Korupsi Merajalela Tarif PLN Jadi Sangat Mahal

Korupsi Merajalela Tarif PLN Jadi Sangat Mahal

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Kasus korupsi yang mendera PT PLN dituding menjadi penyebab mahalnya tarif listrik yang dijual ke masyarakat. Bahkan para pengusaha menyebut, tarif listrik Indonesia termahal di dunia. Akibatnya rakyat juga yang harus menerima bebannya. Sejumlah kalangan mendesak semua yang terlibat korupsi di tubuh perusahaan milik Negara itu dipenjarakan.

Teranyar kasus kasus korupsi PLTU Riau-1 yang menjerat sejumlah petinggi BUMN tersebut dan petinggi negeri ini. Dalam kasus ini sejumlah orang termasuk anggota DPR dan Menteri Sosial Idrus Marham sudah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka. Idrus pun sudah menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Mensos.

Selain kasus PLTU Riau-1, Kejaksaan tengah menangani lima kasus korupsi di PLN. Diantaranya kasus PLTGU Belawan Medan, kasus korupsi PLTU Air Anyir Bangka Belitung, kasus pembangunan gardu induk unit pembangkit jaringan Jawa, Bali dan  Nusa Tenggara, serta kasus Gas Turbin PLTGU.  

Pengamat energi dari Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dan Presidium Pergerakan Indonesia Andrianto mendukung KPK untuk mengusut dugaan kebocoran di tubuh PLN. Karena bisa jadi dugaan korupsi triliunan itu membuat PLN kesulitan cashflow dan utang di luar harus dijamin pemerintah.

“Adanya kebocoran di tubuh PLN juga membuat harga jual listrik menjadi mahal. Akibatnya rakyat juga yang harus menerima bebannya. Saatnya rakyat menggugat PLN yang tidak efisien oleh praktek-praktek korupsi,” kata Yusri kepada Harian Terbit, Kamis (23/8/2018).

Menurutnya, harga listrik mahal tentu ada dugaan mark up untuk mulai pembangunan pembangkit, transmisi dan pembelian energi primernya (batubara, gas dan HSD) termasuk biaya perawatan atau over haul pembangkit. Akibat mark up membuat PLN tidak efisien.

Adanya mark up tersebut bisa dicontohkan dengan PLN yang lebih suka membeli solar untuk pembangkitnya dari trader daripada membeli ke Pertamina. Padahal saat ini  Pertamina kesulitan juga untuk menjual solarnya. "Karena kalau sesama BUMN berbisnis tanpa harus lewat trader mana bisa dikeluarkan feenya," paparnya.

Yusri menilai, untuk membuat PLN lebih efisien maka semua proses bisnisnya harus lebih transparan. Jika ada energi primer dari Pertamina (solar dan gas) maka langsung saja sinergi antar BUMN. Buang jauh-jauh di benak mereka untuk mendapatkan fee. Apalagi sudah ada Keputusan Menteri (Kepmen) BUMN semasa Said Didu menjadi Sesmen BUMN tahun 2008 dan saat ini sudah dalam Permen BUMN Nomor 4 tahun 2017.

Sapi Perah

Sementara itu pada acara diskusi terbuka kupas tuntas KKN PLN yang diselenggarakan Front Rakyat Anti Korupsi (Fraksi) di Jakarta, Kamis (23/8/2018), Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, banyak hal yang membuat PLN selalu rugi. Lewat riser yang dilakukan pihaknya sejak 2013, beberapa hal yang membuat PLN selalu merugi adalah diberlakukannya bebas PSO, Ongkos Produksi, perusahaan-perusahaan swasta, APBN turun-naik dan kebocoran anggaran.

“Ada alasan kerusakan kabel, dan yang akan menangani kerusakan ini bukan dari pihak PLN tapi outsourcing. Dari tahun 2003 sampai 2017, riset hasilnya sama. PLN menjadi beban keuangan negara," ujarnya. 

Lebih lanjut Uchok mengatakan, kerugian yang dialami juga karena PLN menjadi sapi perah dari oligarki penguasa dan pengusaha. Padahal, PLN merupakan milik negara, bukan milik penguasa atau pemerintah. PLN mestinya harus dilindungi agar tidak mengalami kerugian secara terus menerus. Ironisnya, DPR sebagai lembaga pengawas juga tidak berfungsi.

“Kita memang punya DPR untuk melakukan pengawasan, tapi itu tidak dilakukan, bahkan ada yang menjadi bagian. Seperti Eni Maulani Saragih yang terlibat dalam proyek PLTU I Riau," paparnya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) Jumadis Abda mengatakan, kerugian yang dialami PLN juga ditambah dengan adanya proyek PLN 35 ribu MW yang didominasi Independent Power Producer (IPP). Menurut dia, proyek ini sebenarnya bukan 35 ribu MW tapi bertambah menjadi 42 MW karena ada tambahan 7 MW. Namun demikian, katabdia, poyek ini jika diteruskan maka potensi kerugian PLN mencapai 147 Triliun.

“Kami sudah berkirim surat kepada Dirut PLN berkali-kali bahkan kepada Presiden mempertanyakan jika 35+7 itu diteruskan maka potensi kerugian ada pada PLN Rp147 triliun,” jelasnya.

Lebih lanjut Jumadis mengatakan, PLN adalah perusahaan yang skala besar namun kontrol dari KPK sangat lemah. Karena disaat nilai dolar AS relatif stabil, tapi dalam waktu sekitar dua puluh tahun harga Iistrik PPA melonjak sekitar 100% dihitung dengan kurs dolar AS. Dengan data-data ini mestinya DPR RI memerintahkan BPK/BPKP untuk mengaudit kontrak IPP yang ada saat ini.

Oleh karena itu, sambung Jumadis,wacana proyek pembanskit 35 ribu MW yang tiba- tiba muncul pada akhir tahun 2014 pada kenyataannya tidak didukung dengan RUPTL sebelumnya. Secara perhitungan kebutuhanpun yang didasarkan atas pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5% pertahun, dan dmulai dengan kapasitas terpasang sekitar 55 ribu MW (total PLN dan IPP ) pada akhir 2014, maka kebutuhan tambahan pembangkit sampai akhir tahun 2019 hanya maksimum 20 ribu MW.

Dari data yang ada yaitu Statistik ESDM 2016 (dahulu Statistlk PLN ) total kapasitas terpasang (PLN dan IPP) sampal akhir 2016 adalah sebesar 59.656.30 MW. Artinya selama dua tahun hanya ada penambahan kapasitas sekitar 5 ribu MW (atau rata-rata 2.500 MW pertahun) atau selama lima tahun (akhir 2019) hanya dibutuhkan 2.500 x 5 atau 12.500 MW bukan 35.000 MW. Artinya bila dipaksakan membangun 35 ribu MW maka akan terjadi over supply sebesar 22.500 MW. 

Bayangkan kapasitas sebesar itu yang tidak terpakai, tetap dibayar listriknya sebesar 70% setiap harinya( karena Take 0r Pay Clause dalam PPA) berapa triliun rupiah pertahun ineffisiensi dari proyek 35 ribu MW ini. Apalagi beberapa bulan yang lalu Dirut PLN Sofyan Basir menyatakan bahwa PLN saat itu telah over supply 30%. TerIepas benar tidaknya statement Sofyan Basir diatas maka bila dikaitkan dengan perencanaan 35 ribu MW menjadi tidak,”nyambung”. Karena wacana proyek yang baru dimunculkan pada akhir 2014 dengan forecasting tambahan kebutuhan Iistrik pada 2019 sebesar 35 ribu MW tiba-tiba pada awal 2018 PLN sudah teriak teriak over supply 30%.

Dengan demikian maka keinginan untuk menciptakan proyek 35 ribu MW adalah perilaku tidak effisien. Selain itu kecenderungan ineffisiensi berikutnya secara signifikan adalah keberadaan EPC (Engineering Procurement Construction)/ Turn Key Project. Hal ini terjadi mengingat terwujudnya sebuah konstruksi(contoh yang ada adalah PLTU)diborongkan mulai dari survey investigasi, pra design, detail design, procurement, dan pelaksanan konstruksi ke sebuah Main Contractor.

Termahal

Sebelumnya kalangan industri pengguna gas bumi mengeluhkan mahalnya tarif listrik di Indonesia. Bahkan, tarif listrik Indonesia dinilai paling mahal di dunia dibandingkan negara lainnya.

"Kondisi 2014 lalu tarif listrik hampir semua golongan naik. Sekarang tarif listrik di Indonesia USD11 cent per Kwh. Bahkan di beberapa daerah sudah 12 cent. Ini harga paling mahal di dunia," keluh Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi, Achmad Safiun, dalam diskusi tata kelola gas, di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, Rabu (7/1/2015).

Berikut tarif listrik di beberapa negara:
1. Amerika Serikat (AS) USD3 cent per kwh.
2. Bangladesh USD3 cent per kwh.
3. Vietnam USD7 cent per kwh.
4. Malaysia USD6 cent per kwh.
5. Pakistan USD6,6 cent per kwh.
6. Korea Selatan USD6 cent per kwh.
7. Indonesia USD11 cent per kwh.

Dibantah

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah informasi bahwa tarif tenaga listrik (TTL) di Indonesia merupakan yang termahal di dunia.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana di Jakarta, Selasa menjelaskan Tarif Tenaga Listrik (TTL) di Indonesia bukanlah yang termahal di dunia, bahkan termasuk murah dan kompetitif untuk kawasan ASEAN.

Lebih lanjut ia mamaparkan data Mei 2017 yang menyebutkan bahwa TTL untuk golongan rumah tangga di Indonesia sebesar Rp1.467 kWh. Tarif ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Filipina sebesar Rp 2.359 per kWh, Singapura Rp 2.185 per kWh dan Thailand sebesar Rp1.571 per kWh. "Hal ini menepis anggapan bahwa tarif tenaga listrik di Indonesia adalah yang termahal di dunia," kata Dadan. [htc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita