Rizal Ramli: Pajak Diuber Tapi Caranya Nggak Canggih, Ekonomi Jadi Nyungsep Karena Diketatin

Rizal Ramli: Pajak Diuber Tapi Caranya Nggak Canggih, Ekonomi Jadi Nyungsep Karena Diketatin

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui sulit untuk mencapai target pertum­buhan ekonomi sebesar 7 persen. Meski begitu, pemerintah terus mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan pertum­buhan ekonomi setiap tahun­nya. Meski begitu menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi di level 5 persen yang diraih saat ini diklaim sudah cukup bagus, jika melihat kelesuan kondisi ekonomi global yang terjadi saat ini, akibatnya ketidakpas­tian global. Benarkah alasan yang dikemukakan Menteri Sri Mulyani itu? Berikut pernyataan Ekonom Rizal Ramli;

Menurut Anda kenapa saat ini pemerintah sulit untuk merealisasikan target per­tumbuhan ekonomi sebesar 7 persen itu?

Satu, kebijakannya ini based on osterity, pengetatan. Diketatin budget dipotong terus, diuber pajak tapi cara ubernya enggak canggih. Akibatnya ekonomi yang ada melambat, makin nyungsep kalau diketatkan. Negara lain ka­lau ekonominya melambat misal Eropa, dia ciptakan stimulus supaya ekonominya pulih lebih cepat, nanti baru dipajakin, baru diuber di situ.

Stimulus seperti apa?

Macam-macam kemudahan­nya. Tapi ini kebalik, ini obatnya ala bank dunia. Kalau ekonomi negara berkembang dia selalu ketatkan. Kenapa diketatkan? Kalau diketatkan punya uang untuk punya bayar cicilan utang ke kreditor, itu saja motifnya. Tapi aset price akan jatuh, karena ekonomi melemah kan. Misalnya state makin rontok.

Jadi cara bank dunia ini eng­gak cocok buat di Indonesia ya?

Iya pengetatan itu enggak cocok. Contohnya waktu saya jadi menko itu kan bukan bi­dang ekonomi. Saya usulin satu revaluasi aset. Yang setuju cuma Pak Jokowi sama saya, yang lain enggak setuju. Tapi kami ber­hasil merevaluasi 16 aset. Aset BUMN itu naik Rp 800 triliun, sementara pajaknya 4 persen Rp 32 triliun. Maunya saya BUMN revaluasi aset, karena mereka berdasarkan data historis doang. Kalau dilakukan aset BUMN bi­sa naik hingga Rp 2.500 triliun. Kita bisa raising financing 100 million dollar. Kalau itu terjadi, kita enggak pusing hari ini.

Apa yang kedua?

Kedua yang saya usulin itu kan tadi, supaya semua ekspor harus masuk dulu ke dalam. Masa hanya 20 persen? Waktu itu sudah dirapatkan, saya ingat wakil gubernur Bank Indonesia (BI) si Mirza setuju, menteri keuangan waktu itu Bambang (Brodjonegoro) setuju. Darmin (Nasution) biasa mencla-mencle, si gubernur BI Agus (Martowarjojo) enggak berani. Akhirnya enggak jadi. Coba seandainya kebijakan saya dua tahun yang lalu dilaksanakan. Saya kan memang bukan menko perekonomian, tapi dilaksana­kan karena Pak Jokowi sudah setuju. Kalau itu dilaksanakan 80 persen ekspor yang di luar masuk, cadangan devisa kita jadi lebih gede, reserve kita lebih gede, ekonomi kita enggak akan gonjang-ganjing. Ada tiga hal utama yang saya sarankan waktu jadi menko maritim, walau bu­kan bidangnya, tapi saya sara­nkan dalam rapat kabinet.

Apa saja ketiga usul terse­but?

Satu hapuskan sistem kuota pangan, ganti sama tarif. Harga daging pasti turun, harga gula bakal turun, semua boleh impor. Itu sama saja dengan ibu-ibu yang belanja Rp 200 ribu per hari, bisa dikurangi jadi Rp 150 ribu per hari. Artinya kita kasih duit ke ibu-ibu ini Rp 50 ribu per hari, dalam sebulan sudah Rp1,5 juta. Di Indonesia ini kan ada 60 juta ibu-ibu, bisa hidup itu daya beli kita. Yang kedua revaluasi aset. Kita bisa rise financing hingga 100 miliar dollar. Kalau itu dilakukan hari ini kita enggak akan kayak pengemis. Yang ke­tiga tadi, ekspor tradingnya harus masuk ke dalam. Biar cadangan devisa kita bisa lebih gede. Tapi karena saat itu saya bukan menteri keuangan, saya enggak punya kuasa, jadi cuma bisa usul. Maka terjadilah apa yang harusnya tidak terjadi, hari ini ekonomi Indonesia setengah lampu merah. Tadi diumumin kan bank defisit, saya juga baru dengar. Ternyata naik 3,4 persen. Artinya apa? Ya per­tumbuhan ekonominya mandek, bukan berkurang. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita