Baru Sekarang Temui Keluarga Korban HAM, Nasir Djamil Sebut Pencitraan Jokowi Jelang Pilpres

Baru Sekarang Temui Keluarga Korban HAM, Nasir Djamil Sebut Pencitraan Jokowi Jelang Pilpres

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Satu tahun menjelang berakhirnya masa jabatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kedatangan para keluarga korban pelanggaran HAM di Istana Merdeka, Jakarta pada Kamis (31/5). Namun pada pertemuan itu, Jokowi tidak didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto dan Jaksa Agung Prasetyo.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Nasir Djamil menyoroti pertemuan tersebut. Menurutnya para aktivis HAM banyak yang kecewa karena janji-janji Presiden Jokowi terkait dengan penegakan HAM itu banyak melesetnya. Bahkan, pertemuan tersebut dinilai lebih condong kepencitraan dibanding menyelesaikan masalah HAM yang menjadi salah satu janji kampanyenya.

"Pertemuannya dengan korban pelanggaran HAM yang setiap Kamis menggelar aksi di depan Istana lebih kepada pencitraan ketimbang ingin menyelesaikan tuntutan para pengunjuk rasa yang sejak Jokowi jadi presiden hingga sekarang tidak jelas alias gelap," jelas Nasir Djamil, saat dihubungi melalui pesan singkat, Jumat (1/6).

Nasir melanjutkan, karena itu setelah empat tahun di Istana Negara lalu presiden menemui mereka maka ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi sedang mempolitisasi isu HAM. Hal itu dilakukannya untuk mendapat simpati dari pegiat HAM. Bahkan Nasir Djamil mengatakan, selama pemerintahan Jokowi perlindungan dan penegakan HAM boleh dikatakan jeblok.

"Menjelang pilpres tentu kandidat yang akan maju melakukan berbagai kegiatan yang boleh dikatakan sebagai pencitraaan, tidak terkecuali Presiden Joko Widodo," ujar Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Sebelummya, juru bicara presiden, Johan Budi menyampaikan bahwa dalam pertemuan itu Jokowi ingin mendengarkan permintaan dari keluarga korban. Menurutnya, pertemuan Jokowi dengan keluarga korban pelanggaran HAM sebenarnya sudah digagas sejak lama.

"Pertemuan ini lebih banyak Presiden ingin mendengar dulu. Tapi pertemuan singkat, tidak bisa dijelaskan secara detail," kata Johan.

Kemudian meski tidak didampingi Wiranto dan Jaksa Agung, Johan memastikan bahwa Jokowi berjanji akan segera menindaklanjuti hasil pertemuan dengan keluarga korban pelanggaran HAM. Ia menyatakan bahwa Presiden Jokowi berjanji akan segera memanggil Jaksa Agung dan Menko Polhukam untuk membicarakan perwakilan korban beberapa kasus HAM masa lalu tersebut.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengakui bahwa Kejaksaan Agung menghadapi kendala yuridis untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM. "Ada kendala yuridis yang kita hadapi dalam proses penegakan hukum. Pelanggaran HAM berat masa lalu, memang harus diselesaikan, tapi ini kasus-kasusnya kan sudah lama sekali meski perkara pelanggaran HAM berat tidak ada daluarsa," kata Prasetyo dikutip Antara, Jumat.

Menurut Prasaetyo, melihat realitas yang ada, sulitnya mencari bukti maupun saksi kasus-kasus tersebut. "Saksinya juga siapa lagi? Kan sudah sekian lama, perkara 65-66 bayangkan mungkin kita belum lahir, pelakunya siapa? Korban di mana? Bukti-bukti lain seperti apa? Sehingga waktu itu kita usulkan untuk diselesaikan dengan pendekatan nonyudisial, rekonsiliasi, itu yg paling mungkin dilakukan," ungkap Prasetyo.

Kendala lain adalah kasus-kasus itu terjadi sebelum adanya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mengatur peradilan HAM sehingga proses hukumnya pun harus melalui keputusan politik DPR. Selain itu, perlu dibentuk dulu Peradilan HAM ad hoc yang saat ini belum ada.

"Ketiga, untuk pelanggaran HAM berat ini intitusi yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM. Selama ini kita sudah coba membedah semua hasil penyelidikan dari Komnas HAM. Bukan hanya perkara Kamisan, perkara Trisakti, tapi yang lain juga, ada enam perkara HAM berat yang kita teliti akhirnya semua menyadari bahwa hasil penyelidikan itu hanya asumsi, opini saja, bukan bukti, proses hukum kan perlu bukti bukan opini," jelas Prasetyo. [rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita