Wiranto: Meski Anak Cucu Saya Bercadar, Tapi Sudah Tertanam Nilai-nilai Pancasila

Wiranto: Meski Anak Cucu Saya Bercadar, Tapi Sudah Tertanam Nilai-nilai Pancasila

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Menanggapi itu, mantan panglima ABRI Wiranto pun akhir blakblakan menjelaskan latar belakang keluarganya, termasuk soal kedekatannya dengan puluhan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam selama ini. Berikut ini pernyataan eks ketua umum Partai Hanura ini:

Banyak yang bereaksi den­gan foto keluarga Anda saat pe­makaman cucu Anda, terutama soal cadar. Bisa ditanggapi?

Saya memberikan kebebasan kepada keluarga saya, untuk menjadi apa saja dan melakukan apa saja sepanjang tidak keluar dari rambu-rambu kehidupan yang telah saya pesankan kepada mereka.

Apa pesan Anda?

Saya selalu berpesan kepada keluarga untuk tidak menjadi­kan busana muslim sebagai alat memamerkan kadar keislaman. Meski anak cucu saya mengenakan cadar dan sorban, tapi tetap ditekankan nilai-nilai Pancasila.

Dengan berbusana cadar, ada yang menuding keluarga Anda sudah terpapar paham radikal. Bagaimana itu?

Silakan berpakaian seperti itu, tapi mutlak nilai-nilai Pancasila harus dianut oleh keluarga kami. Tak ada itu paham radikalis di keluarga kami. Dengan modal itu saya ajari mereka untuk merasa memiliki, mencintai, membela negeri ini di manapun posisi mereka, apapun peker­jaan mereka. Di sinilah kita dilahirkan, dibesarkan, dididik, mendapatkan kehidupan, bah­kan tempat peristirahatan yang terakhir.

Anda juga dikenal dekat dengan kalangan petinggi ormas yang kerap bersuara te­gas dan lantang pada kemak­siaatan. Tanggapan Anda?

Saya ingatkan, jangan cam­pur adukkan agama dengan ideologi negara. Jangan jual agama untuk kepentingan politik dan jangan jual agama untuk mencari keuntungan finansial.

Maksudnya?

Saya sudah 50 tahun mengab­di untuk Indonesia, baik sebagai tentara maupun pemangku jaba­tan negara. Karena itu, sudah ter­biasa difitnah memiliki kerabat radikal. Seperti saat anaknya, Zainal Nurizky meninggal dun­ia di Afrika Selatan beberapa waktu lalu. Zainal dituduh ikut gerakan teroris. Padahal, Zainal sedang mendalami Al Qur'an untuk memantapkan akhlak dan moralnya sebagai basis pengab­diannya.

Apakah Anda akan meng­gunakan jalur hukum atas tudingan dan fitnah itu?

Saat ada orang yang mencibir dan memfitnah, saya pun hanya tertawa karena memang tidak perlu saya layani.

Bisa Anda contohkan tudin­gan fitnah radikalisme terse­but?

Beberapa tahun yang lalu, di saat anak saya Zainal Nurizky (alm) meninggal dunia pada saat belajar Al -Qur'an di Afrika Selatan, ada sebagian orang mengatakan anak saya menga­nut Islam radikal, masuk Islam garis keras, kader terorisme dan seterusnya. Padahal dengan kesadarannya sendiri, dia minta ijin untuk keluar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang san­gat bergengsi itu, karena kepri­hatinan dan kesadarannya meli­hat perilaku sebagian generasi muda yang tidak lagi memiliki kepribadian yang tepuji.

Kenapa anak Anda tidak mengikuti jejak Anda di mi­liter?

Anak saya ingin mendalami Al-Qur'an untuk memantapkan akhlak dan moralnya sebagai basis pengabdiannya ke depan nanti sebagai generasi penerus. Lewat internet, dia memilih tem­pat belajar Al-Qur'an yang be­bas politik, ponpes internasional di wilayah land Asia Afrika Selatan. Saya beruntung pernah dipercaya menjadi panglima ABRI/TNI tetapi tak seorangpun anak atau menantu saya mengi­kuti jejak saya sebagai militer, atau menjadi rekanan pengadaan Alutsista. Saya memang mem­inta dengan sungguh-sungguh kepada mereka untuk jangan sekali-kali memanfaatkan ja­batan saya untuk kepentingan pribadi.

Bagaimana kiprah pesant­ren di Afrika ini, benarkah ada paham-paham garis keras?

Pesantren ini khusus meman­tapkan pemahaman Al-Qur'an yang mengedepankan persau­daraan dan kedamaian, bukan sekolah teroris. Sayang sekali baru satu tahun belajar dari 7 tahun yang harus dijalaninya, dia meninggal di sana karena sakit saat membaca ayat-ayat suci.

Nah, kini pada saat cucu saya Ahmad Daniyal Al Fatih (alm) meninggal dunia, ibu, ayah dan kakak-kakaknya mengenakan busana muslim yang bercadar, bersorban, banyak masyarakat terkejut, media sosial ramai membincangkan tentang mereka.

Bagaimana respon Anda me­lihat persepsi masyarakat?

Ada yang senang dan ada pula yang mencerca dengan pras­angka dan cara mereka. Bahkan mencoba menghubung-hubung­kan dengan tugas dan jabatan saya sebagai Menko Polhukam. Saat ini, di tahun 2018 sudah genap setengah abad (50 tahun) saya mengabdikan diri saya ke­pada ibu pertiwi, 32 tahun dalam penugasan sebagai militer aktif dan sisanya 18 tahun dalam poli­tik dan pemerintahan. Prestasi, pujian juga fitnah dan cercaan sudah tak terbilang banyaknya, namun tidak menggoyahkan kecintaan saya kepada negeri ini dan keyakinan saya ten­tang ideologi negara Pancasila, Saptamarga yang telah merasuk dalam jiwa raga saya.

Soal kedekatan dengan ormas-ormas Islam selama ini, apa pesan yang Anda ingin berikan kepada para petinggi ormas?

Dalami agama untuk bekal di akhirat dan memberikan kebaikan bagi sesama, bangsa dan negara. Kita boleh kenakan baju apa saja, selama kamu merasa nyaman, tetapi yang penting janganlah penampilan­mu hanya untuk pamer tentang ke-Islamanmu, karena kedala­man agamamu bukan diukur dari pakaianmu atau penampilanmu, tetapi akhlak dan perilakumulah yang lebih utama.

Makna seperti apa?

Kami selalu minta kearifan tokoh agama (intern) Islam. Mereka masing-masing punya komunitas dan perlu kearifan. Seperti aksi bela negara meru­pakan suatu kewajiban dan keharusan bagi setiap warga negara. Hal tersebut tentunya dilakukan dengan berpegang pada Pancasila. Kewajiban kita untuk melakukan bela negara. Kata kuncinya adalah Pancasila. Ada satu kata kunci yang harus kita pegang untuk persatuan Indonesia, Indonesia yang satu.

Bagaimana dengan komit­men kebangsaan bagi or­mas-ormas agama selama ini berkembang?

Terbentuknya Indonesia kar­ena adanya persatuan. Persatuan merupakan hal yang penting untuk selalu dijaga. Sebab, tanpa persatuan, maka Indonesia akan mudah terpecah-belah. Kemerdekaan karena Indonesia satu.

Kita bisa membangun karena Indonesia satu. Kita bisa aman, bisa mencapai suatu masyarakat adil dan makmur dalam pem­bangunan kalau kita bersatu. Jangan melupakan sejarah ke­merdekaan Indonesia. Sebab, bangsa yang besar adalah bang­sa yang menghormati jasa para pahlawannya. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita