Said Aqil: Saya Tak Sependapat Dengan PSI, Terbitnya Perda Syari’ah Harus Dilihat Konteksnya Dulu

Said Aqil: Saya Tak Sependapat Dengan PSI, Terbitnya Perda Syari’ah Harus Dilihat Konteksnya Dulu

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan, PSI akan mencegah diskriminasi dan tindakan intoleransi. Tidak boleh lagi ada penutu­pan rumah ibadah secara paksa. Oleh karena itu, dia menyatakan, partainya tidak akan pernah mendukung perda injil atau perda syariah.

Pernyataan Grace ini men­uai kontroversi. Banyak yang tidak setuju atas sikap PSI yang menolak perda syariah. Grace pun sampai dipolisikan, karena dianggap melakukan penistaan agama.

Bagaimana tanggapan tokoh agama atas masalah ini? Apakah pernyataan Grace tersebut bi­sa digolongkan sebagai peni­staan agama? Berikut pendapat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj terkait hal tersebut.

Tanggapan Anda terkait penolakan PSI soal Perda Syari'ah dan Perda Injil?

Sebenarnya spirit atau jiwa dari pembuat undang-undang harus kita pahami. Seperti apa kejiawaannya, kebatinannya sampai muncul perda syariah. Jadi tidak bisa dijelaskan begitu saja.

Alasannya karena kerap memicu tindakan diskriminasi dan intoleransi?

Saya tidak sependapat dengan PSI. Tapi konteks kelu­arnya perda itu harus tahu dulu. Misalnya, saya kepala daerah di wilayah tertentu. Di situ banyak sekali pelacuran, banyak sekali minum-minuman keras, sehingga saya terpaksa keluarkan perda itu.

Penolakan ini berujung pada dilaporkannya Ketum PSI Grace Natalia karena dianggap menista agama. Tanggapan Anda?

Ya silakan, itu hak-hak dia mau menuntut dan mengajukan proses hukum.

Kalau penilaian Anda soal dugaan penistaan agama ini?

Kalau ada yang berpendapat dari partai kecil, terus kita se­rius menanggapinya, jadi besar nantinya. Nanti malah jadi besar, malah membesarkan PSI nanti.

Penolakan PSI tadi bukan­nya menjadi preseden buruk terhadap perda syariah?

Kalau saya sih menanggap­inya dengan dingin saja. Saya enggak usah marah-marah lho. Saya tidak sependapat pernyatan seperti itu. Karena masing-mas­ing daerah ada kebutuhannya masing-masing, ada kondisi dan situasinya sendiri. Saya enggak emosi. Soal itu kan tergantung kepala daerahnya masing-masing.

Jadi soal pelaporannya ba­gaimana?

Terserah, dia kan punya hak hu­kum. Kalau saya atau NU sih eng­gak akan melaporkan soal itu.

Ada wacana alumni 212 mau mengadakan reuni. Ada tanggapan?

Sebatas dia mensyiarkan reuni ya terserah mereka. Asal tidak ada tendensi politik.

Enggak masalah mereka reuni?

Boleh-boleh saja kalau orang mau reuni kan. Yang pasti sistem presidensial yang saat ini dip­impin oleh Pak Jokowi harus sampai lima tahun, tidak boleh dilengserkan sebelum saatnya. Kecuali melanggar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem presidensial ini harus sampai lima tahun. Kami pernah punya sejarah buruk ketika jamannya Gus Dur, baru 23 bulan dilengserkan tanpa kesalahan yang prinsip. Itu pre­seden sejarah buruk itu. Padahal ini sistem presidensial, bukan parlementer.

Ada imbauan terkait ren­cana reuni ini?

Enggak usah mengimbau lah. Apa hubungannya, kenal saja enggak. Kalau saya mengimbau itu kalau untuk NU.

Soal aksi demo bawa bendera tauhid?

Sudah pernah saya katakan waktu di PBNU, semua ulama mengatakan makhruh menu­lis kalimat tauhid di semba­rang tempat. Ulama Saudi saja melarang itu ada di mata uang mereka. Makruh itu nulisnya ya, lalu kalau sampai uang itu ke injak atau masuk ke WC haram jadinya.

Berarti enggak boleh di­pakai demo?

Pokoknya jangan sampai kita tidak menghormati, tidak memuliakan kalimat tersebut. Jangan sampai nanti ada yang keserimpet lalu keinjak, atau ada yang enggak sengaja jatuh ke got. Pokoknya kalau ingin menghormati kalimat tauhid tahlil saja yang banyak.

Karena begitu, apa imbauan Anda terkait bendera tauhid ini?

Dari ormas, kami mohon agar pemerintah tegas melarang ben­dera tauhid untuk kepentingan politik, kalimat thayyibah, kali­mat yang sakral jangan dijadikan untuk kepentingan politik yang penuh dengan kepentingan-kepentingan interest. Agama harus kita hormati, jauhkan dari kepentingan politik.

Bendera tauhid, masjid, khot­bah Jum'at jangan diarahkan untuk kemenangan partai, ke­menangan pilpres, kemenangan calon, semua itu enggak boleh. Saya enggak mau menuduh siapa-siapa, dan saya enggak bermaksud untuk mendukung siapa-siapa. Saya hanya tidak mau bendera tersebut digunakan untuk kepentingan politik.

Adanya isu afiliasi gerakan khilafah dengan pasangan calon?

Saya enggak tahu...saya eng­gak tahu. Yang jelas khilafah dimana-mana ditolak. Di seluruh tempat ditolak khilafah itu, Hizbut Tahrir dilarang.

Tadi Anda sempat meng­kritik kepolisian soal pemba­karan bendera oleh Banser. Itu kenapa?

Jadi, saya terpanggil karena terkesan adanya pembiaran, kar­ena tidak ada satupun bendera yang dirampas oleh kepolisian. Kan ada yang tulisannya 'ganti presiden, ada juga yang 'saatnya khilafah'. Kok tidak ada yang dirampas itu ya? Saya juga heran kok bisa begitu. Sehingga kemudian Banser lepas kendali, lepas kontrol, merampas sendiri, membakar sendiri, membakar itu salah. Kami sudah minta maaf juga, artinya masalah bendera selesai ya. Karena waktu hari santri itu bendera NU saja eng­gak boleh dibawa pawai. Hanya boleh merah-putih yang dibawa, disertai spanduk nama pesantren apa gitu. Eh tiba-tiba ada bend­era itu.

Bendera ganti presiden itu me­mang di mana masalahnya?

Kalau sekarang turunkan Jokowi tidak boleh dong, kar­ena sistem presidensialnya har­us lima tahun selesai. Kecuali nanti sudah melalui proses yang seharusnya baru boleh. Ketika sudah jelas siapa yang kalah, yang menang (dalam pemilu). [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita