Koalisi Pemantau Infrastruktur Desak Pemerintah Batalkan Utang Bank Dunia

Koalisi Pemantau Infrastruktur Desak Pemerintah Batalkan Utang Bank Dunia

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pada 18 Juli 2018 lalu International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dari World Bank Group menyetujui utang baru untuk Program Percepatan Reforma Agraria (Kebijakan Satu Peta) dengan biaya sebesar USD 240 juta, di mana USD 200 juta berasal dari World Bank dan USD 40 juta dari pemerintah Indonesia. Proyek akan berlangsung sampai tahun 2023.

Pembiayaan utang baru sebesar USD 200 juta dari Bank Dunia di bawah Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR/BPN) sungguh tidak dapat ditolerir. Karena bisa dipastikan proyek akan masuk katagori tidak efektif atau bad loan.

"Benar untuk kepentingan reforma agraria diperlukan one map policy sehingga tumpang tindih klaim atas lahan dapat dihindari di tingkat pemerintah, dan masyarakat dapat memantau penataan tapal batas lahan dan klaim atas lahan di atas lahan yang mereka kuasai. Sehingga memang pemetaan lahan perlu dengan memakai prinsip partisipasi. Namun, proyek yang memiliki tiga komponen utama ini hanya bagus di judul dan tujuan saja tapi tidak pernah dijelaskan bagaimana proyek dijalankan," papar Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia kepada wartawan, Selasa (24/7).

Menurutnya, utang dari Bank Dunia sekaligus menjadi bukti bahwa pemerintah belum siap melakukan legalisasi dan redistribusi aset melalui program Tanah Objek Reforma Agrari (TORA) dengan menggunakan dana APBN karena harus bergantung pada utang luar negeri.

"Beban utang baru ini sekaligus diindikasi sebagai strategi untuk memecah kekuatan publik yang sudah mulai tersadarkan dengan bahaya laten utang luar negeri. Logikanya bahwa Bank Dunia melalui pemerintah pusat dengan sengaja mau menjebak rakyat dengan dua pilhan yaitu menerima utang dan dapat sertifikat tanah atau tolak utang dan tidak dapat sertifkat," jelas Arimbi.

Hal lain, dengan menyetujui skema utang untuk Program Percepatan Reforma Agraria sekaligu membuktikan pemerintah benar-benar mengekor ideologi neoliberal dan menjadikan tanah sebagai barang komersial yang tidak sejalan dengan semangat reforma agraria bahwa tanah adalah hak. "Pemerintah juga harus sadar bahwa Bank Dunia juga berkontribusi atas praktik perampasan tanah melalui pembiayaan yang diberikan terhadap proyek-proyek infrastruktur dan investasi berbasis lahan," ujar Arimbi.

Alokasi utang terbesar sebesar USD 162 juta ada pada komponen satu dengan judul "participatory mapping agrarian reform" yang tujuannya antara lain untuk menghasilkan peta perbatasan, merekam semua klaim atas lahan, dan memfasilitasi aturan hak-hak atas lahan dan registrasi ke dalam sistem administrasi lahan elektronik.

"Kami memandang bahwa tujuan dari komponen satu adalah sangat baik, namun cara untuk mencapai tujuan itu tidak pernah dijelaskan dengan baik, sehingga potensi untuk gagal sangat tinggi. Karena selama ini memang tugas Kementerian ATR/BPN yang harus melakukan pendataan hak atas tanah termasuk penataan batas tanah. Mengapa baru sekarang dilakukan ketika program reforma agraria sedang bergulir," beber Arimbi.

Selain itu, dalam komponen satu juga tidak pernah dijelaskan bagaimana suatu proses yang participatory akan dijalankan. Apalagi Kementerian ATR/BPN terbukti tidak pernah menunjukkan itikad baik dalam hal transparansi dari operasinya. Contohnya, dalam kasus hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit, Kementerian ATR/BPN tak kunjung membuka data ke publik, padahal sudah ada Putusan Mahkamah Agung No 121 K/TUN/2017 yang memenangkan gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) atas Kementerian ATR/BPN.

"Utang baru ini akan terus berjalan sampai tahun 2023 melebihi masa jabatan menteri yang menyetujui utang. Karena itu, sudah sewajarnya utang ini dibatalkan dan agar Kementerian ATR/BPN bertobat untuk melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah 17/2015," demikian Arimbi. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita