GELORA.CO -- Pernyataan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Ova Emilia mengenai data akademik Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali memicu perdebatan dan dianggap janggal atau bahkan tidak mungkin oleh sebagian pihak.
Dalam pernyataan terbarunya beberapa waktu lalu Ova Emilia membeberkan 9 poin penegasan seputar ijazah Jokowi yang diketahui dan dicatat pihak kampus.
Diantaranya adalah soal Jokowi yang lulus menempuh kuliah selama 5 tahun di UGM dan terbilang cukup cepat, namun memiliki nilai indek prestasi yang minimal, yakni hanya 2,5 lebih sedikit.
Anggota kelompok Bongkar Ijazah Jokowi, Herman penggugat di Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Roy Suryo, tersangka kasus terkait tudingan ijazah Jokowi palsu mempertanyakan kewajaran Jokowi dapat lulus cepat hanya 5 tahun saja, sementara IPK-nya minimal.
Herman, pemohon sengketa di KIP, menyoroti keterangan UGM yang mengaku tidak memiliki SOP legalisasi dokumen akademik yang diminta.
Bahkan, kata Herman, UGM mengecualikan Kartu Hasil Studi (KHS) dari informasi yang dapat dibuka, padahal Rektor sebelumnya sudah membuka secara publik dan menyatakan Jokowi lulus pada 23 Oktober 1985 dengan IPK 2,5 lebih sedikit.
“UGM bilang tidak ada SOP, padahal perguruan tinggi berdiri berdasarkan aturan. Tidak mungkin seseorang disebut lulus kalau tidak ada aturannya,” ujarnya dalam channel YouTube Kompas TV, yang dilihat Warta Kota, Rabu (3/12/2025).
Dalam kesempatan sebelumnya, Rektor UGM Ova Emilia menyampaikan bahwa Jokowi tercatat masuk pada 1980 dan lulus pada 1985 dengan IPK 2,5 lebih sedikit atau angka yang disebutnya “minimal”.
Ova juga menjelaskan bahwa nilai merupakan informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik.
Pernyataan itu menjadi sumber pertanyaan baru karena memunculkan paradoks: Jokowi disebut sebagai salah satu lulusan cepat, tetapi IPK-nya minimal.
Roy Suryo, yang saat ini berstatus tersangka dalam kasus tudingan ijazah palsu Jokowi, kembali mengomentari data tersebut.
Roy merujuk pernyataan Jokowi pada sebuah acara di Universitas Islam Indonesia (UII) tahun 2013, ketika Jokowi menyebut IP-nya “di bawah dua”.
“Kalau IP di bawah dua, tak mungkin lulus evaluasi sarjana muda. Kalau IP 2,5 lebih sedikit, juga tak mungkin lulus lima tahun. Ini kebohongan lagi,” kata Roy.
Ia menekankan secara akademik, pada masa itu mahasiswa dengan IPK sekitar 2,5 hanya mampu mengambil maksimal 18 SKS per semester, sehingga penyelesaian studi seharusnya mendekati tujuh hingga delapan tahun.
Roy mencontohkan beberapa akademisi UGM lain yang disebut lulus lebih lama, dan mempertanyakan bagaimana Jokowi bisa lulus dalam waktu lima tahun dengan IPK minimal.
"Dan kalau kita perhatikan informasi terakhir kemarin dari Rektor UGM, ini sungguh membuka tabir. Malah dikatakan ada
terminasi sarjana muda dan dia enggak bisa mengelak karena bukti di Polda Metro adalah yudisium sarjana muda," kata Roy Suryo.
Menurut Roy untuk bisa lulus dalam waktu 5 tahun, hanya bisa selesai kalau mahasiswa memiliki IPK minimal 3.
"Kalau IP 2,5 maksimal ngambil 18 SKS dalam satu semester. Sekarang coba dengan kurikulum gabungan 122 plus 30 sekian. 150 sekian, dibagi 18, berapa tahun?" kata Roy.
Menurutnya itu memakan waktu 4,5 tahun.
"Itu harus dikurangi KKN dan skripsi. Jadi teori itu harus selesai 3,5 tahun. Enggak mungkin dengan IP yang hanya 2,5 lebih sedikit lukus. Ini kebohongan lagi nih, yang dibuka kemarin secara tidak sengaja oleh Rektor UGM," kata Roy.
Karenanya Roy menegaskan saat itu dengan IPK 2,5 yang merupakan nilai indek prestasi minimal tidak mungkin lulus dalam 5 tahun.
Roy kemudian mengklaim memiliki bukti beberapa dosen UGM terkemuka yang lulus dalam waktu lebih dari 5 tahun dengan IPK di atas Jokowi.
"Seperti Pak Hasan Simon itu pun lulusnya 7 tahun ya. Safri Awang, profesor sekarang, itu lulusnya di atas 5 tahun. Kemudian ada juga Pak Kasmujo itu juga lulusnya 6 tahun lebih ya. Masa seseorang itu bisa lulus 5 tahun dengan IP 2,5 lebih sedikit," kata Roy.
Hal ini kata Roy semakin menegaskan keabsahan ijazah Jokowi patut dipertanyakan.
"Jadi ini saya kira harus dibongkar, termasuk juga tadi meskipun tidak ada legalitasnya untuk KIP, tapi pertanyaan dari salah satu lawyer tadi yang mengatakan pakai kacamata atau tidak itu menarik sekali. Karena terbukti setiap orang yang lihat, orang waras ya lihat wajahnya di pasoto dengan wajahnya dia sekarang itu sama sekali enggak ada miripnya," papar Roy.
Seperti diketahui sebelumnya Rektor UGM, Ova Emilia kembali menegaskan soal data akademik Presiden ke 7 RI Joko Widodo (Jokowi) di tengah polemik ijazah Jokowi yang masih beredar di masyarakat.
Ova Emilia, menekankan bahwa seluruh informasi yang disampaikan kampus merujuk pada arsip resmi dan proses akademik yang dijalani Jokowi pada awal 1980-an, termasuk masa transisi program sarjana muda.
Dalam penegasannya yang ditayangkan lewat video di channel YouTube @Universitas Gadjah Mada, Jumat (28/11/2025) Ova membeberkan 9 poin penegasan seputar ijazah Jokowi yang diketahui dan dicatat pihak kampus.
"Isu ijazah Joko Widodo masih menjadi perdebatan di masyarakat. UGM telah dan selalu konsisten menyampaikan informasi sesuai dengan data akademik dan porsi kewenangannya," kata Ova mengawali penjelasannya.
"Berikut adalah penegasan atas apa yang sudah disampaikan sebelumnya sebagai klarifikasi dan bentuk tanggung jawab UGM," ujarnya.
Pertama, menurut Ova, UGM menerima mahasiswa yang bernama Joko Widodo dan terdaftar pertama kali tanggal 28 Juli 1980.
"Data tersebut juga tercantum dalam buku induk mahasiswa angkatan 1980. UGM memiliki bukti penerimaannya. Pengumuman tersebut juga dapat dilihat di koran kedaulatan rakyat pada tanggal 18 Juli 1980," tegasnya.
Kedua, kata Ova, Joko Widodo menjalani proses registrasi sebagaimana seharusnya dengan berbagai dokumen seperti formulir
registrasi dan pernyataan atau janji sebagai mahasiswa baru.
Data tersebut, kata Ova juga didokumentasikan dalam buku induk angkatan 1980.
"Yang ketiga, Joko Widodo menjalani kuliah di Fakultas Kehutanan UGM dengan dosen pembimbing akademik Bapak Kasmujo. Saat ini beliau sudah purna tugas namun masih berkomunikasi dengan UGM," papar Ova.
Keempat, kata dia, tahun 1983 Joko Widodo menyelesaikan evaluasi program sarjana muda.
Ova menjelaskan bahwa pada era tersebut, UGM sedang berada dalam masa transisi program sarjana muda menuju penyatuan ke jenjang sarjana penuh.
"Yang pada saat itu ada dalam masa transisi dan programnya disatukan menjadi program sarjana," beber Ova.
Lima, lanjut Ova, Joko Widodo menyelesaikan pendidikan sarjananya dan menyusun skripsi di bawah bimbingan Bapak Ahmad Sumitro.
"Penulisan nama Sumitro dikenal dalam dua bentuk, yaitu Soe menggunakan OE dan Sumitro menggunakan huruf U. Dan kedua ejaan tersebut sah serta digunakan dalam dokumen resmi," katanya.
Enam, kata Ova, Joko Widodo lulus program sarjana pada tanggal 23 Oktober 1985 dengan indeks prestasi di atas 2,5 yang memang merupakan indeks prestasi minimal.
"Tujuh. Joko Widodo telah menerima ijazah asli sesuai ketentuan. Sejak itu, segala hal yang terkait ijazah tersebut termasuk keputusan menunjukkan kepada publik atau tidak merupakan tanggung jawab yang bersangkutan," urainya.
Delapan, tambah Ova, ia menjelaskan terkait foto ijazah Joko Widodo yang berkacamata.
"Kami tegaskan bahwa di masa itu yang dilarang adalah foto diri dengan kacamata hitam. Hal ini sesuai dengan pengumuman yang dikeluarkan oleh pembantu rektor bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat tanggal 3 November 1984," katanya.
UGM, menurut Ova juga memiliki arsip ijazah lainnya yang menunjukkan foto diri berkacamata.
“UGM memiliki arsip ijazah lain dari periode yang sama yang menampilkan foto diri mahasiswa berkacamata,” tegasnya.
Ova menyatakan bahwa ijazah asli telah diterima Jokowi sejak 1985.
Sejak itu, penanganan dan keputusan untuk menunjukkan kepada publik sepenuhnya berada di tangan yang bersangkutan.
Ia menegaskan bahwa klarifikasi ini merupakan bentuk tanggung jawab akademik UGM semata, bukan pembelaan politik.
Pernyataan ini diharapkan dapat meredakan polemik berkepanjangan soal keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo di ruang publik.
"Kesembilan, pernyataan ini untuk menyampaikan kebenaran sebagai tanggung jawab UGM dan tidak untuk membela satu pihak pun secara tidak proporsional," kata Ova
Sumber: Wartakota
