindir sumber pendanaan Inalum untuk membeli saham Freeport dari penerbitan obligasi global (global bond) dengan nilai yang sangat besar. Totalnya mencapai US$4 miliar atau sekitar Rp55,8 triliun.

"Kalau pinjam di global bond, maka itu pinjam ke pasar. Pinjam ke pasar itu tidak ada negosiasi macam-macam. Kalau asing itu punya sentimen negatif terhadap Indonesia, dia jual besoknya. Harganya ancur. Mampus kita," jelas Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas. [IN]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita