Pengeluh Volume Azan Dibui 18 Bulan, MPR Sarankan Mediasi

Pengeluh Volume Azan Dibui 18 Bulan, MPR Sarankan Mediasi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Ahmad Basarah menghormati upaya banding yang diajukan Meiliana ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Namun, menurutnya permasalahan yang menyangkut hubungan antar umat beragama bisa diselesaikan lewat musyawarah-mufakat.

"Masalah tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, tidak harus dengan menggunakan pendekatan pidana. Sebab hukum pidana adalah pilihan atau opsi terakhir dan sering disebut juga dengan istilah Ultimum Remedium," kata Basarah, dalam keterangan tertulis, Kamis (23/8/2018). 

Menurut Basarah, setiap masalah di masyarakat tidak semestinya diselesaikan melalui jalur formil legalistik ke pengadilan. Dengan mengedepankan mekanisme musyawarah-mufakat atau yang dalam bahasa hukum disebut jalan keadilan restoratif, atau memulihkan dan mengakomodir kepentingan semua pihak demi menjaga persatuan.

Sekretaris Dewan Penasihat Baitul Muslimin Indonesia juga berharap dalam memutuskan perkara ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara agar tetap menjaga kemandirian dan berada di atas kepentingan semua golongan. Hal itu bertujuan demi menjaga persatuan dan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Idealnya tiap putusan hakim memuat tiga hal. Kepastian hukum, manfaat atau daya guna dan yang paling penting adalah keadilan bagi sebanyak-banyaknya orang. Hukum harus ditegakkan dengan adil. Jangan sampai hakim dalam memutuskan perkara dipengaruhi oleh tekanan publik," papar Basarah. 

Pada bagian lain, Basarah juga mengutip perjuangan dan sikap KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur dalam membela semua umat beragama dan kelompok manapun yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Menurutnya, Gus Dur dalam tindakan dan sikapnya selalu menunjukkan pesan Islam secara damai. Apa yang disampaikan oleh Gus Dur bukan hanya sebatas retorika, melainkan diterapkan dalam bentuk tindakan. 

"Bagi Gus Dur yang perlu dibela adalah mereka yang terancam atau mengalami penindasan di seluruh aspek hidupnya, baik politik, ekonomi, budaya dan agamanya. Dalam melakukan pembelaan, Gus Dur juga tidak memandang latar belakang suku, agama, ras dan antar golongan. Teladan inilah yang harus kita contoh dan kita ikuti," jelas Basarah.

Kasus Meiliana bisa terjadi terhadap siapapun dan dari golongan agama apa saja. Oleh karena itu, Pemerintah harus mengektifkan sistem pembinaan umat beragama di semua daerah dengan melibatkan tokoh-tokoh agama dan ormas-ormas keagamaan. Fungsi lembaga pembinaan kerukunan antar umat beragama tersebut seharusnya dapat menjadi mediator penyelesaian secara musyawarah mufakat jika terjadi perselisihan antar umat beragama di seluruh wilayah Indonesia.

Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Amal, Zakat, Infaq dan Sadaqoh Nahdlatul Ulama (LazisNU) juga meminta majelis hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang akan mengadili banding Meiliana juga memperhatikan asas perlakuan yang sama dan adil di hadapan hukum (equality before the law) dikaitkan dengan vonis delapan orang pengrusak vihara dan klenteng di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara yang berkisar antara 1,5 bulan sampai 2 bulan 18 hari. Perlakuan yang adil ini akan mampu menjaga kepercayaan masyarakat kepada marwah lembaga peradilan. [dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita