GELORA.CO - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelisik asal-usul dana Rp100 miliar yang dikirimkan Mardani H. Maming melalui perusahaannya, Grup PT Batulicin Enam Sembilan, ke rekening PBNU.
Menurut Boyamin, KPK perlu memastikan apakah dana tersebut berasal dari dugaan suap atau gratifikasi yang diterima Maming selama menjabat sebagai Bupati maupun Anggota DPRD Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
"Memang betul Pak Mardani itu pengusaha. Tapi uang itu dari mana perlu ditelusuri juga, gitu. Karena sisi lain Pak Mardani itu pernah jadi kepala daerah. Kalau ndak salah pernah jadi DPRD, gitu. Jadi, apakah masuk laporan LHKPN KPK uang itu? Kalau ndak, yo berarti ditelusuri asal-usulnya," kata Boyamin kepada Inilah.com, Senin (1/12/2025).
Boyamin menyinggung kasus Maming sebelumnya, di mana Maming terjerat penerimaan gratifikasi Rp49,4 miliar dari Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), (Alm) Henry Soetio. Dalam putusan PK, Mardani divonis 10 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 4 bulan, dan uang pengganti Rp110 miliar.
"Karena nyatanya dalam kasus yang lain, yang dengan Henry Soetio itu, uang sekitar Rp49 miliar itu diduga sebagai gratifikasi yang sekarang menjadikan Mardani Maming mendekam dalam penjara," ucapnya.
Boyamin menilai KPK harus menelusuri aliran dana Rp100 miliar tersebut agar dipastikan tidak ada uang tidak halal masuk ke rekening PBNU. Dana itu diketahui masuk menjelang Maming—yang kala itu juga menjabat Bendahara Umum PBNU—ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
"Apalagi itu ketika mendekati masa-masa penetapan tersangka Pak Mardani Maming. Artinya, Pak Mardani Maming kan diduga sudah mengetahui beliau akan kena jeratan hukum, maka kemudian uang itu dititipkan—tanda kutip, gitu—seakan-akan dititipkan ke bendahara NU, ke PBNU," ucap Boyamin.
Sebelumnya, dokumen laporan audit keuangan PBNU tahun 2022 yang dilakukan Kantor Akuntan Publik Gatot Permadi, Azwir, dan Abimail (GPAA) mencatat, rekening Mandiri PBNU dikendalikan Maming selaku Bendahara Umum PBNU. Specimen tanda tangan KH Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU), Mardani H. Maming, dan Sumantri (Bendahara PBNU) tercatat dalam transaksi.
Dana sebesar Rp100 miliar masuk dalam empat tahap: Rp20 miliar dan Rp30 miliar pada 20 Juni 2022, serta Rp35 miliar dan Rp15 miliar pada 21 Juni 2022. Seluruh transaksi dicatat untuk HUT ke-100 PBNU dan operasional kegiatan lain. Sehari setelah itu, Maming ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan suap atau gratifikasi izin usaha pertambangan saat menjabat Bupati Tanah Bumbu.
Penggunaan dana tercatat antara lain berupa pengeluaran Rp10,58 miliar yang ditransfer melalui rekening Abdul Hakam, Sekretaris LPBHNU, pada Juli–November 2022. Abdul Hakam terlibat dalam pembentukan tim kuasa hukum dan pendampingan perkara Maming. Dalam dokumen, Ketua Umum PBNU kala itu, KH Yahya Cholil Staquf, memberi perintah kepada LPBHNU untuk membentuk tim kuasa hukum bagi Maming.
KPK sebelumnya mengultimatum pihak internal PBNU agar menyerahkan hasil audit internal terkait indikasi dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Rp100 miliar. Jubir KPK Budi Prasetyo menegaskan, jika dokumen diserahkan, KPK akan menelisik dugaan tindak pidana korupsi atau pencucian uang.
"Silakan jika memang dari audit tersebut ada data informasi awal yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi, dapat disampaikan kepada KPK," ucap Budi.
Budi menegaskan KPK tidak terlibat dalam dinamika internal PBNU, termasuk isu terkait posisi Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf.
"Terkait dengan apa yang sedang terjadi di PBNU, tentu itu adalah dinamika di internal organisasi. Sehingga KPK tidak masuk dalam isu tersebut," ujarnya.
