212, Gerakan Moral Yang Menakutkan Penguasa

212, Gerakan Moral Yang Menakutkan Penguasa

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Teuku Gandawan*

BENARKAH Aksi Bela Islam yang muncul pada tahun 2016 merupakan gerakan moral? Benar sekali.

Gerakan moral penegakkan hukum ini muncul karena perilaku konyol aparat dan penguasa yang berdalih macam-macam untuk menolak penegakkan hukum ketika Ahok secara terang benderang menista Almaidah ayat 51. 

Artinya Kapolri Tito dan Presiden Jokowi lah yang sebenarnya menjadi pemicu munculnya gerakan ini. Jika saja saat itu Ahok yang memegang jabatan Gubernur Jakarta segera dipidanakan sesuai hukum positif yang berlaku, maka pastilah tidak ada kebangkitan yang kita kenal dengan Aksi Bela Islam.

Apakah saat itu ada tendensi mengupayakan diadakan penegakkan hukum jalanan? Tidak ada. Bahkan ketika itu ada upaya membangun opini seolah massa ingin main hakim sendiri yakni seolah ingin menangkap sendiri Ahok. 

Tapi skenario itu gagal total. Tidak ada hasrat Aksi Bela Islam yang belakangan lebih populer dengan sebutan Aksi 212 untuk melakukan aksi main hakim sendiri. Aksi 212 tetap fokus melakukan aksi berulang kali dengan tuntutan tegas, tegakkan hukum positif yang berlaku, aparat polisi harus menangkap Ahok dan mempidanakannya. Inilah bukti fakta yang sangat tegas, Aksi 212 gerakan moral, bukan gerakan main hakim sendiri.

Ketika Aksi Bela Islam pada 2 Desember 2016 menghadirkan jumlah massa aksi yang terbesar dalam sejarah Indonesia, bahkan mungkin terbesar di dunia, barulah aparat dan pemerintah berpikir ulang bahwa tuntutan itu tak bisa dibendung lagi. Tak ada pilihan lain selain segera mempidanakan Ahok. Hasilnya kita sudah sama tahu, Ahok terbukti secara sah menista atau melakukan penodaan agama dan karenanya dihukum dengan vonis 2 tahun penjara.

Lalu kenapa Aksi 212 tidak bubar setelah Ahok dipenjarakan? Karena faktanya sepanjang masa persidangan Ahok hingga saat ini, bukannya muncul kesadaran tentang menghentikan penistaan agama, melainkan malah terus menerus muncul berbagai bentuk penistaan yang sebagian besar mendapat pembiaran dari aparat dan pemerintah. Artinya gerakan moral ini menangkap pesan kuat bahwa pemerintah yang berkuasa saat ini memang tidak punya sikap pembelaan atas umat beragama.

Situasi tambah buruk ketika pemerintah malah getol menonjolkan apa yang mereka sebut "Islam nusantara". Sesuatu yang bertentangan dengan esensi Islam yang ada di seluruh dunia yakni menjaga betul kondisi keasliannya nilai-nilai ajarannya sesuai dengan Quran dan Hadits yang memang faktanya turun di Arab dan menggunakan Bahasa Arab. Upaya mengenalkan "islam nusantara" sangat mirip dengan kejadian deislamisasi Turki oleh Mustafa Kamal Ataturk atau deislamisasi Aceh oleh Christian Snouck Hurgronje. Padahal Islam adalah Islam, tidak ada yang namanya "Islam nusantara".

Lalu Umat Islam malah disodori fakta tentang orang gila yang menyerbu masjid-masjid di subuh hari. Seolah hendak menunjukkan bahwa bisa jadi Novel Baswedan diserang orang gila, sebagaimana para ustaz diserang orang gila di masjid-masjid. Akal waras umat menolak. 

Bagaimana mungkin ada orang gila yang terencana membawa air keras, membawa golok, menyerang hanya masjid atau orang pulang dari masjid dan pada jam-jam tertentu saja. Akal waras kita menyatakan ini kerjaan terstruktur yang dikemas dengan sebutan serangan orang gila. Yang gilanya, berakhir begitu saja seolah memang pantas berhenti begitu saja karena pelakunya orang gila. Orang gila yang konyolnya besok pada Pemilu 2019 justru akan diberikan hak menjadi pemilih. Artinya "ada kegilaan lain" dalam tata kelola hukum dan demokrasi kita saat ini.

Sementara di sosial media upaya terus memecah belah rakyat untuk terus saling berhadapan tak ada tanda-tanda akan mereda. Malah muncul anjuran agar siap berkelahi. Muncul juga pernyataan-pernyataan agar jangan membuat hoax sambil terus menyebar hoax. 

Jaga persatuan sambil terus membiarkan preman-preman bertingkah seenak di kawasan vital seperti bandara. Jaga kerukunan beragama sambil membiarkan pihak-pihak tertentu dan aparat melarang diadakannya pengajian dan tablig akbar. Semua ini terjadi di luar isu tentang Habib Rizieq Shihab (HRS) yang terus dijadikan sasaran berbagai upaya penangkapan karena dianggap sebagai tokoh sentral Aksi 212. Dan ada banyak hal-hal lain yang jika diulas bisa membuat tulisan ini berubah menjadi buku jika diteruskan.

Intinya, ada perilaku yang begitu buruk dalam mengelola negara ini terkait dengan urusan agama dan kerukunan antar umat beragama. Urusan agama dikelola begitu buruk. 

Padahal kehidupan beragama adalah pondasi dasar keberadaan bangsa dan negara ini. Pancasila dan UUD kita sangat kental didominasi cara berpikir keagamaan, karena justru memang para tokoh politik beragama yang sangat radikal yang dahulu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

Tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan kita baik secara fisik maupun politis adalah para ideolog yang spirit berkelahinya luar biasa hebatnya, karena mereka diwarnai ajaran agama masing-masing. Mereka bersatu dan berkelahi melawan penjajah. Mereka bersatu, bukan berpecah belah dan saling hina. Mereka saling memuliakan agama satu sama lain dan menjadikannya sebagai spirit persatuan untuk kemerdekaan Indonesia.

Inilah yang dirindukan Umat Islam dengan Aksi 212. Gerakan moral untuk mengembalikan Indonesia yang satu. Indonesia yang umat beragamanya saling toleran satu sama lain, bukan saling nista satu sama lain. Bukan teriak saat diinjak dan berlagak bodoh ketika menginjak. Kita tidak butuh umat beragama yang saling injak. Kita tak perlu saling injak, karena kita tak mungkin bersatu kalau saling injak apalagi kalau disiapkan untuk saling berkelahi.

Kabar baiknya hari ini adalah semakin banyak Umat Islam yang mendukung Gerakan Moral 212. Bukan hanya itu, semakin banyak pula Umat Non-Islam yang juga mendukung Gerakan Moral 212. 

Yang menjadi tanda tanya, kenapa gerakan moral ini membuat resah dan panik penguasa? Kenapa penguasa sibuk memerintah aparat agar sedapat mungkin meredam berkumpulnya para rakyat yang melakukan gerakan moral kebaikan? Kenapa malah bergentayangan spanduk-spanduk kebencian atas Aksi 212? Kenapa ada kelompok yang bisa berbicara di Polda Metro Jaya dengan mengancam-ancam soal bendera tauhid dan Aksi 212? Ketakutan apa ini? Takutkah penguasa dan aparat jika rakyat semakin bermoral? Apakah penguasa dan aparat tidak suka jika moral bangsa ini terjaga?

Perlukah penguasa dan aparat menghambur-hamburkan uang rakyat dengan alasan menjaga keamanan Aksi 212 yang selalu berjalan damai? Jika aparat mencium akan ada pihak yang merusak kedamaian Reuni 212, kenapa tidak segera pihak tersebut diciduk saja? Kenapa malah rencana kegiatan 212 yang dihambat? Bahkan faktanya, tidak ada rencana people power pada Reuni 212. Semua sepakat, pergantian kepemimpinan nasional akan kita lakukan bersama pada 27 April 2019, bukan pada 2 Desember 2018. Susunan acara Reuni 212 sangat terbuka dan terang benderang. Bahkan jadwal berakhir acara pun jelas dan tegas.

Jika Reuni 212 adalah murni gerakan moral untuk kembali beragama dalam mengelola negara, lalu ketakutan apa sebenarnya yang ada di benak penguasa dan aparat? Takutkah mereka jika rakyat melakukan konsolidasi moral? Kenapa? [rmol]


*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Strategi Indonesia 

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA