DPR Sesalkan MK Tolak Gugatan Soal Perluasan Delik Perzinahan dan LGBT

DPR Sesalkan MK Tolak Gugatan Soal Perluasan Delik Perzinahan dan LGBT

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menyesalkan putusan MK, yang menolak gugatan agar delik perzinahan dan hubungan sesama jenis atau LGBT tafsirannya diperluas. Menurutnya, keengganan mayoritas hakim konstitusi tersebut sebagai bentuk inkonsistensi dan ancaman yang berbahaya bagi Indonesia sebagai negara berketuhanan berdasarkan Pancasila.

"Ada hal berbahaya yang muncul dari putusan MK tersebut, yakni seolah-olah LGBT, kumpul kebo dan delik perzinahan dinyatakan konstitusional. Jelas ini berbahaya, karena tidak sesuai dengan konteks negara Indonesia yang berketuhanan berdasarkan Pancasila. Khususnya jika tidak membaca secara utuh dan menyeluruh dari Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016. Di sinilah 5 hakim konstitusi yang menyatakan menolak permohonan ini tidak sensitif," kata Nasir dalam siaran persnya, Kamis (14/12/2017).

Menurut politisi asal Aceh tersebut, jika putusan MK Nomor 47/PUU-XIV/2016 itu dibaca utuh, semua hakim konstitusi secara substansi sebenarnya setuju soal perlunya pembaharuan delik perzinahan maupun LGBT, namun sayangnya 5 hakim konstitusi yang menjadi mayoritas menolak perluasan pasal-pasal perzinahan dan LGBT melalui MK.

Mereka, lanjut Nasir, bukan menolak substansi bahwa perzinahan seperti kumpul kebo dan LGBT tidak dapat dipidana, melainkan para hakim tersebut membatasi dirinya untuk tidak membuat hukum baru dalam KUHP warisan Belanda yang saat ini masih berlaku, dan lebih menyerahkan kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.

"Ada inkonsistensi dari 5 hakim konstitusi tersebut, seolah-olah membatasi diri dengan konsep judicial restraint, dan tidak mau membuat norma baru dalam bentuk penafsiran karena MK berposisi sebagai negative legislator. Padahal MK sudah sangat sering membuat putusan yang memperluas makna suatu pasal dan bahkan seolah-olah membuat norma baru, sehingga berposisi sebagai positive legislator. Misalnya dalam putusan MK terkait hak dan kedudukan anak luar perkawinan, putusan MK terkait penggunaan KTP/Paspor sebagai dasar memilih, dan lain-lain. Karena itu, putusan MK No. 47 ini adalah bentuk inkonsistensi yang patut disesalkan," papar Nasir.

Nasir yang juga masuk dalam Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP di DPR itu berjanji akan mengawal pembahasan pasal-pasal yang berkaitan dengan perzinahan dan LGBT. Menurutnya hal tersebut adalah tanggungjawab bersama sebagai upaya menjaga Pancasila sebagai nilai adiluhur bangsa yang harus tertuang dalam peraturan perundang-undangan.

"Dalam rancangan KUHP yang diajukan Pemerintah ke DPR tahun 2015 lalu, draft berkaitan dengan perzinahan sudah diperluas, namun soal LGBT belum. Karena itu dari awal kami fokus bahwa LGBT termasuk tindakan yang dapat dikriminalisasi dalam KUHP. Ini yang akan kita kawal terus," pungkasnya.

Sebelumnya, 

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi pasal kitab undang-undang hukum pidana tentang zina dan hubungan sesama jenis, Kamis (14/12). Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan ketentuan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Meski demikian, terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari empat orang hakim yang menangani uji materi tersebut yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahidudin Adams, dan Aswanto. Empat hakim itu menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mendasarkan pada norma agama dan sinar ketuhanan.

“Mengadili, menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta.

Permohonan ini diajukan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Euis Sunarti dan sejumlah orang lainnya. Pemohon melakukan uji materi ayat 1 sampai 5 pasal 284 KUHP tentang perzinaan, pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan, dan pasal 292 KUHP tentang homoseksual lantaran dianggap mengancam ketahanan keluarga.

Pada pasal 284 KUHP menjelaskan ancaman hukuman bagi salah satu pasangan atau keduanya yang terikat dalam hubungan pernikahan kemudian melakukan zina dengan orang lain. Pemohon meminta zina dimaknai lebih luas yakni termasuk hubungan badan yang dilakukan pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan.

Namun dalam pertimbangannya, hakim menyatakan apabila gugatan itu dikabulkan akan terjadi perubahan perbuatan pidana yang semula delik aduan menjadi delik biasa. Perubahan delik ini dikhawatirkan akan mengubah kualifikasi pasal 284 yang semula dikonstruksikan sebagai urusan domestik laki-laki beristri atau perempuan bersuami menjadi urusan negara.

“Negara semestinya baru akan turun tangan jika pihak-pihak memintanya melalui delik aduan dan harus dihentikan jika aduan itu dicabut,” ucap hakim anggota Saldi Isra.

Ketentuan dalam pasal tersebut juga dinilai telah tepat karena menegaskan bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang terikat pernikahan tak boleh berzina dengan orang yang bukan suami atau istrinya.

“Ketiadaan larangan zina justru merusak sistem perkawinan dan keluarga. Apalagi telah menjadi pemahaman tidak ada satu agama pun yang membenarkan zina,” kata Saldi.

Kemudian pada pasal 285 KUHP, frasa kekerasan atau ancaman perbuatan perkosaan yang memaksa perempuan bukan istrinya membuat arti pemerkosaan hanya terjadi pada perempuan. Padahal pemerkosaan bisa saja terjadi pada laki-laki.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan aturan tentang pemerkosaan dengan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan telah sesuai karena diberikan atas konteks KUHP dan tidak berkaitan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang lebih spesifik.

“Pasal 285 KUHP justru menjadi instrumen hukum bagi perempuan agar dilindungi dari perbuatan perkosaan,” katanya.

Kemudian pada pasal 292 KUHP tentang perbuatan cabul hubungan sesama jenis dianggap hanya memberikan perlindungan hukum terhadap korban yang diduga belum dewasa, sedangkan pada korban yang telah dewasa tidak diberikan perlindungan hukum. Pemohon menginginkan orang dewasa yang melakukan hubungan sesama jenis dengan orang dewasa mestinya juga dihukum.

Namun dalam pertimbangannya, hakim menyatakan keinginan pemohon itu mengharuskan MK membuat ketentuan perundang-undangan yang baru. Padahal hal itu bukan menjadi kewenangan MK, melainkan DPR dan presiden sebagai pembentuk UU.

Menambah frasa atau norma baru dinilai akan mengubah sifat melawan hukum dan hal itu tidak dapat diterima dalam penalaran hukum.

“Gagasan pembaruan yang diusulkan pemohon harusnya diajukan ke pembuat UU dan menjadi masukan penting untuk merumuskan KUHP yang baru,” kata Saldi.[tsc]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA