Rupiah Terparah Sejak Krismon, IHSG Terburuk di Asia

Rupiah Terparah Sejak Krismon, IHSG Terburuk di Asia

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,19% pada akhir sesi 1 ke level 5.947,35. Pergerakan IHSG senada dengan bursa saham kawasan Asia lainnya yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,08%, Indeks Shanghai turun 0,08%, indeks Hang Seng turun 0,91%, indeks Strait Times turun 0,18%, indeks SET (Thailand) turun 0,35%, dan indeks KLCI (Malaysia) turun 0,05%. Walaupun sama-sama memerah, performa IHSG merupakan yang terburuk.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 2,96 triliun dengan volume sebanyak 4,29 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 156.031 kali.

5 besar saham yang berkontribusi signifikan bagi pelemahan IHSG adalah: PT Astra International Tbk/ASII (-2,68%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,37%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,5%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,82%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-1,97%),

Rupiah yang babak belur membuat investor kabur meninggalkan pasar saham tanah air. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,27% di pasar spot ke level Rp 14.725/dolar AS. Rupiah berada dalam posisi terlemah sejak krisis keuangan tahun 1998 silam.

Dolar AS memang sedang perkasa terhadap mata uang negara-negara berkembang di kawasan Asia. Secara berturut-turut melawan ringgit, peso, dan rupee, dolar AS menguat sebesar 0,07%, 0,07%, dan 0,32%.

Ada 2 faktor utama yang membuat dolar AS perkasa. Pertama, semakin mencuatnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali sepanjang tahun ini oleh the Federal Reserve. Hal ini terjadi pasca rilis data ekonomi yang kuat. Core Personal Consumption Expenditure AS yang disebut-sebut sebagai patokan the Fed untuk mengukur tingkat inflasi tumbuh sebesar 2% YoY pada bulan Juli, sudah sesuai dengan target inflasi the Fed yang sebesar 2%. Selain itu, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 24 Agustus 2018 diumumkan di level 213.000, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 214.000.

Faktor kedua adalah krisis nilai tukar di Turki dan Argentina. Pada perdagangan hari ini, lira melemah 1,1% melawan dolar AS di pasar spot. Sementara itu, peso anjlok hingga 12% pada perdagangan kemarin (30/8/2018).

Langkah bank sentral Argentina yang mendorong naik tingkat suku bunga acuan menjadi 60% dari yang sebelumnya 45% terbukti tidak ampuh untuk meredam pelemahan nilai tukar. Mengutip Reuters, para ekonom memang sudah lama menyuarakan pendapatnya bahwa nilai tukar peso sudah overvalue. Kini, normalisasi yang dilakukan oleh the Fed dan fundamental perekonomian yang memang tidak sehat membuat peso benar-benar tak berkutik melawan greenback.

Saat peso melemah signifikan, ada kekhawatiran utang luar negeri Argentina akan membengkak dan meningkatkan risiko gagal bayar. Per akhir Maret 2018 utang luar negeri Argentina tercatat sebesar US$ 253,74 miliar, naik 27,59% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Pada akhirnya, mata uang negara-negara berkembang ikut dilepas oleh investor, mendorong dolar AS menguat.

Selain karena pelemahan rupiah, investor enggan menyentuh pasar saham tanah air lantaran perang dagang antara AS dengan China yang kian panas. Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk baru terhadap barang-barang impor asal China senilai US$ 200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.

Sejauh ini, AS sudah 2 kali mengenakan bea masuk baru bagi produk-produk impor asal China dan keduanya sudah dibalas oleh Negeri Panda. Jika AS kembali menerapkan bea masuk baru, seragan balasan dari Beijing sepertinya menjadi tak terelakkan.

Seiring dengan berbagai sentimen negatif yang ada, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 62,9 miliar. [cnbc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita