GELORA.CO - Banjir besar yang melanda Thailand Selatan pada akhir November 2025 kembali membuka perbincangan mengenai skema kompensasi bagi korban bencana di Asia Tenggara.
Thailand menjadi sorotan setelah pemerintahnya menetapkan kompensasi besar untuk keluarga korban meninggal.
Ketika dibandingkan dengan skema bantuan di Indonesia, terlihat jelas adanya perbedaan pendekatan dan nilai perlindungan terhadap korban bencana.
Menurut laporan Reuters dan media resmi lain, pemerintah Thailand menyatakan bahwa keluarga korban meninggal.
Akibat banjir akan menerima kompensasi sekitar 2 juta baht atau setara kurang lebih Rp1 miliar.
Kebijakan itu muncul setelah banjir ekstrem melanda sembilan provinsi di selatan Thailand dengan total korban tewas mencapai 162 orang. Songkhla menjadi provinsi dengan korban tertinggi, yakni 126 kematian.
Pemerintah Thailand juga mendapatkan dukungan dana dari pihak kerajaan salah satunya sumbangan 100 juta baht (sekitar Rp51 miliar).
Untuk memperkuat operasi bantuan, termasuk layanan medis dan rehabilitasi wilayah.
Di sisi lain, Indonesia menerapkan model bantuan yang berbeda.
Dalam berbagai bencana besar, termasuk banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah Sumatra Utara pada periode yang sama.
Bantuan pemerintah difokuskan pada penyaluran logistik seperti makanan, tenda, perlengkapan keluarga, dan hunian darurat.
Kementerian Sosial RI menyalurkan bantuan logistik ke beberapa daerah terdampak dengan nilai total sekitar Rp2,05 miliar untuk Sumatra Utara.
Bantuan ini mencakup paket keluarga, paket perlengkapan anak, tenda gulung, kasur, selimut, serta kebutuhan dasar lainnya.
Namun, berbeda dari Thailand, Indonesia tidak menetapkan kompensasi tunai besar per korban meninggal.
meski kedepannya masih belum diketahui akan menggunakan skema ini pada korban banjir di Sumut
Skema yang tersedia biasanya berupa santunan duka dari pemerintah pusat yang nilainya berkisar pada angka Rp15 juta per korban meninggal.
seperti yang tercatat pada sejumlah bencana besar di tahun 2025, termasuk banjir di Bali yang terjadi beberapa bulan sebelumnya.
Untuk korban luka, santunan yang diberikan sekitar Rp5 juta.
Kebijakan santunan ini terutama merujuk pada standar yang selama ini berlaku melalui Kementerian Sosial.
Indonesia memang menyediakan bantuan perbaikan rumah bagi warga yang terdampak bencana, dengan nilai maksimal Rp50 juta untuk kerusakan berat.
Rp25 juta untuk kerusakan sedang, dan Rp10 juta untuk kerusakan ringan.
Akan tetapi, skema tersebut bukan merupakan kompensasi atas kehilangan anggota keluarga, melainkan bantuan pemulihan terhadap kerusakan fisik tempat tinggal.
Perbandingan antara kedua negara tersebut menunjukkan perbedaan mendasar.
Thailand memilih pendekatan kompensasi individual berbasis korban, khususnya bagi keluarga yang kehilangan anggota keluarga.
Nilai kompensasi yang besar dianggap lebih mampu membantu pemulihan sosial-ekonomi keluarga yang terdampak langsung.
Pendekatan seperti ini juga memperlihatkan prioritas pemerintah terhadap perlindungan warga dalam kondisi kehilangan paling berat.
Sementara itu, Indonesia menerapkan pendekatan bantuan kolektif yang memprioritaskan kebutuhan darurat pangan, sandang, dan hunian sementara.
Model ini memungkinkan pemerintah menjangkau lebih banyak korban dengan cepat, namun tidak memberikan kompensasi finansial signifikan kepada keluarga korban meninggal.
Dengan kata lain, biaya pemulihan pascabencana, termasuk kehilangan aset dan kehilangan anggota keluarga, sebagian besar masih ditanggung warga sendiri.
Perbandingan ini bukan sekadar soal besarnya angka kompensasi.
Lebih jauh, ia berkaitan dengan bagaimana suatu negara menilai kebutuhan pemulihan pasca-bencana dan standar perlindungan warganya.
Thailand menunjukkan model perlindungan sosial yang lebih kuat terhadap korban jiwa, sementara Indonesia masih mengedepankan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar dan bantuan minimal.
Di tengah intensitas bencana hidrometeorologi yang terus meningkat, diskusi mengenai skema kompensasi yang lebih adil dan proporsional menjadi penting bagi Indonesia.
Banyak pihak menilai perlunya evaluasi kebijakan agar korban yang kehilangan anggota keluarga atau aset besar tidak hanya menerima bantuan dasar.
Tetapi juga dukungan finansial yang lebih memadai sejalan dengan praktik negara-negara lain di kawasan.***
