Apakah Kabareskrim Polri "Diperdaya" Gerombolan Genderuwo Koruptor Kondensat?

Apakah Kabareskrim Polri "Diperdaya" Gerombolan Genderuwo Koruptor Kondensat?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Koordinator Pergerakan Pemuda (PP) Merah Putih, Wenry Anshory Putra menggunakan diksi “Genderuwo” bagi koruptor kondesat yang merugikan negara senilai Rp37 triliun. 

Melalui siaran pers, Wenry mengungkap beberapa fakta terkait kasus korupsi kondesat. Berikut ini siaran pers selengkapnya:

Dalam mitologi budaya Jawa, Genderuwo digambarkan sebagai sosok Siluman raksasa legendaris yang menyeramkan, suka menipu atau memanipulasi, rakus, dan suka sekali menggoda atau mengganggu manusia terutama perempuan serta anak-anak.

Rasa-rasanya, istilah gerombolan Genderuwo sangat layak kita sematkan kepada mereka yang terlibat dalam kasus korupsi Kondensat yang merugikan negara Rp 37 Triliun.

Bagaimana tidak? Hanya mereka yang “berwatak” Genderuwo sajalah yang melakukan korupsi besar-besaran di Republik ini dengan kerakusan yang sangat luar biasa.

Honggo Wendratno taipan korupsi Kondensat dan gerombolannya yang sebenarnya “berwatak” Genderuwo, ia bersama gerombolannya menipu dan menjarah kekayaan bangsa ini untuk memperkaya diri. Dan hanya mereka yang “berwatak” Genderuwo sajalah yang mampu “memperdaya” aparat penegak hukum, sehingga aparat penegak hukum seolah-olah bergerak lamban dan mengulur-ulur waktu. Sudah terlalu banyak kasus patgulipat antara taipan/cukong/mafia dengan aparat penegak hukum di Republik ini.

Sementara, Raden Priyono (mantan Kepala BP Migas) dan Djoko Harsono (mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas) yang telah lama ditetapkan sebagai tersangka pun masih bebas dan tidak ditahan kembali.

Hal tersebut melukai hati kita sebagai masyarakat. Bagaimana tidak, hukum seolah-olah tajam terhadap masyarakat kecil tapi tumpul terhadap gerombolan Genderuwo yang menjarah kekayaan bangsa ini?

Kita menilai ini juga menjadi salah satu perbedaan mendasar antara Polri dan KPK dalam menangani kasus korupsi, apalagi kasus korupsi yang merugikan negara sangat besar. Kita tidak pernah menyaksikan KPK menangguhkan penahanan para tersangka kasus korupsi, “koreksi bila kita keliru”. Berbeda dengan Polri yang hingga kini menangguhkan penahanan kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono dengan alasan yang bagi kita sangat mengada-ada.

Awalnya, kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono sempat ditahan pada Kamis malam 11 Februari 2016. Setelah beberapa waktu, penahanan kedua tersangka ditangguhkan dengan alasan sakit sehingga konon harus dirawat di luar tahanan. Pertanyaan kita sebagai masyarakat, bagaimana kondisi kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono saat ini? Masih sakit, sedang sekarat, ataukah sudah wafat?

Wajar bila kita mencium “bau anyir” dalam penuntasan kasus korupsi ini. Karena, kasus korupsi ini masih jalan di tempat dan berkas kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono berikut barang bukti hingga detik ini belum juga dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung dengan alasan menunggu tertangkapnya taipan korupsi Kondensat Honggo Wendratno. Sebuah alasan yang bagi kita sangat tidak logis.

Jika Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto masih tidak bertindak cepat, tentu tidak bisa dipersalahkan bila masyarakat beranggapan Polri “tidak berdaya” menangkap taipan korupsi Kondensat Honggo Wendratno dan menghadapi gerombolan Genderuwonya. Hanyalah aparat penegak hukum bernyali yang mampu menuntaskan kasus Kondensat yang merugikan negara Rp 37 Triliun ini, dimulai dengan melimpahkan berkas kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono kepada Kejaksaan Agung.

Kalau KPK saja berani “menggoyang” taipan “Agung Podomoro Land” pada kasus suap Reklamasi Teluk Jakarta, “Lippo Group” dalam kasus suap Meikarta Cikarang, dan “Sinar Mas” dalam kasus suap limbah sawit Danau Sembuluh, lalu mengapa Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto masih setengah-setengah dalam menuntaskan kasus Kondensat ini? Padahal berkas korupsinya sudah dinyatakan lengkap (P21) yang berarti jelas pelanggaran hukumnya, jelas tersangkanya, jelas kerugian negaranya. Maka, Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto harus terbuka kepada masyarakat dan jangan ada yang ditutup-tutupi. Jangan mengulur-ulur waktu!

Padahal yang kita tahu, Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto dikenal berani dan tegas. Misalnya saat menjabat sebagai Kapolda Kalimantan Barat dan Dir. Tipideksus Polri:

- Penegakkan hukum kasus penggelapan sekitar 1.535 sertifikat Petani Sawit di Ketapang.
- Penegakkan hukum kasus patgulipat antara mafia penyelundup dan cukong dengan oknum penegak hukum di Kalimantan Barat.
- Penegakkan hukum kasus gula selundupan yang melibatkan The Iu Sia alias Asia dan Tan Kiam Lim alias Alim.
- Penegakkan hukum kasus mark up anggaran telekomunikasi Polda Kalimantan Barat tahun 2011-2014 yang melibatkan AKBP Eddy Triswoyo mantan Kabid TIK Polda Kalimantan Barat.
- Penegakkan hukum kasus Gayus Tambunan.
- Penegakkan hukum kasus pembobolan Bank Citibank yang melibatkan Malinda Dee.
- Penegakkan hukum kasus Bank Century.
- Penegakkan hukum kasus suap mafia penyundup gula dan barang impor dari Tiongkok yang melibatkan oknum Bea Cukai di Entikong.

Dengan melihat fakta-fakta tersebut, maka sangat disayangkan bila Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto seolah-olah “diperdaya” oleh gerombolan Genderuwo korupsi Kondensat dan pihak-pihak yang mendalanginya. Tapi, kita berharap itu tidak akan pernah terjadi.

Maka demi penegakan hukum yang profesional, akuntabel, dan non diskriminasi, kita mendesak Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Arief Sulistyanto dan jajarannya untuk segera melakukan pelimpahan kedua tersangka Raden Priyono dan Djoko Harsono berikut barang bukti kepada Kejaksaan Agung serta menangkap hidup-hidup Honggo Wendratno taipan korupsi Kondensat yang merugikan negara Rp 37 Triliun. [swr]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita