Islam Politik? No!

Islam Politik? No!

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA - Oleh: Abdullah Sammy*

Sengaja saya tulis judul seperti ini guna memisahkan mana dari anda yang pembaca dan mana yang penerawang. Pembaca butuh waktu untuk melihat, memahami konteks tulisan secara utuh, baru mengambil kesimpulan.

Sebaliknya, penerawang tidak butuh melihat hingga tuntas. Sebab pengelihatannya lebih fokus ke mata batin. Jadi penerawang biasanya melihat sekilas dari tulisan lalu dengan mata batinnya langsung mengambil kesimpulan.Penerawang berita biasanya hanya membaca judul lalu dengan batinnya pula ambil kesimpulan benar atau salah.

Terserah anda mau membaca atau menerawang berita ini. Yang jelas para penerawang tak akan sampai membaca kalimat ini. Sebab hanya dengan membaca judul, mereka langsung akan berkomentar.

Sedangkan bagi para pembaca, anda pastinya masih menyimak tulisan yang baru akan hendak saya arahkan ke tema sesuai judul di atas, Islam Politik? No!

Mungkin kini ada sebagian kalangan yang mempropagandakan hal sesuai judul di atas. Sebab kaitan Islam dan politik nyatanya masih membuat sebagian orang alergi. Mungkin ini ada kaitannya dengan sejarah masa lalu bangsa ini.

Istilah Islam politik sejatinya merupakan terminologi lama yang sudah tercetus sejak abad ke-19. Snouck Hurgronje memakai istilah itu untuk menggambarkan kalangan Islam yang punya orientasi politik yang hendak mengakhiri kekuatan Belanda di Nusantara. Islam Politik diartikan sebagai Islam yang bergerak sebagai sebuah kekuatan sosial politik.

Hugronje memisahkan Islam Politik dengan Islam Ritual. Terminologi Islam Ritual ini diartikan Hurgronje sebagai yang murni hanya bergerak di jalur ritual keagamaan. Jadi dapat disimpulkan Islam Ritual adalah Islam yang hanya fokus beribadah.

Terminologi Islam Politik dan Islam Ritual selalu menjadi diskursus pada setiap zaman di negeri ini sekalipun kolonial sudah tak berkuasa di negeri ini. Pada 1970, cendikiawan muslim Nurcholish Madjid juga sempat memunculkan lagi perdebatan tentang Islam Politik dan Islam Ritual dengan terminologi dan ungkapan yang berbeda.

Cak Nur mencetuskankapan ucapan yang cukup monumental, "Islam yes, partai Islam No." Ungkapan yang sejatinya menjadi kritik bagi kalangan Islam politik saat itu yang tingkah polahnya dinilai jauh dari Islam.

Tapi bobot yang diungkapkan Cak Nur jelas berbeda dengan Hurgronje. Sebab Hurgronje melihatnya dari kaca mata oposisi yang terancam dengan kemunculan Islam Politik. Sedangkan Cak Nur yang justru terlahir dari kalangan Islam Politik (keluarga Masyumi), membuat penilaian dari dalam dan menjadi otokritik pada Islam Politik itu sendiri.

Jadi motif dari Hurgronje dan Cak Nur tentu berbeda. Apa pun itu selalu ada pro dan kontra terkait dengan relasi Islam dan politik.

Tapi mari kita berkontemplasi mengenai apa yang benar dan salah dengan konsep Islam Politik. Cara paling mudah mempelajarinya adalah dengan membuka sejarah perjalanan Islam di bangsa ini.

Apakah memang Islam masuk ke negeri ini dari jalur politik? Kalau berbicara catatan panjang sejarah, tentu faktor politik tak bisa dikesampingkan. Hadirnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara menjadi bukti relasi Islam dengan politik sudah terjalin lama. Namun sebelum munculnya kerajaan Islam, jalur perdagangan yang menjadi gerbang masuk Islam di Nusantara.

Ada banyak teori mengenai kapan Islam masuk dan dari mana. Ada yang mengatakan sejak dari abad ke-7. Ada pula yang berpandangan sejak abad ke-13. Soal asal masuknya Islam pun sejarawan terbelah pada beberapa asumsi, Arab, Gujarat, atau Persia.

Tapi satu yang jadi benang merah, mayoritas dari teori itu sepakat bahwa Islam mulanya dibawa lewat jalur perdagangan. Buktinya adalah peradaban Islam di Indonesia tercipta di pelabuhan-pelabuhan dagang besar di Nusantara.

Dengan berdagang pula, Islam mulai berasimilasi di masyarakat. Dengan budaya Islam yang tak mengenal kasta dan stratifikasi sosial, maka masyarakat Nusantara lebih mudah untuk menerima budaya tersebut di kesehariannya. Pedagang Islam bisa berniaga dengan siapapun tanpa mengenal sekat pemisah dan ini yang kemudian menimbulkan pemerataan di kemajuan di tiap pelabuhan yang disinggahi. Sejumlah daerah di Nusantara pun berkembang menjadi sebuah emporium perekonomian.

Ibnu Batuta bahkan pernah menuliskan bagaimana kebesaran perekonomian di Nusantara saat singgah di Kerajaan Samudera Pasai. "Negeri yang hijau dengan pelabuhannya yang indah dan besar," ( The Travels of Ibn Battuta A Virtual Tour with the 14th Century Traveler).

Muhammad Iskandar dalam tulisannya berjudul 'Nusantara dalam era Niaga Sebelum Abad ke-19' mengungkapkan, "perkembangan sistem emporium ini berkaitan erat dengan perluasan Islam dari Timur Tengah ke Asia. Oleh sebab itu dapat dipahami apabila sejak abad ke-14 di Nusantara juga bermunculan kota-kota dagang dengan penduduk yang mayoritas muslim."

Bersamaan dengan peran sentral pedagang Islam dalam mengangkat wilayah Nusantara sebagai pusat dagang, satu per satu kerajaan Islam pun bermunculan. Dan ini menjadi bagian periode emas kemajuan perniagaan nusantara, yang oleh ahli sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid sebagai era 'kurun niaga'.

Dari perdagangan baru masuk ke politik. Walhasil era emas kurun niaga ini membuktikan bahwa yang menjadi kunci bukanlah Islam Politik tapi Islam Ekonomi. Dari Islam yang kuat secara ekonomi kemudian lahir Islam Politik yang membawa kemaslahatan seluruh masyarakat tanpa kecuali.

Tapi era kejayaan Islam Politik runtuh karena pondasinya Islam Ekonomi yang lebih dahulu kolaps. Ini bermula dengan masuknya VOC ke nusantara untuk memonopoli perekonomian pada abad ke-17. Dengan runtuhnya Islam Ekonomi, Islam Politik pun bisa dikendalikan oleh kolonial hingga melemah dan akhirnya punah.

Islam Politik yang berdiri tanpa Islam Ekonomi begitu mudah diinfiltrasi, diprovokasi, dan diadu domba. Hingga akhirnya sejumlah Kerajaan Islam di Nusantara pun akhirnya runtuh justru karena konflik dari dalam istana. Ini seperti Kerajaan Banten, Kerjaan Ternate dan Tidore, dan Kesultanan Makassar.

Sejak keruntuhan Islam Politik pada era VOC justru melahirkan kalangan Islam tradisional yang muncul dari perut rakyat. Muncul tokoh-tokoh akar rumput yang bergerak dari masjid ke masjid hingga kampung ke kampung. Mereka kembali membangun Islam sebagai motor gerakan sosial dan politik untuk melawan kolonialisme yang utamanya berbentuk penjajahan ekonomi.

Kelak dari gerakan itulah muncul berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain sebagainya. Dari tokoh-tokoh organisasi ini perlawanan sosial politik dan ekonomi dilancarkan dari perut rakyat. Kita tentu mengenal kemudian gerakan fenomenal seperti resolusi jihad yang jadi pembangkit sosial politik dari umat untuk mengusir penjajahan.

Tapi lepas dari kemerdekaan, gerakan konsolidasi umat seperti tercerai berai dengan bajunya masing-masing. Belum terbentuknya pondasi Islam Ekonomi yang kuat, Islam Politik sudah lebih dahulu bergerak di era pasca-revolusi. Padahal sistem ekonominya masih merupakan warisan kolonial.

Ini yang kemudian membuat kondisi awal Islam Politik di Republik ini sama seperti kisah akhir Islam Politik di zaman kerajaan. Pada akhirnya Islam Politik yang berkecimpung di politik mudah diinfiltrasi, diprovokasi, dan adu domba. Hingga akhirnya Islam Politik justru semakin tenggelam di Orde Lama dan runtuh di Orde Baru. Pola dari pelaku Islam Politik saat itu pun jauh dari perilaku Islam itu sendiri. Hingga akhirnya situasi ini yang memancing kritik dari seroang Nurcholish Madjid pada 1970.

Hingga sekarang memasuki era reformasi kita patut bertanya bagaimana kondisi Islam Politik? Apa hadirnya sejumlah partai Islam sudah memberi manfaat? Mengapa justru beberapa dari mereka terjerat korupsi yang sebenarnya jauh dari nilai keislaman?

Rentetan pertanyaan itu rasanya penting sebagai otokritik untuk memperbaiki diri. Lagi-lagi kita patut berkaca. Mengedepankan Islam Politik saja hanya akan menjadi guyonan semata jika melihat Islam Ekonomi justru tertidur lelap.
Sebab kita tak memungkiri bahwa elemen ekonomi bobot pengaruhnya pada politik sangat besar. Tak ada bangsa yang besar jika ekonominya kerdil.

Ada baiknya kita melihat statistik sejarah ekonomi Indonesia. Sebab sejatinya, sejak era kurun niaga (abad 16 dan 17), Islam secara ekonomi tertidur lelap. Situasi yang terjadi sejak era VOC ini bertahan hingga zaman now.
Dalam Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendikiawan yang digelar di Pesantren Al-Hikam 8 Februari 2014 ada statistik menarik yang bisa kita jadikan rujukan.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,18 juta jiwa. Sebanyak 87 persen di antaranya beragama Islam. Sisanya 13 persen beragama selain Islam.

Menariknya, berdasarkan data yang diungkapkan dalam Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendikiawan ini, data statistik penduduk berdasar agama ini mengalami anomali ketika kajiannya ditarik ke ekonomi. Ketika ditarik ke statistik jumlah raksasa ekonomi di negeri ini, populasi umat Islam terjun bebas dari 87 persen hanya menjadi 15 persen!

Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Pondok Pesantren Kempek Cirebon pada 2016 juga mempertegas temuan yang sama. Dalam Forum Ekonomi di Rapat Pleno itu terungkap bahwa statistik penduduk muslim yang menguasai ekonomi Indonesia hanya 12 persen!

Catatan terbaru dari Globe Asia pada 2017 menunjukkan dari 150 pengusaha tersukses di Indonesia hanya 24 orang saja yang beragama Islam. Atau populasi pengusaha Muslim hanya 16 persen dari total populasi pengusaha tersukses di Indonesia.

Jadi berbicara soal ekonomi, Islam bukanlah mayoritas. Jadi kalau ada yang mengatakan Islam adalah mayoritas di negeri ini, rasanya perlu dipertanyakan lebih jauh. Mayoritas dalam hal apa? Jumlah atau pengaruh?

Walhasil, pandangan filsuf George Santayana yang menyatakan, 'siapa yang tak belajar dari sejarah akan dikutuk untuk megulanginya', patut menjadi renungan kita semua. Keruntuhan Kerajaan Islam di Nusantara yang terjadi tanpa kemandirian dari ekonomi umat, sudah jadi penanda tegas bahwa Islam Politik tanpa Islam Ekonomi hanya sekadar lelucon semata.

Islam Politik tanpa Islam Ekonomi hanya membuat umat berkelahi sendiri demi posisi. Kita tentu bisa berkaca dari VOC yang tak butuh jumlah tentara banyak untuk menaklukkan Nusantara. Sebab menjadi mayoritas dari jumlah tak ada artinya tanpa mayoritas dari segi pengaruh.

VOC lewat kekuatan modalnya bisa membuktikan pengaruh itu dengan mengadu domba Goa dan Tallo, Ternate dan Tidore hingga Sultan Haji vs Sultan Ageng Tirtayasa hingga akhirnya runtuh.

Begitupun kondisi umat saat ini yang hanya banyak dari segi jumlah tapi minim pengaruh ekonominya. Sebab memang nyatanya umat Islam Indonesia sudah terlalu banyak yang jadi politisi, tapi minim pengusaha.

*Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita