GELORA.CO - Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla atau yang biasa disapa Gus Ulil mengaku mendapatkan serangan dari publik beberapa waktu terakhir ini.
“Dari kemaren hingga pagi ini saya mendapat serangan. Dibombardir telp (telepon) dan wa (Whatsapp) ndak berhenti-berhenti,” tulis Gus Ulil dalam akun media sosialnya yang dilihat Holopis.com di Facebook @ulil67, Senin (1/12/2025).
Seluruh upaya komunikasi yang dilakukan sejumlah kalangan kepadanya bernada negatif. Semua menghujat dirinya, yang diduga berkaitan dengan kabar bencana alam yang marak terjadi di beberapa daerah, khususnya kawasan Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
“Isinya makian dan ancaman. Sekian, harap maklum,” pungkasnya.
Sekadar diketahui Sobat Holopis, netizen saat ini banyak mengunggah kembali video yang pernah ditayangkan Kompas TV, tepatnya tayang pada tanggal 12 Jun 2025.
Di dalam wawancara tersebut, Gus Ulil berdebat dengan uru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik terkait dengan tata kelola dan pelestarian hutan sebagai bagian dari ekosistem penting alam di Indonesia.
Saat itu muncul pertanyaan dari Iqbal tentang apakah ada satu pun dari proyek pembalakan hutan dan penambangan di Indonesia yang akhirnya melakukan pemeliharaan alam, baik dalam konteks reboisasi maupun reklamasi, sehingga lokasi konsesi tersebut akhirnya bisa kembali berfungsi seperti sedia kala.
“Tunjukkan satu saja ada konsesi yang berhasil mereklamasi, mereboisasi, kembali ke ekosistem awal. Tunjukkan satu saja di mana wilayah pertambangan di Indonesia ini kembali ke ekosistem awalnya. Nggak ada,” kata Iqbal.
Lantas, ucapan itu disinggung oleh Gus Ulil. Di mana anak mantu Gus Mus tersebut malah mempertanyakan apa kepentingan Iqbal sebagai aktivis lingkungan untuk mengembalikan lingkungan konsesi ke ekosistem awal sebelum dijalankan proyeksi industrialisasi di sana.
“Kenapa anda begitu peduli untuk mengembalikan ekosistem awal,” tanya Gus Ulil.
Kemudian, respons Gus Ulil tersebut pun membuat Iqbal kaget. Sebab menurutnya, ekosistem seperti hutam adalah sesuatu yang sangat penting dan dibutuhkan oleh makhluk hidup seperti manusia.
“Karena kita butuh, Gus. Dan itu wajib (dikembalikan -red),” respons Iqbal.
Bagi Gus Ulil, sikap aktivis lingkungan seperti Iqbal tersebut salah dalam sudut pandang. Bahkan ia menuding kelompok masyarakat yang mengaku sebagai aktivis lingkungan tersebut dengan sebutan Wahabisme Lingkungan.
Karena baginya, kawasan konsesi tidak perlu dikembalikan pada ekosistem awal sebelum kawasan tersebut dieksploitasi. Sebab itu menjadi bagian dari dinamika sejarah yang terus berubah.
Bahan Gus Ulil menganalogikannya ketika waktu dirinya kecil, banyak sekali kawasan lahan yang bisa digunakan untuk bermain, bahkan lahan persawahan juga sangat banyak. Hanya saja karena dinamika sosial yang berkembang dengan bertambahnya jumlah populasi manusia, akhirnya lahan-lahan tersebut harus digeser menjadi kawasan rumah maupun kegiatan lain yang bernilai ekonomi.
“Sekarang karena pertambahan penduduk, ekosistem itu hilang. Anak saya tidak bisa menikmati itu,” jawab Gus Ulil.
Pembicaraan semakin panas ketika Iqbal menimpali Gus Ulil bahwa analogi yang dipaparkan oleh petinggi PBNU tersebut tidak apple to apple. Sebab baginya, ketika proyeksi alamiah terjadi, seseorang bisa menebang satu pohon setidaknya satu kali dalam setahun. Namun berbeda ketika sebuah industrialisasi bergerak di sana, di mana alat berat mereka bisa meratakan hutan hanya dalam waktu sangat singkat.
Sayangnya, narasi Iqbal ini langsung diberikan labelisasi Wahabisme Lingkungan. Karena hanya pola pikir wahabi yang tidak bisa bersentuhan kemajuan dan pemikiran yang luas.
“Wahabisme itu, orang wahabi itu begitu kepinginnya menjaga kemurnian teks, sehingga teks tidak boleh disentuh sama sekali. Harus puritan, puritanisme teks itu adalah wahabi,” ketus Gus Ulil.
“Teman-teman lingkungan ini yang terlalu ekstrem yang mengatakan bahwa arahnya adalah bahwa dia menolak sama sekali mining, karena industri ekstraksi selalu pada dirinya adalah dangerous dan itu berbahaya,” sambungnya.
Lebih lanjut, bagi Gus Ulil pepohonan dan aneka tambang adalah anugerah yang diberikan Tuhan untuk dapat dikelola dan dimanfaatkan bagi manusia. Bahkan di sektor ekstraktif ini, banyak orang yang bergantung hidupnya di sana. Termasuk hasil tambang batubara yang juga diklaim Gus Ulil memiliki manfaat yang sangat nyata bagi kelangsungan hidup manusia.
Namun demikian, analogi dan pola pikir yang disampaikan Gus Ulil pun disanggah lagi oleh Iqbal, di mana kuota ekstraktif di Indonesia sudah semakin menipis. Sehingga jika narasi untuk pemenuhan kebutuhan energi harus menggunakan industri aneka tambang, maka sebaiknya pemerintah memikirkan alternatif lain untuk memanfaatkan energi baru terbarukan yang bisa lebih ramah lingkungan dan ekosistem alam.
“Kementerian Kehutanan sendiri bilang dalam program hulunya, kuota deforestasi kita itu sudah lebih kecil dari yang sudah dterdeforestasi. Nggak ada ruang, Gus. Ada hitung-hitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan,” tutur Iqbal.
“Dalam satu wilayah dia memungkinkan untuk diekstraksi lagi atau tidak. Kalau dia sudah tidak mencukupi, maka berhenti,” lanjutnya.
Karena jangan sampai pola pikir eksploitasi alam seperti tak boleh dibatasi. Sebab bagi Iqbal, kekayaan alam tidak boleh dinikmati oleh satu generasi, ada yang harus dipikirkan dalam jangka panjang, yakni memberikan warisan yang baik kepada generasi masa depan sehingga mereka tidak hanya sekadar menerima dampak buruk dari pembalakan hutan liar secara ugal-ugalan, termasuk juga pertambangan energi di dalam perut bumi.
“Ada batas atas, tidak semua hal harus kita ekstraksi. Tidak semua hal atau anugerah ini menjadi nikmat kita. Ada juga anugerah di muka bumi yang menjadi nikmat dan harus kita warisan kepada anak cucu kita,” pungkas Iqbal.
