www.gelora.co - KPK kembali mencokok panitera karena diduga menerima suap dari pihak berperkara. Kali ini, Tuti Atika, Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Tangerang.
Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi membenarkan penangkapan yang dilakukan lembaga antirasuah. "Ada informasi penangkapan terhadap satu Panitera Pengganti pada PN Tangerang," katanya.
Panitera golongan III itu tangkap KPK bersama orang yang memberi suap pada pukul 16.30 WIB kemarin di kantornya. Tuti sempat berlagak kesurupan saat diciduk. "Dia nyebut nama orang lain waktu diamankan," kata Suhadi.
Ia mempersilakan KPK menindak oknum peradilan nakal. "Kita tentunya siap mendukung langkah penegakan hukum dilakukan KPK," tandasnya.
Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah belum bersedia memberikan penjelasan mengenai penangkapan panitera ini. Ia beralasan masih dilakukan pemeriksaan.
KPK, lanjut dia, hanya punya waktu 1x24 jam untuk menetapkan status orang terjaring operasi tangkap tangan (OTT).
Masih berkaitan dengan oknum peradilan, kemarin Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Tarmizi.
Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu terbukti menerima suap Rp 425 juta terkait perkara. "Menyatakan terdakwa terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut," putus ketua majelis hakim Ni Made Sudani.
Selain dihukum penjara, Tarmizi dikenakan denda Rp 200 juta subsider kurungan selama 1 bulan.
Menurut majelis hakim, Tarmizi terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam menjatuhkan putusan ini, majelis telah mempertinbangkan hal yang memberatkan dan memperingankan. Yang memberatkan, perbuatan Tarmizi tidak mendukung program pemerintah memberantas.
"Sementara hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, mengakui perbuatannya dan menyesalinya serta terdakwa merupakan tulang punggung keluarganya," timbang majelis.
Tarmizi menerima putusan ini. Sementara jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir. Pasalnya, vonis hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta Tarmizi dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Tarmizi ditangkap KPK karena menerima suap dari pengacara Akhmad Zaini dan Yunus Nafik, bos PT Aqua Marine Divindo Inspection (AMDI).
Suap itu berkaitan dengan perkara gugatan PT Eastern Jason Fabrication Services Pte Ltd terhadap PT AMDI yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Eastern Jason menuntut PT AMDI membayar ganti rugi 7.063.198.450 dolar AS dan 131.070 dolar Singapura karena dianggap wanprestasi. PT AMDI mengajukan gugatan balik (rekonvensi) agar Eastern Jason membayar 4.995.011 dolar AS.
Pada Mei 2017, Akhmad Zaini menemui Tarmizi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Zaini meminta Tarmizi mempengaruhi hakim agar menjatuhkan putusan menolak gugatan Eastern Jason. Sebaliknya mengabulkan gugatan rekonvensi PT AMDI.
Pada Juni 2017, Zaini menyerahkan uang Rp 25 juta ke Tarmizi melalui transfer ke rekening Tedy Junaedi, petugas kebersihan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Zaini kembali mengirim uang Rp 100 juta untuk Tramizi lewat transfer ke rekening Tedy.
Berikutnya, Zaini menyerahkan cek dengan nilai Rp 250 juta dan Rp 100 juta kepada Tarmizi. Namun Tarmizi menolaknya. Cek itu lalu diambil lagi dan dicairkan Zaini.
Uangnya diserahkan ke Tarmizi. Usai penyerahan uang, mereka diringkus KPK. Semua uang itu berasal dari Yunus Nafik
Selain didakwa menerima suap, Tarmizi menikmati gratifikasi yang diberikan Zaini berupa fasilitas menginap di hotel Garden Palace Surabaya, vila dan hotel Kota Batu Malang Rp 4,5 juta. Kemudian fasilitas transportasi Rp 5 juta.
Kilas Balik
Terima Suap Dari Lippo Group, Nasution Dibui 5,5 Tahun
Mahkamah Agung (MA) menyatakan Edy Nasution, bekas Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetap dipenjara 5,5 tahun penjara karena menerima suap terkait pengurusan perkara Lippo Group.
Putusan perkara kasasi nomor 1353 K/Pid.Sus/2017 itu diketuk majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar dengan anggota Abdul Latief dan MS Lumme.
Meski menerima kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum KPK, Artidjo menolak mengoreksi putusan hakim di bawahnya mengenai penerimaan suap Rp 1,5 miliar. "Tolak perbaikan," demikian amar putusan yang telah dikirim ke Pengadilan Tipikor Jakarta 14 Februari 2018.
Dalam perkara ini, Edy didakwa menerima suap Rp 1,7 miliar dari Lippo Group. "Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan terdakwa melakukan yang bertentangan dengan kewajibannya," kata Jaksa KPK Dzakiyul Fikri saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 7 September 2016.
Uang itu diterima Edy secara bertahap. Suap itu agar Edy membantu pengurusan sejumlah perkara yang menjerat perusahaan-perusahaan Lippo Group. Di antaranya adalah PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC), PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan PT Across Asia Limited (AAL).
Edy diduga menerima uang Rp 1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dari Doddy Aryanto Supeno. Uang itu diduga diberikan agar Edy merevisi surat jawaban dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris Tan Hok Tjioe atas tanah di Tangerang. Tanah dikuasai PT JBC dan dijadikan lapangan golf.
Edy juga diduga menerima uang Rp 100 juta untuk menunda pemanggilan aanmaning atau peringatan kepada PT MTP. Pemanggilan ini terkait dengan perkara niaga PT MTP dengan PT Kymco. Dalam perkara tersebut PT MTP harus membayar ganti rugi kepada Kymco sebesar 11,1 juta dolar Amerika.
Edy kembali menerima uang Rp 100 juta dari Lippo Group. Kali ini terkait perkara PT AAL. Dalam perkara itu, Edy diduga diminta membantu mendaftarkan peninjauan kembali perkara niaga yang sudah jatuh tempo.
Menurut jaksa, pemberian suap kepada Edy itu berdasarkan arahan dari legal Lippo Group Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Direktur PT MTP Hery Soegiarto, Direktur PT Paramount EnteRp rise Ervan Adi Nugroho dan Chairman Lippo Group Eddy Sindoro.
Selain itu, Edy didakwa menerima gratifikasi Rp 10 juta, 70 ribu dolar Amerika atau setara dengan Rp 900 juta, dan 9.852 dolar Singapura atau setara dengan Rp 96 juta.
Uang-uang tersebut diduga diberikan terkait dengan bantuan terdakwa dalam pembuatan dan pengurusan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Perbuatan Edy dianggap melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Pada 8 Desember 2016, ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Sumpeno menyatakan Edy hanya terbukti menerima suap Rp 150 juta dan 50 ribu dolar Amerika terkait pengurusan perkara Lippo Group.
Edy pun divonis penjara 5,5 tahun dan denda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan. Edy menerima hukuman itu. Adapun jaksa KPK menyatakan banding karena hakim menyatakan dakwaan penerimaan suap Rp 1,5 miliar tak terbukti.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan banding yang dibacakan 20 Maret 2017 menyatakan, menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kasus ini menyeret Chairman Lippo Group Eddy Sindoro dan bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Ketika dihadirkan sebagai saksi sidang perkara Edy, Nurhadi mengaku berteman lama dengan Eddy Sindoro.
Nurhadi juga mengaku pernah menghubungi Edy agar mempercepat pengiriman perkara ke MA setelah mendapat laporan dari Eddy Sindoro.
Dalam pengembangan kasus ini, KPK menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka. Namun penyidikannya mandek lantaran Eddy buron ke luar negeri.[rmol]