Masih Dijual Bebas, BPOM Didesak Tarik Paksa Obat Terindikasi Ber-DNA Babi

Masih Dijual Bebas, BPOM Didesak Tarik Paksa Obat Terindikasi Ber-DNA Babi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co -  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sepatutnya menarik paksa dua produk enzyme yang terindikasi (suspect) terkontaminasi DNA babi. Pasalnya, dua produk itu masih bebas dijual secara daring.

Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Luthfi Mardiansyah menyatakan, jika hasil tes terhadap kedua produk tersebut positif mengandung babi, maka BPOM harus dalam posisi pemberian sanksi untuk melindungi konsumen. 

Namun jika produsen mampu membuktikan bahwa produknya tidak ada kandungan DNA babi, maka BPOM harus segera mengumumkannya secara terbuka kepada masyarakat supaya tidak menjadi bola liar dan menimbulkan polemik. 

Khusus untuk penjualan obat dan suplemen secara daring, Luthfi mengakui, saat ini regulasi yang mengaturnya belum ada. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi BPOM yang mesti dibenahi segera. 

"Ini bisa membahayakan karena tidak ada regulasi untuk melakukan fungsi pengawasan BPOM dalam penjualan dan distribusi obat secara daring. Orang bisa beli obat resep secara bebas, ini kan bahaya," ujar Lutfi dalam keterangannya, Jumat (23/2). 

Dia menilai ketiadaan regulasi penjualan obat dan suplemen secara daring yang membuat BPOM ragu-ragu bertindak terhadap dua produk enzyme yang terindikasi terkontaminasi DNA babi. 

"Kalau regulasinya belum ada, bagaimana BPOM mau melakukan penarikan," tanyanya.

Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menyatakan waktu satu bulan untuk BPOM menarik seluruh produk enzyme yang diduga menggunakan bahan baku sejenis dengan dua produk bermasalah sebelumnya. 

"Mestinya satu bulan setelah ditarik izin edarnya. Kalau sudah ditarik izin edarnya, maka dalam satu bulan produk  baik beredar secara langsung maupun online harus ditarik," jelasnya. 

Desakan tersebut juga muncul dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan BPOM dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan 15 perusahaan farmasi di Jakarta, Rabu (21/3) sore. 

"Kami menerima keluhan dari masyarakat bahwa di antara 13 produk enzyme, masih ada yang dijual secara online. Ini harus ditarik dari pasaran, baik sifatnya penjualan offline atau online," katanya.

Dalam rapat RDP dengan BPOM, Dede secara khusus mencermati sejumlah produk antara lain Vitazym dan Librozym yang masih beredar secara online. Padahal, produsen dua enzyme tersebut yakni PT Kalbe Farma dan PT Hexpharm Jaya Laboratories telah menghentikan produksi serta mengembalikan izin edar pada Februari 2017.

Direktur Hexpharm Jaya Laboratories yang hadir dalam RDP Komisi IX dan BPOM menjelaskan perusahaannya memang pernah memproduksi enzyme pancreatin. Namun, produksi telah dihentikan dan izin edar dikembalikan ke BPOM pada Februari 2018. 

Sementara Direktur Kalbe Farma yang juga hadir di RDP tersebut mengaku ada satu produk pankreatin, namun izin edarnya telah dikembalikan. Pihaknya kini tengah mengembangkan enzym dari mikroba dan tumbuhan yang lebih aman.

Dede menilai ada komunikasi yang terputus antara produsen farmasi dengan BPOM. 

"Mungkin industri farmasi takut? Mungkin BPOM terlanjur memberikan statement sehingga akhirnya ada persaingan obat. Kami tidak pernah tahu. Sebab bisa saja saat satu produk  turun, lalu ada produk yang lain yang naik,” jelasnya.[rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita