Bambang Soesatyo: Tunjukkan Kepada Saya, Presiden Mana Yang Tak Pernah Undang Parpol Ke Istana

Bambang Soesatyo: Tunjukkan Kepada Saya, Presiden Mana Yang Tak Pernah Undang Parpol Ke Istana

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Senin (7/5) lalu, sembilan sekretaris jenderal partai pendu­kung Presiden Jokowi diundang Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Gedung Sekretariat Kabinet. Para sekjen yang hadir dalam pertemuan itu adalah; Arsul Sani (PPP), Anshori Saleh (PKPI), Ahmad Rofiq (Perindo), Abdul Kadir Karding (PKB), Hasto Kristiyanto (PDIP), Harry Lontung (Hanura), Johnny G Plate (Nasdem), Raja Juli Antoni (PSI), dan Lodewijk Paulus (Golkar).

Tema yang dibicarakan dalam pertemuan itu terkait berbagai program dan capaian pemerintahan Presiden Jokowi. Para sekjen partai itu diminta untuk menyampaikan program dan capaian pemerintahan Presiden Jokowi kepada seluruh calegnya untuk diteruskan ke masyarakat.

Praktis, pertemuan itu menuai kritik banyak kalangan karena dinilai memanfaatkan fasili­tas negara untuk kepentingan politik praktis jelang Pilpres 2019. Sayangnya sikap kritis ini tak diikuti oleh DPR yang seharusnya bekerja mengawasi kerja pemerintah, agar tidak menyalahgunakan fasilitas negera. Berikut ini pandangan poli­tikus Partai Golkar yang juga Ketua DPR Bambang Soesatyo terkait pertemuan para sekjen yang digelar Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Bagaimana Anda melihat pertemuan para sekjen partai koalisi pendukung pemerintah yang digelar di kantor Seskab, yang notabene fasilitas negara?
Menurut saya pertemuan di manapun boleh. Masalahnya da­lam suasana apa? Disampaikan oleh Mas Pram (Seskab Pramono Anung) itu suasana istirahat. Jadi menurut saya tidak ada masalah. Maka di DPR pun boleh bertemu, di kantor partai boleh bertemu, tidak masalah sejauh tidak menggangu tugas-tugas kenegaraan yang menjadi tugas beliau, tugas negara yang diamanatkan kepada beliau.

Yang terpenting pertemuan itu tidak membuat runcing per­masalahan bangsa. Ini kan bagus kalau setiap tokoh bertemu, setiap pimpinan partai bertemu rutin satu sama lain. Dengan begitu, saya yakin perbedaan pendapat, perbedaan pandangan bisa diselesaikan lebih baik da­lam satu ruangan.

Bukannya berteriak-berteriak di luar ruangan, saling menge­cam yang kemudian menimbul­kan suasana panas, yang kemu­dian yang merugikan masyarakat kita sendiri.

Tema yang dibahas dalam pertemuan itu bukankah terkait politik praktis untuk kepentingan Pilpres 2019?
Ini kan soal tempat, bukan bahas pemerintahan, dan ingat, politik itu tidak bisa dilepaskan dari pemerintahan. Justru parpol harus concern ke pemerintahan, dia harus bertanggung jawab atas baik dan buruknya pemerintahan.

Menurut saya tidak ada yang salah pertemuan yang dilaku­kan di istana. Dalam periode manapun sudah biasa terjadi per­temuan di istana. Sebut presiden mana yang tidak pernah bersama parpol di istana? Tunjukkan pada saya.

Oh ya terkait hasil survei cawapres belakangan ini Jusuf Kalla masih menempati posisi teratas. Bagaimana Anda me­lihat itu, bukankah beberapa kader Golkar lebih meng­inginkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto se­bagai jago cawapres Jokowi?
Survei menggambarkan pada kita bahwa Pak JK menempati ranking teratas. Dan menurut saya pribadi, pasangan Pak Jokowi yang ideal ke depan adalah Pak JK. Pak JK adalah dari Partai Golkar.

Kalau seperti itu, berarti bisa jadi jika uji materi di Mahkamah Konstitusi 'men­ghalalkan' JK jadi cawapres lagi, maka Golkar akan men­dorong JK lagi?
Kalau bicara Golkar dan se­tiap partai, maka setiap partai berkepentingan ketumnya atau tokohnya menjadi wapresnya Pak Jokowi. Karena besok pemi­lihan langsung pilpres dan pileg. Artinya, pemilihan presiden dan partai. dengan harapan partai ini terdorong mendongkrak elekta­bilitasnya. Jadi kalau Muhaimin kencang, Rommy kencang, dan Airlangga kencang dari Golkar, sementara Zulkifli Hasan ken­cang, PKS kencang, kemudian Pak Prabowo kencang, itu bukan semata-mata untuk kepentingan pribadinya agar elektabilitasnya naik.

Tapi apakah Anda tidak khawatir Golkar bisa pecah kalau JK dan Airlangga didor­ong untuk bersaing berebut kursi cawapres?
Kami kan sehidup semati. Kami satu langkah, satu derapdengan Pak JK. JK adalah Golkar, dan Golkar adalah Pak JK. Sementara itu Airlangga adalah Ketum Golkar.

Oh ya sebelumnya Anda sempat menyatakan Pemilu 2019 nanti akan jadi pemilu yang rumit. Apa maksudnya?
Ya dari awal kami menyadari pemilu ini pemilu rumit, karena serentak pileg dan pilpres. Makanya kami imbau penegak hukum, manakala ada bibit-bibit yang ingin coba memecah belah sesama anak bangsa, harus segera diatasi.

Menurut saya apa yang ter­jadi pada peristiwa minggu lalu adalah benih-benih adu domba sesama anak bangsa. Bayangkan kalau misalnya besok ada pen­dukung calon lain yang menyerang, itu bisa jadi benturan bagi demokrasi kita.

Makanya dari awal sebaiknya kita hanya fokus untuk menjago­kan pilihan kita saja. Kita harus bertindak elegan, tidak perlu menyerang lawan, tetapi pujilah jagoan kita dengan nama yang harum. Hebat si A gitu, jangan menyerang lawannya si B. Yang seperti itu adalah suatu hal yang diwaspadai, agar pemilu ke depan bisa kita lalui dengan baik sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.

Saat ini media sosial se­makin ramai. Bagaimana Anda menanggapinya?
Ya, salah satu yang harus diwaspadai adalah mudah ter­pancingnya kita sebagai warga negara oleh pihak yang mengadu domba, atau hoaks, atau uja­ran kebencian di medsos. Dan saya yakin peran media sangat penting untuk kesadaran kita.

Tadi Anda bilang peristiwa yang terjadi pekan lalu bisa memicu perpecahan. Lantas menurut Anda apa yang harus dilakukan pemerintah terkait hal itu?
Itu kembali kepada para elite politik. Artinya kami harus lebih dewasa dalam berpolitik. Bulan Juni ini rawan pilkada, kemdian April tahun depan kita adakan pileg dan pilpres, sehingga mulai dari sikap maupun ucapan dari elit-elit politik dan tokoh bangsa harus dijaga. Buatlah statemen-statmen yang membawa ketedu­han bagi bangsa.

Apakah perlu ada sanksi bagi pihak-pihak yang me­nyebabkan perpecahan itu?
Ya itu sudah diatur dalam undang-undang pidana. Menurut saya kriminaslisasi, peristiwa perusakan, money politics, dan penganiayaan itu sudah ada tin­dak pidananya. ***[rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita