Elite PDIP dan Gerindra Memanas Gara-gara Saham Freeport

Elite PDIP dan Gerindra Memanas Gara-gara Saham Freeport

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Hubungan elite PDI Perjuangan dengan Gerindra terkait proses divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) kian memanas. Ini setelah Hasto Kristiyanto mencurigai manuver Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu di Senayan.

Hasto yang juga sekretaris Tim Kampanye Nasional Joko Widodo - KH Ma’ruf Amin (TKN Jokowi - Ma’ruf) menduga Partai Gerindra punya agenda tersembunyi melalui kritik soal divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) ke PT Inalum. Termasuk dengan menggelar rapat di Komisi VII DPR dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Dirut PT Inalum dan Dirut PTFI, karena membawa agenda tertentu.

Menanggapi tudingan Hasto, Gus Irawan justru menduga jika elite partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu tak paham dengan persoalan yang terjadi dalam kaitan divestasi saham perusahaan tambang yang beroperasi di Papua itu.

"Ini kan Hasto yang kasih pandangan. Saya enggak tahu, Hasto ini ngerti enggak soal ini. Ya karena seolah-olah minta supaya Gerindra mendukung penguasaan Freeport, konsisten dengan pasal 33 UUD 1945, gitu kan. Kami memang sangat konsisten. Gerindra itu semangatnya ya pasal 33," ucap Gus dikonfirmasi pada Sabtu (20/10).

Dia kukuh bahwa sikap kritisnya dalam memandang divestasi saham PT Freeport dalam rangka mengingatkan pemerintah terhadap dua hal. Pertama, faktanya opini yang terbangun di publik bahwa Indonesia telah menguasai 51 persen saham Freeport.

"Tapi faktanya kan belum sama sekali. Ini terungkap dari pernyataan dirut PT Inalum sebagai BUMN holding tambang, kan belum ada sama sekali pembayaran (divestasi)," tegas Gus.

Itu sebabnya DPR mengingatkan dalam rapat pekan lalu dengan jajaran Kementerian ESDM, Dirut Inalum maupun PTFI. Pasalnya, ada temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas audit terhadap Freeport.

"Kan temuan itu jelas, ini BPK ini adalah auditor negara, diatur konstitusi negara, UUD 1945 dan UU tentang BPK. Bukan audit abal-abal," lanjutnya.

Dia pun menyinggung kembali bahwa audit BPK menyatakan ada ekosistem yang dikorbankan, rusak akibat pertambangan PTFI. Nilainya tidak tanggung-tanggung, mencapai USD 13,59 miliar. Kalau mengacu kurs rupiah pada saat audit dilakukan, yakni Rp 13.224 per dolar, nilainya setara 185 triliun. Jika kurs saat ini sudah mencapai Rp 210 triliun.

"Nah, kami ingatkan, apakah due diligence (uji penilaian) yang dilakukan oleh pemerintah itu sudah mempertimbangkan, ada lo ini kerusakan lingkungan yang wajib direhabilitasi oleh PT Freeport," jelasnya.

Gus pun menghitung, kalau BUMN harus mengeluarkan uang USD13,85 miliar untuk mengakuisisi 51 persen saham PTFI, bila dirupiahkan nilainya sekitar Rp 57 triliun. Artinya value dari PTFI itu hanya sekitar Rp 120 triliun. Bila satukan antara value tersebut dengan kewajiban Rp 210 triliun untuk merehabilitasi lingkungan, masih ada kekurangan sekitar Rp 90 triliun.

Nah, ketika BUMN masuk membeli saham PT Freeport, nanti pada saat merehabilitasi lingkungan Freeport tidak punya uang Rp 210 T, misalnya, maka dia akan minta pada pemegang saham. Maka di sini negara melalui BUMN akan menanggung beban terbesar.

"Berarti Indonesia kalau sudah menguasai 51 persen itu, kan berarti menanggung 51 persen, gitu lho. Tapi, semuanya bermuara pada, jangan dibangun opini yang tidak benar. Itu intinya sebetulnya.

Justru kalau mau bijak dan tanpa mengeluarkan uang US13,85 miliar atau Rp 57 triliun, maka tunggu saja jatuh tempo kontrak PTFI pada 2021. Apalagi negara masih punya tagihan Rp 210 T. Maka sekarang tinggal dipaksa PTFI memperbaiki lingkungan yang rusak itu. Begitu berakhir kontraknya, putuskan jangan diperpanjang lagi.

"Tapi apa dinyatakan Hasto itu, ya saya jauh lebih mengertilah dari beliau, beiau kan tidak di komisi tujuh. Perlu dicatat, waktu diakui PT Inalum belum ada pembayaran sepeser pun, kawan-kawan dari fraksi PDIP pun, ya berarti selama ini pembohongan publik ini, begitu kok komentarnya. Ini pembohongan publik. Itu lhio komentar teman-teman di Komisi VII termasuk yang dari fraksi PDIP juga," tutur mantan ketua Komisi XI DPR i.

Gus menambahkan, dia paham bahwa dalam proses divestasi ada tahapan yang harus dilalui. Baik itu due diligence, lalu head of agreement (HOA), divestment agreement serta sale and purchase agreement. Namun yang dituntut adalah kejujuran bahwa tahapan itu masih berproses dan saham PTFI belum dikuasai.

"Jangan dibangun opini bahwa ini negara atau pemerintah Indonesia sudah menguasai 51 persen saham. Itu yang kami minta jujur," tandasnya. [jpnn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita