Sosok Pakar Hukum yang Sebut Polisi Harus Tahan Roy Suryo Cs Jika Ingin Kasus Ijazah Jokowi Selesai

Sosok Pakar Hukum yang Sebut Polisi Harus Tahan Roy Suryo Cs Jika Ingin Kasus Ijazah Jokowi Selesai

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO  - Ini lah sosok Abdul Fickar Hadjar,Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti,  yang menyebut polisi menahan Roy Suryo Cs, jika ingin kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) cepat selesai. 

Seperti diketahui, hampir setahun kasus ini bergulir dan polda Metro Jaya sudah menetapkan Roy Suryo dan tujuh orang lain sebagai tersangka. 

Namun, hingga saat ini penyidik Polda Metro Jaya belum juga melimpahkan kasusnya ke polisi. 


Bahkan, Roy Suryo Cs juga belum ditahan karena mereka mengajukan ahli dan saksi meringankan, sehingga tim penyidik akan memeriksa saksi yang diajukan terlebih dahulu sebelum memutuskan menahan tersangka atau tidak.

Menurut Abdul Fickar Hadjar, proses pidana yang tidak disertai penahanan tidak ada waktu yang membatasi.


Jika ingin kasus cepat selesai, kata Fickar, maka polisi harus menahan para tersangka.

"Sepanjang polisi belum yakin buktinya sudah terpenuhi, maka dia (kasusnya) masih boleh jalan, tetapi itu tadi tidak dikaitkan dengan penahan," ungkapnya dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews, dikutip pada Rabu (24/12/2025).

"Tapi biasanya yang didorong supaya cepat itu biasanya tersangkanya ditahan. Kalau tersangkanya ditahan, kepolisian itu mengejar supaya  proses ini berlanjut, penahannya belum selesai gitu," sambungnya.

Menurut Fickar, penyidik tampak santai saja meski para tersangka belum juga ditahan, sebab merasa masih punya banyak waktu.


"Tidak ada pembatasan di dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) itu harus sekian waktu, harus sekian waktu gitu. Sepanjang alat-alat buktinya sudah dipenuhi, silakan diajukan ke pengadilan," paparnya.

"Tapi kewenangan menangkap dan menahan itu dibatasi oleh undang-undang. Umpamanya penyidik itu (bisa menahan tersangka) cuma 20, bisa diperpanjang 40 hari. Nah, setelah itu harus lepas dia." 



"Kecuali bagi tindak pidana yang ancamannya 9 tahun ke atas. Menurut pasal 21 KUHAP itu ya, itu bisa sampai diperpanjang 30 lagi, 60 hari bahkan di penyidikan, demikian juga di penuntutan," jelas Fickar.

Namun, lanjut Fickar, tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun atau di bawah 9 tahun, tidak terikat penahanan.

"Atau kalau tidak ditahan, ya tidak ada waktu yang membatasi, sampai ditemukan alat bukti yang cukup, dalam hal ini minimal dua alat bukti dan penyidiknya sudah yakin kemudian diserahkan kepada penuntut umum," ungkapnya.

 Siapakah Abdul Fickar Hadjar? 


Abdul Fickar Hadjar lahir di Jakarta, 15 September 1957.


Saat ini, ia berprofesi sebagai dosen di Universitas Trisakti, dengan mengampu mata kuliah Perbandingan Hukum Acara Perdata dan Pidana.

Fickar, menyelesaikan studi S1 pada 1984 di Fakultas Hukum (FH), Universitas Jayabaya.

Kemudian, melanjutkan studi jenjang magister di FH Universitas Indonesia (UI) pada 2002 silam.

Dalam wawancara sebelumnya, Abdul Fickar sempat mengkritik langkah Bareskrim setelah memastikan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, asli. 

Abdul Fickar berpendapat, keaslian ijazah Jokowi hanya dapat ditetapkan secara sah dalam persidangan.

“Seharusnya perkara ini dilanjutkan sampai ke pengadilan."

"Dan, pengadilanlah yang akan memutuskan ijazah itu asli atau palsu,” ujar Abdul Fickar, dikutip SURYA.CO.ID dari Kompas.com.

Fickar mengatakan, polemik mengenai keaslian ijazah Jokowi bisa semakin panjang karena penyidik menghentikan laporan ini di tahap penyelidikan.


Proses penyelidikan dinilai belum berkekuatan hukum yang kuat.

Alhasil, pelapor yang berkas perkaranya dihentikan ini bisa membuat laporan ulang dengan menambahkan sejumlah barang bukti baru.

“(Polisi) menghentikan penyelidikannya. Tindakan ini belum pro justitia."

"Karena itu, pelapor bisa mengulangi laporannya dengan membawa bukti-bukti baru yang membuktikan ada ijazah palsu,” kata Fickar.

Laporan dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) ini diakhiri di tahap penyelidikan.

Artinya, penyidik dari Bareskrim Polri belum sekalipun melakukan upaya paksa untuk menyita barang yang dinyatakan tidak palsu.

Karena itu, upaya-upaya paksa seperti penyitaan dan penetapan tersangka umumnya dilakukan di tahap penyidikan.

Fickar menilai, penyidik di Bareskrim terlalu dini mengambil kesimpulan bahwa dalam dugaan kepalsuan ijazah Jokowi tidak ada unsur pidana.


Padahal, hanya pengadilan yang berwenang untuk menyatakan apakah ijazah Jokowi yang diperiksa di laboratorium forensik Polri itu asli atau tidak.

“Ya, polisi menyimpulkan belum ada peristiwa pidana sehingga dihentikan dan tidak atau belum masuk ke penyidikan. Karena itu, saran saya, lapor ulang dengan bukti baru,” imbuh Fickar.

Jerat 8 Tersangka


Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.

Para tersangka dibagi ke dalam dua klaster berdasarkan peran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan.

Klaster pertama terdiri atas lima tersangka, yakni: 

Eggi Sudjana
Kurnia Tri Rohyani
M. Rizal Fadillah
Rustam Effendi
Damai Hari Lubis 
Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP, serta Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sementara itu, klaster kedua mencakup tiga tersangka, yakni: 

Roy Suryo
Rismon Sianipar (Ahli digital forensik)
Tifauziah Tyassuma (dr. Tifa)
Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1), Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1), Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4), serta Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.


Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan oleh organisasi Pemuda Patriot Nusantara pada April 2025, diikuti dengan laporan Jokowi dan sejumlah pihak. 

Di sisi lain, gugatan perdata terkait ijazah di Pengadilan Negeri Solo dan Jakarta Pusat telah dinyatakan gugur atau tidak diterima karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, yang dinilai lebih tepat masuk ranah pidana atau Tata Usaha Negara.

Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri telah mengonfirmasi bahwa Jokowi adalah alumnus Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985

Sumber: Tribunnews 
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita