Suteki: Pembubaran HTI Seperti Vandalisme, Hantam Dulu Lalu Urusan Belakangan

Suteki: Pembubaran HTI Seperti Vandalisme, Hantam Dulu Lalu Urusan Belakangan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Belakangan pria ini men­jadi perbincangan masyarakat menyusul pendapatnya yang terkesan membela paradigma perjuangan organisasi massa Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kerap menggaung­kan semangat khilafah.

Suteki berpendapat, khila­fah tidak bertentangan dengan Pancasila. Sebab sila pertama Pancasila jelas menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan bentuk pengamalan dari sila itu, negara memberikan hak kebebasan bagi setiap warganya untuk memeluk agama yang disahkan di Indonesia salah sa­tunya adalah Islam. Sementara khilafah merupakan salah satu dari ajaran Islam. Sehingga menurut Suteki, setiap orang ataupun organisasi yang berpan­dangan khilafah tidak melanggar Pancasila.

Selain itu, dia juga menilai, kebijakan pemerintah mem­bubarkan HTI tanpa melalui proses peradilan tidak tepat. Kedua pendapat itu juga di­paparkan Suteki saat didapuk oleh tim pembela HTI sebagai saksi ahli baik di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun di persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Akibat pandangannya itu, Suteki dicap anti-NKRI. Dia terancam dipecat dari posisinya sebagai dosen. Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) M Nasir me­merintahkan rektor Universitas Diponegoro (Undip) secepatnya menelusuri perilaku Suteki. Apabila terbukti anti-NKRI maka Suteki diminta memi­lih tetap di NKRI atau keluar. Perintah pembantu Presiden Jokowi itu langsung ditindak­lanjuti rektor Undip dengan menyidangkan Suteki dengan dugaan pelanggaran etik. Pada Rabu (6/6) jabatan Suteki di Undip dinonaktifkan sementara melalui SK Rektor No. 223/UN7.P/KP/2018. Bagaimana Suteki menanggapi keputusan itu? Berikut pernyataan Suteki kepada Rakyat Merdeka.

Bisa dijelaskan kronologis penonaktifan jabatan Anda dari Undip?

Ya ada Surat Keputusan Nomor 223 oleh rektor Undip karena saya diduga telah melaku­kan beberapa pelanggaran. Ada panggilan disiplin kode etik untuk kepentingan pemeriksaan. Kemudian saya dibebastugaskan sementara dari tiga jabatan yang telah diamanahkan kepada saya. Pertama Kepala Prodi Magister Ilmu Hukum Undip, kedua Senat Fakultas Hukum Undip, dan ketiga anggota senat akademik universitas.

Tapi Anda tidak dinonaktif­kan dalam mengajar toh?

Tidak, saya tidak diberhenti­kan dari mengajar. Jadi status pegawai negeri sipil dan juga guru besar masih tetap saya pegang.

Kabarnya status Anda sebagai pegawai negeri juga akan dicabut ya oleh Menristekdikti?

Beberapa hari lalu Pak Menteri memang menyatakan be­gitu. Saya pun kaget dengan dua pernyataan itu. Beliau kan mengatakan posisi saya ting­gal dua kemungkinan atau pi­lihan, yaitu diberhentikan atau mungkin turun pangkat. Jelas saya kaget lho kenapa sampai seperti ini. Pemeriksaan saja belum selesai. Kenapa saya tidak diajak untuk diskusi, misal­nya di tingkat kementerian, baik itu Kemenristekdikti atau Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara, mengin­gat yang berhak menjatuhkan sanksi kepada saya itu kemen­terian. Lantaran saya golongan IV d maka sanksi kepada saya itu dijatuhkan oleh kementerian, meskipun saya tidak tahu persis kementerian yang mana.

Lho memang sejauh ini Undip belum pernah menyi­dangkan dugaan pelanggaran yang Anda lakukan itu?

Sebelumnya kan ada sidang Dewan Kehormatan Kode Etik yang telah dilakukan. Terus Rabu (6/5) itu ada sidang di­siplin oleh tim pemeriksa yang diketuai wakil rektor dua. Kemudian mereka menduga saya pendukung HTI. Mungkin tidak hanya status di medsos saya tapi termasuk video-video yang saya upload. Semacam video di Mahkamah Konstitusi dan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang mereka nilai saya pendukung HTI.

Apakah dari status dan video tersebut Anda memang berniat mendukung HTI?

Oh tidak ada, itu saya hanya sebagai ahli. Tidak mungkin saya sebagai ahli diundang oleh pihak tertentu terus argumen­tasi saya tidak dibangun sesuai dengan apa yang dibantahkan dan direalisasikan oleh pihak tersebut. Masa saya ahli lantas langsung dikatakan HTI.

Saat diminta sebagai saksi ahli di persidangan HTI baik di MK maupun di PTUN yang menanyakan argumentasi Anda itu apakah hanya pihak HTI saja?

Yang bertanya argumen saya bukan hanya penasihat hukum dari HTI tapi juga penasihat hukum dari pemerintah. Artinya dua-duanya menanyakan argu­men saya yang berbasis pada keilmuan. Prinsipnya saya bu­kan anggota HTI. Apalagi hal ini diakui oleh Prof Yusril Ihza Mahendra yang menegaskan Prof Suteki bukan anggota HTI.

Sekjen HTI juga mengatakan saya bukan anggota HTI. Lantas saya mau membuktikan apalagi. Aneh kalau orang menuntut lalu mengklaim bahwa saya ini dan itu. Prinsip saya siapa yang men­dalilkan maka dia yang harus membuktikan.

Jadi argumentasi yang Anda sampaikan itu hanya sebatas kapasitas keilmuan Anda saja, bukan lantaran Anda sebagai bagian dari HTI?

Iya betul. Dasar saya keilmuan tentang Pancasila, hukum, dan masyarakat. Juga sedikit saya paham tentang hukum tata neg­ara karena disertasi saya begitu. Bahkan saya mengajar Pancasila mesti belajar tata negara. Jadi dengan prinsip negara hukum maka cara pencabutan badan hukum HTI itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang harus melalui due proses of low.

Maksudnya?

Ya harus ada peradilan khusus yang menilai bahwa ormas HTI atau ormas lain yang ditengarai melakukan penyimpangan dini­lai di pengadilan. Jadi bukan dipukul dulu kemudian disuruh minggat.

Terus kalau tidak terima sila­kan ke PTUN. Kalau seperti itu menurut keilmuan itu namanya vandalisme. Artinya hantam du­lu kemudian urusan belakangan. Menurut saya ini tidak sesuai Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

Karena alasan tersebut Anda bersedia jadi ahli HTI?

Iya betul jadi bukan tanpa ala­san saya menjadi ahli HTI.

Kalau di HTI sendiri Anda pernah mengikuti acaranya?

Tidak pernah. Kalau di masjid-masjid saya mengikuti pengajian itu bebas di mana saja. Tidak ada batasan. Kita sebagai umat Islam diwajibkan untuk belajar. Tapi saya tidak pernah mengikuti per­kumpulan HTI atau mempelajari kitab-kitabnya pun sama sekali tidak pernah.

Anda kenal dengan sejum­lah tokoh HTI seperti Ismail Yusanto?

Kenalnya akhir-akhir itu waktu saya diminta jadi ahli. Sebelumnya saya tidak pernah kenal. Lantaran diminta jadi ahli otomatis pernah ketemu dong.

Secara prinsip Anda tidak setuju HTI dibubarkan?

Begini, saya tidak setuju proses pencabutan. Artinya ormas mana pun bukan hanya HTI. Sebab ini hak konstitutional. Kalau hak konstitutional juga harus mem­batasinya maka mencabutnya juga harus konstitutional, pakai proses namanya. Ini kan sedang diusung oleh pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Hal ini ada semua kok. Cuma waktu itu kan maunya pemer­intah simpel atau cepat dan tidak melalui prosedur berbelit-belit dan tidak melalui proses peradilan. Kemudian pemerintah hanya melakukan asas contrarius actus.

Asas ini berprinsip siapa yang mengeluarkan maka dia yang berhak mencabut. Kalau di undang-undang sebelumnya memang yang mencabut itu yang mengeluarkan. Namun yang mencabut harus melalui proses peradilan. [rmol]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA