Turun dari Mobil ke Markas Marinir, Lapor Kejadian G30 S/PKI

Turun dari Mobil ke Markas Marinir, Lapor Kejadian G30 S/PKI

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Alpiah Makasebape, perempuan 81 tahun asal Sangihe, merupakan mantan pengasuh Ade Irma Suryani Nasution. Meski sudah tua, dia mampu mengingat jelas masa 53 tahun silam itu.

Laporan: Sriwani Adolong, SANGIHE

SAMPAI sekarang Alpiah Makasebape masih belum percaya dia dipilih menjadi pengasuh Ade Irma, putri bungsu Jenderal Abdul Haris Nasution, yang menjadi salah satu korban tewas dalam peristiwa Gerakan 30 S/PKI.

Perempuan yang biasa disapa Oma Tintang ini mengisahkan, dirinya sejak usia muda sudah meninggalkan kampung halaman untuk meringankan beban orang tua. Mulai dari yang terdekat, Kota Tahuna, lanjut ke Manado, Makassar, dan Jakarta.

Di sini, Oma Tintang bergabung dengan Yayasan Tilaar yang menampung serta menyalurkan tenaga-tenaga perawat handal. Maklum, sebelum merantau, dia sempat bekerja di Rumah Sakit Umum Liun Kendage, Tahuna, selama beberapa tahun. Takdir pun mempertemukan Oma dengan keluarga Nasution.

Dari sekian banyaknya nursing home, perempuan asal Sangihe yang kala itu tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia ini, dipercayai menjadi seorang pengasuh anak bangsawan. Sekira Maret 1960, kira-kira dua minggu setelah Ade Irma lahir (19 Februari 1960), Johana Sunarti Nasution mencari calon pengasuh buat putri keduanya di Yayasan Tilaar. Terpilihlah Oma Tintang.

Keraguan sempat muncul karena dia tidak percaya diri. Tapi, kebaikan hati Johana, serta jiwa mengayomi dari Jenderal Nasution saat dia mulai bertugas, membuat kepercayaan dirinya muncul. Dia pun menjadi sangat akrab dengan orang-orang yang tinggal di Jalan Teuku Umar No 40, Menteng, Jakarta Pusat, rumah kediaman Keluarga Nasution, termasuk puteri pertama mereka, Hendrianti Sahara (Yanti) dan Lettu Czi Pierre Andries Tendean, ajudan Nasution.

“Saya merasa bangga karena bisa menjaga anak perempuan yang sudah saya dianggap sebagai putri sendiri," kisah perempuan kelahiran Tamako, 25 Desember 1936 ini.

Saking cintanya dengan budaya Sangihe, dia menyisipkan budaya Sangihe dalam pola asuhnya ke Ade Irma dan Yanti.

"Nama Ade sebenarnya hanya Irma Suryani Nasution. Namun karena di Sangihe budaya menghargai sangat besar, jadi saya mengajarkan keduanya untuk saling panggil kaka dan ade. Tak disangka nama tersebut melekat hingga Ade menutup matanya," kenang istri Bernal Mudingkase ini.

Saat peristiwa naas itu, Alpiah berumur 25 tahun. Dia menceritakan, tiga minggu sebelum Ade Irma meninggal sudah ada firasat buruk. Kadang suka menangis tanpa sebab dan juga tidak suka makan. “Usai peristiwa tragis menimpa Ade, kami langsung membawanya ke rumah sakit,” lanjutnya.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Alpiah turun dari mobil. “Saya kemudian pergi ke markas marinir untuk melaporkan kejadian yang terjadi di rumah Pak Nasution," tuturnya sambil meneteskan air mata saat mengingat tentang Ade Irma.

Untuk mengenang saat-saat itu, dia mengoleksi foto keluarga Nasution dan Ade Irma. “Saya kembali ke sini (Sangihe, red) tahun 1969. Namun komunikasi dengan Pak Nasution, Ibu Johana dan Yanti masih terjalin,” tukasnya.[jpnn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita